Jumat, November 30, 2007

Surga Bumi Terakhir Terlahir Kembali

pojok catatan untuk sanggar & komunitas baca Poestaka Rakjat Malang
>>A. Qorib Hidayatullah

Gubahan naluriah manusia tak tertambat yang suka berkelompok (zoon politicon), kerap menghantarkan ia pada aktivitas yang bisa membidani agar letupan hasrat kecilnya terpenuhi. Kata kelompok disini perlu dikasih tanda petik (“”), menjadi “kelompok”, sebab beban makna tamsil yang diusung sangatlah berat dan hampir enyah dilakukan keumuman orang.

Dilacak dari kajian subkulturnya, tak dinafi’kan, garapan proyek keberanjakan alam tradisionalisme menuju modernitas terbilang berhasil menanam benih-benih ego menjadi ego individualis-subjektif. Dan subkutur itupun menjadi wilayah pergeseran makna akan kebersaman dan mengubur filosofi “duduk bareng” diatas latar belakang diri yang berbeda-beda.

Nah, disinilah makna kata “kelompok” teruji. Disamping sebuah kata kudu memiliki ruang target kritis dan didudukkan secara diskursif, tak lupa pula soal arti kekuatan kata dibalik makna, yaitu kata “kelompok” dijadikan kata kerja, menjadi “berkelompok”.

Kata kerja “berkelompok” pun, perlu kiranya disisipkan tanda petik (“”), karena suatu kata kerja bisa saja bebas nilai (mengundang beragam interpretasi), tergantung pada siapa subjek yang melakukan. Nalar logikanya begini, akan muncul pertanyaan: “Apa yang sedang dilakukan oleh orang saat berkelompok?”. Mesti dapat ditebak jawabannya akan bermacam-macam, tergantung siapa orang memaknai, dan memiliki motif apa ia memaknai kata kerja dari “berkelompok” tersebut.

Saking beranekanya pemahaman yang muncul dari kata kerja “berkelompok”, maka diperlukan tafsir atasnya. “Berkelompok” disini, bisa saja orang berkelompok bebas berbuat apapun. Bisa saja, ia berkelompok guna mempresentasikan ideologinya masing-masing lewat nongkrong dan ngopi di cafe atau warung, dan bisa juga berkelompok memperkokoh daya perlawanannya, dll.

Kata kerja “berkelompok” yang saya maksud disini adalah sekian orang (baca: komunitas) yang tapaki aktivitas dijalan sunyi, lengang, senyap, dan getir diruang kebersamaan yang tiada hijab apapun. Sebab, alam sekat dan batas oleh kelompok kami dianggap sebagai suatu keterbatasan, yang pada akhirnya membawa pada keterkungkungan pengetahuan. Dengan begitu, saya memberikan tanda petik diantara kata kerja berkelompok yang dimaksud.

Dari ulasan diatas, telah jelas bahwa komunitas/berkelompok kami berarus lain dibanding kelompok bikinan orang lain. Ruh tunggal kelompok kami adalah ruh kegelapan yang hanya ada satu pijaran cahaya lilin. Amanah kami, bagaimana tetap bisa menjaga cahaya lilin terus-menerus menyala meski pertaruhannya kena bakar sekalipun. Hal ini urusan komitmen dan tekad kami!

Nikmatnya serasa disurga
Kami menganggap kelompok kami sebagai surga bumi terakhir yang terlahir kembali. Namun berbeda sekali dengan surga yang diiming-imingi Tuhan kelak diakhirat, surga kami tanpa hiasan bidadari cantik gemulai, tapi aksesorisnya melebihi itu semua. Letak bedanya, surga kami, diseluruh sudut ruangan malah dipenuhi teks-teks bacaan berupa buku-buku. Surga kami, berbentuk surga sejarah, surga ekonomi, surga sosial budaya, surga politik, hingga surga sastra serta surga filsafat. Cara menikmatinya, kelompok kami selalu mengkaji, membedah, dan menganalisis beragam surga buku dengan tema berbeda-beda.

Akhirnya, anggur gnosis kami reguk, ekstase puncak dahsyat kami capai, dan ereksi dini pun tersalurkan. Hal ini, tak lepas dari keimanan kami yang mengimani bahwa surga dunia hanya ada pada surga buku dengan beragam corak-warna tema berbeda seperti tertera diatas.

Inilah, kegiatan kelompok kami, eksotika surga yang bergelut setia dibidang buku dan literasi. Prinsip kelompok kami cukup satu komitmen, yaitu berani berkata “ya” pada surga kami, dengan tidak bertekuk lutut pada nasib kebodohan dan keterbatasan pengetahuan. Meski hamparan nasib diruas jalan sunyi, lengang, getir, dan letih adalah pilihan mutlak, kendatipun harus kami jalani sepenuh hati. Kata terakhir pada surga kami, “mengakhiri segala-galanya bila perlu, namun bagaimana kelezatan buku bergizi yang tak tertandingi, serasa disurga saja…”.

Minggu, November 18, 2007

Malcolm X dan Übermensch Kulit Hitam


Judul Buku : Malcolm X Untuk Pemula
Penulis : Bernard Aquina Doctor
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : xi + 186 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah

Setiap manusia, dapat dipastikan berprakarsa sama, yaitu ingin mengangkat harkat dan martabat rasnya masing-masing. Abraham Maslow dalam teori kebutuhan dasar pokok manusia, mentesiskan bahwa manusia mengantongi rasa ingin dihargai oleh orang lain.Tentu, perjuangan membutuhkan ikhtiar gigih, anti letih, tahan getir, dengan mengasah kecerdasan srawung. Dalam hal ini, Malcolm X meyakini kecerdasan itu hanya bisa didapat lewat lama-lama membaca buku, dan aktif bergiat diorganisasi.

Perjuangan yang terus-menerus diasah hingga lancip pasti temukan ketajamannya sendiri. Ibarat pisau daging, apabila terus dipertajam akan mempermudah dalam pengirisannya. Begitu juga tentang kisah Malcolm X, yang telah mencicipi manis asamnya pergulatan hidup, hanya demi “pengakuan” atas ras dan keadilan hak-hak sipilnya. Sehingga, inilah nantinya yang menjadi tema sentral gagasan revolusionernya, hingga menghantarkan namanya dikenang dalam sejarah.

Syahdan, Malcolm X kecil sudah diwarisi benih sikap berani oleh sang ayah, yaitu Earl yang mati dibunuh. Ibarat aforisma kearifan popular: “Buah kelapa jatuh tak jauh dari pohonnya”, ini juga berlaku pada Malcolm X, ia juga mati kerena dibunuh.

Malcolm X merupakan putra ketujuh dari pasangan Earl dengan Louise. Ia lahir pada bulan 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska. Dari sisi fisik, Malcolm X memiliki tampang yang tidak umum, karena ia berdarah campuran. Kakeknya dari pihak ibu berdarah Skotlandia, yang memberi Malcolm X kulit terang, rambut berwarna pirang-pasir, dan matanya mempunyai warna campuran tak biasa antara coklat, biru, dan hijau tergantung kondisi cahaya.

Sejak kecil, Malcolm X telah menerima pelajaran-pelajaran hidup sederhana bahkan sengsara. Keluarganya yang miskin, kerap kali membuat ia kelaparan, karena tak cukup makanan untuk dimakan. Meski demikian, ia tak pernah mengeluh sedikit pun, sebab yang dianggapnya sebagai pelajaran penting kelak ketika ia dipertemukan oleh sang ayah dengan pemimpin karismatik, Marcus Garvey.
***
Dalam buku Malcolm X untuk pemula, karya teks ilustratif Bernard Aquina, Malcolm X digambarkan sebagai pemuda yang nekat dalam mengambil keputusan apa yang dapat dijadikan acuan hidupnya saat itu. Terbukti, ia membikin geng dengan kawan-kawannya guna melakukan perlawanan kecilnya.
Tapi paling menarik dari kisah Malcolm X adalah hidupnya yang tak menentu.

Seiring ranumnya karakter, ia terus bergolak dinamis agar pencapaian utuh berpengharapan dapat teraih. Misalnya, ia menyempatkan diri untuk menjadi selebritas dilingkungan kulit hitam, padahal “profesi” barunya ini sangat bertentangan dengan dunia yang ditapaki sebelumnya. Yaitu, dunia hitam-getir, penuh keterhimpitan, berpenampilan awat-awutan (gembel), serta berbau tak sedap.

Namun, berkat perkenalannya dengan Marcus Garvey, pendiri United Negro Improvement Association (Asosiasi Perbaikan Negro Bersatu) atau UNIA, adalah awal karir revolusinya untuk tunjukkan taring tajam kekritisannya guna mengkritik ketimpangan sistemik oleh kulit putih Amerika kepada kulit hitam Afro-Amerika.

Semangat awal lahirnya organisasi UNIA, adalah untuk membangun masyarakat yang secara ekonomi yang tak lagi tergantung pada kulit putih Amerika, dengan cara membangun properti, industri, jasa-jasa, serta perdagangan. Perlawanan tanpa diawali intrik politik, seakan terkesan menabuh tong kosong nyaring bunyinya, sebab tiada isi.

Karir organisasi Malcolm X, dapat dibilang sering gonta-ganti, dengan melesat pindah dari organisasi yang satu ke organisasi lainnya yang dirasa lebih andal dalam mem-back up sepak terjangnya. Cukup lama berada di UNIA, ia beralih ke organisasi keislaman, yaitu NOI (Nation of Islam) dibawah kepemimpinan Elijah Muhammad.

Malcolm X saat itu, sangat ta’at patuh atas titah-perintah yang diberikan oleh Elijah Muhammad kepadanya. Secara otomatis, melihat keseriusan Malcolm X dalam turut berda’wah melawan penindasan, Elijah tak sampai hati. Kemudian, ia angkat Malcolm X sebagai kawan kepercayaannya, dengan mengutusnya ke tempat-tempat yang dirasa perlu di advokasi.

Suatu jalinan memang tak melulu mulus, tanpa putusnya estafet rantai perkawanan. Jalinan perkawanan Elijah dengan Malcolm X, akhirnya putus juga karena beberapa alasan. Elijah yang berstatus pimpinan NOI, melakukan skandal, yaitu menghamili perempuan-perempuan hingga punya anak. Bentuk konsekuensi tindak skandalnya, Elijah lalu dijebloskan kepenjara.

Guna upaya pembebasannya, Malcolm X sebagai kawan karib turut membantu Elijah agar tak jadi didepak ke sel tahanan. Seribu cara pun dilakukan oleh Malcolm X, tapi upaya itu berakhir dengan sia-sia, karena Elijah memang nyata-nyata terbukti bersalah . Ia telah malanggar garis moral yang dibikinnya sendiri secara ketat.

Perpisahannya dengan Elijah, Malcolm X mengepakkan sayap ekspansi ke negara-negara Islam lainnya, yaitu Saudi Arabia. Selain itu juga, ia pun berhaji ke Makkah dan memperluas link dengan tokoh-tokoh Islam terkenal. Disinilah ekstase keimanan Malcolm X terlihat bernas, ia semakin arif berkonsepsi dalam hidup.

Akhirnya, Malcolm X kembali lagi ke Afro-Amerika. Sekembalinya, gagasannya semakin cemerlang, sehingga ia disebut sebagai nabi kebanggga kaum kulit hitam. Bahkan, ia tak ragu-ragu lagi menyatakan bahwa perlakuan kulit putih Amerika atas kulit hitam (Afro-Amerika) merupakan pengebirian atas hak sipil masyarakat. Usaha untuk menambat estafet penindasan tersebut, Malcolm X “mengemis” keadilan ke PBB, dan melakukan gerakan masif bersama antar kaum hitam. Inilah yang nantinya disebut dengan “kuasa kulit hitam.”

Membaca buku seri pengantar kajian tokoh Malcolm X ini, beragam raupan pesan perjuangan aktivasi demi pengakuan ras. Resiko yang akrab dengan istilah perjuangan atau revolusi, taruhannya adalah nyawa. Dan lagi buku ini, lewat imbuhan ilustrasi demi mempermudah pemahaman atas bacaan teks-teks isi, menjadi tarik tersendiri bagi pembaca. Terakhir, karena buku ini adalah buku kajian tokoh untuk pemula, sangat baik bila pembaca tak berhenti hanya dengan membaca buku ini. Selamat membaca!

Senin, November 12, 2007

Giliran Islam Meruntuhkan Kapitalisme


Judul Buku : Islam Melawan Kapitalisme

Penulis : Zakiyuddin Baidhawy

Penerbit : Resist Book

Cetakan : I, Agustus 2007

Tebal : vi + 262 Hlm

Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Ketika keambrukan kapitalisme tampak bernas, tinggallah mendayaguna niat kita untuk melawan. Seakan menjadi derita bersama apabila kita tetap mengamini atau berkata “ya” pada sistem kapitalisme. Kemiskinan yang kian meruyak, eksploitasi alam yang kian buas, dan konsumerisme yang kian masif, tak lepas dari buah tangan kegagalan peradaban kapitalisme itu sendiri.

Melacak dari akar jerat kapitalisme berbuah proyek kendaraan globalisasi, diawali oleh krisis pembangunan yang pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi manusia atas manusia. Proses sejarah dominasi itu dapat dibagi dalam tiga periode formasi sosial.

Pertama, periode kolonialisme. Suatu fase dimana perkembangan kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Kedua, periode neo-kolonialisme. Dimana modus dominasi dan penjajahan tak lagi fisik secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Selanjutnya adalah periode neo-liberalisme (kebangkitan kembali liberalisme). Yaitu, konstruk kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal lewat kompetisi bebas.

Melihat formasi laju ekonomi global seperti diatas, pasti dapat menumbuh-subur dan mengarus-deraskan kapitalisme, yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi, serta proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional. Namun, angin segar segera mengipasi rakyat seiring runtuhnya kapitalisme Asia Timur yang berbarengan dengan globalisasi muncul.

Era baru tersebut mencoba meyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga seolah-olah merupakan aras baru dengan ekspektasi kebaikan disegala lini kehidupan umat manusia dan keharusan sejarah manusia dimasa depan. Sudah saatnya kini memikirkan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat, marginalisasi rakyat, serta persoalan keadilan sosial.

***

Islam, memiliki desain penolakan khusus guna mengganti sistem ekonomi yang mapan, adil, dan tanpa eksploitasi. Dalam buku Islam Melawan Kapitalisme, karya Zakiyuddin Baidhawy ini, Islam tak sekadar disemai sebagai agama, yang melulu mengurus soal ibadah an-sich, tapi lebih kepada tanggung beban spektakulernya adalah menuntun hidup (duniawi) makhluk bumi. Umat Islam diajarkan bagaimana ia tidak terperosok pada penguasaan serakah materi tanpa diimbuhi sisi spiritualitas.

Sebagai agama rahmatal lil-alamin disamping juga agama-agama lainnya, Islam sangat mencitakan keadaan masyarakat atau umat agar sejahtera, makmur, dan bebas dari belitan kemiskinan tanpa kesudahan seperti sekarang. Kemiskinan yang menempa masyarakat saat ini, dapat secara kasat mata dilahirkan oleh rahim kepincangan sistem yang menggiring kepada kemiskinan struktural. Struktur dan sistemlah yang membikin rakyat sengsara, menderita, hingga getir tapaki hidup.

Maka dari itu, tata keranuman konsep sesegera mungkin dilakukan, seperti halnya Zakiyuddin dengan karyanya ini. Ia lewat ijtihad ilmiahnya menaklukkan kegarangan kapitalisme. Di bab dua buku ini, ia memaparkan kegagalan teori-teori keadilan kontemporer. Seperti, prinsip egalitarianisme radikal, prinsip perbedaan (John Rawls), prinsip berbasis sumber daya (Dworkin), prinsip berbasis kesejahteraan, prinsip berbasis balasan, dan prinsip libertarianisme (Robert Nozick).

Pada bab ketiga, Zakiyyudin telah memasuki wilayah kajian dengan ekspolarasi ayat al-Qur’an yang dijadikannya sebagai jawaban atas isu kepemilikan secara tematik. Sehingga, diharap akan tercipta rumusan prinsip keadilan yang matang dalam kepemilikan berikut implikasinya.

Kepemilikan, menurut al-Qur’an, disebut dengan satu istilah, yaitu al-milk. Allah sebagai sumber segala kepemilikan disebut sebagai al-Malik (hlm. 52). Kalau menyitir Q.S. 34:22, disana dibunyikan bahwa: “Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki sebesar atom pun apa yang ada dilangit dan bumi.” Sepenggal pesan ayat yang menyiratkan bahwa Allah memiliki segalanya, langit, bumi dan beserta isinya.

Problem utama dalam perekonomian adalah bagaimana menjawab soal kelangkaan sebagai akibat ketakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi yang tersedia. Dengan begitu, Tuhan menciptakan seluruh sumber daya yang ada di alam semesta sebagai suatu keharusan bagi manusia untuk dapat bertahan hidup dan melangsungkan kehidupannya.

Pada saat yang sama, Tuhanpun membekali kepada manusia alat untuk mendayagunakan secara rasional (akal) sumber daya agar memproduksi barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan-keinginannya. Karena keserakahan menggerus secara serampangan sumber daya alam, maka disini sama sekali tak dibenarkan.

Kata al-Khizanah (sumber daya) beragam bentuk dalam al-Qur’an disebut sebanyak 13 kali. Q.S. 15:21 misalnya, yang berbunyi: “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dalam ukuran tertentu.” Wahbah al-Zuhaili menjelaskan kata khaza’inuhu dalam konteks ayat ini adalah tidak ada sesuatupun di alam semesta ini yang bermanfaat bagi manusia kecuali Allah yang mampu mewujudkan dan mengadakannya dengan ukuran yang diketahui. Al-Khaza’in adalah tamsil bahwa Tuhan menetapkan segala sesuatu menurut ukurannya.

Disamping itu, Zakiyuddin pada bab lima mengulas perilaku konsumsi bersahaja. Adalah suatu keharusan memerhatikan bagaimana manusia mengonsumsi atau memanfaatkan kekayaan. Mungkin saja dalam suatu wilayah terdapat limpahan kekayaan sebagai akibat memiliki sistem pertukaran dan distribusi yang adil dan seimbang, tapi kewajiban untuk tetap menjaga agar tetap stabil adalah tuntutan yang terus-harus dirawat. Sehingga, produksi yang adil perlu diimbangi dengan cara mengonsumsi yang benar dan proporsional.

Pada kajian selanjutnya, yaitu bab enam, diurai masalah distribusi dan redistribusi berpihak. Tema-tema menggugah tampak terbangun, misal “Zakat sebagai wujud solidaritas sosial”, “Wakaf sebagai filantropi sosial” dll, turut membikin segar kajian pada bab ini. Tak anyal, zakat dan masalah wakaf mutakhir ramai diperbincangkan tak hanya pada wilayah karitas pengguguran kewajiban keagamaan, tapi bagaimana kedua bentuk ibadah agama itu dapat mengentaskan kemiskinan global.

Terakhir, jawaban tentang konsep keadilan ekonomi dan sosial dapat ditemui secara lengkap dan padat diulas ranum dibuku ini. Kiranya, kesan klise yang kerap tampil di dunia perbukuan kita, tak terjadi pada buku ini. Alasannya adalah karena jarangnya bentuk ijtihad ilmiah yang serupa. Kajian-kajian didalamnya masih segar, penuh kedalaman. Buku yang layak dibaca, bagi mereka yang percaya bahwa kapitalisme mesti dikubur, diganti dengan menegakkan sistem alternatif (Islam).

Sabtu, November 03, 2007

Sakralitas Al-Qur'an Terkoyak


Judul Buku : Al-Qur’an Bukan Da Vinci’s Code

Penulis : Khulqi Rashid

Penerbit : Hikmah (PT Mizan Publika)

Cetakan : I, Januari 2007

Tebal : 151 Hal

Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*


Meski al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci umat Islam yang diakui kesahihannya, akan tetapi masih banyak dari kalangan Barat menolak dan kemudian menggiring kepada pemahaman kita bahwa al-Qur’an tidak orsinil lagi. Anehnya, mereka (Barat) dalam berargumentasi penolakannya terhadap orisinalitas al-Qur’an berdasarkan cara-cara ilmiah dan penelitian.


Banyak buku-buku dari hasil penelitian kalangan Barat yang cukup representatif untuk mengandaskan logika keimanan umat Islam. Misalkan, buku karya dari Christoph Luxenberg,
Die Syro-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlϋsselung der Koransprache atau Qira’ah Syriak-Aramaik: Upaya Menjelaskan Bahasa al-Qur’an. Buku itu diterbitkan untuk edisi pertamanya tahun 2000 dalam bahasa Jerman oleh penerbit Das Arabische Buch yang berkedudukan di Berlin. Dalam buku itu, juga memakai bahasa Romawi hingga halaman ix, dan berbahasa Arab hingga halaman 306. Untuk bibliografi dicantumkan dihalaman 307 hingga 311. Buku itu ber-ISBN 3-86093-2748, paperback.


Ada empat poin besar dan penting dari buku itu.
Pertama, buku itu menyajikan tesis, sumber-sumber, metode, dan contoh-contoh aplikasinya dalam delapan belas bab. Bab satu sampai delapan meliputi latar belakang, metode, dan aplikasi metode tersebut untuk mengungkap etimologi dan makna kata Qur’an, yang menurut Luxenberg merupakan kunci untuk memahami keseluruhan naskah. Bab sebelas sampai delapan belas membahas kesimpulan-kesimpulan yang dipaparkan dalam separuh pertama buku dengan mengajukan solusi untuk beberapa ungkapan bermasalah di sepanjang naskah al-Qur’an. Itu mencakup masalah-masalah leksikal, morfologi dan sintaksis. Selanjutnya, Luxenberg mengurai dalam bukunya itu tentang prinsip-prinsip yang mendasari banyak ketidaktepatan dalam riwayat al-Qur’an pada hal. 11-14. Dan pengembangan metode untuk mengkaji masalah-masalah yang menciptakan kekeliruan pemahaman materi tematik di seluruh naskah al-Qur’an pada hal. 15-16.


Kedua
, pada kata pengantarnya, Luxenberg menyajikan rangkuman tentang peran penting bahasa Syriak tertulis dari sudut pandang budaya dan linguistik bagi bangsa Arab dan al-Qur’an. Pada masa Muhammad Saw., bahasa Arab bukanlah bahasa tertulis. Syro-Aramaik atau Syriak adalah bahasa komunikasi tertulis di Timur-Dekat dari abad ke-2 hingga ke-7 M. “Yang terpenting adalah bahwa literatur Syriak Aramaik dan lingkungan budaya tempat literatur berada hampir seluruhnya Kristen.” Jadi pengaruh Syriak terhadap mereka yang menciptakan bahasa Arab tertulis disampaikan melalui media Kristen, yang pengaruhnya sangat besar.


Ketiga, Luxenberg memaparkan tradisi Islam tentang riwayat penyampaian awa al-Qur’an. Menurut tradisi itu, Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M) adalah yang kali pertama mengumpulkan catatan-catatan tertulis dari ujaran-ujaran Muhammad (570-632 M) menjadi satu kitab tunggal.


Keempat
, disajikan dalam bukunya (Luxenberg) tentang perkembangan tulisan Arab dan peran pentingnya dalam sejarah penyampaian al-Qur’an. Ia juga menunjukkan bahwa aslinya hanya terdapat enam huruf untuk membedakan sekitar dua puluh enam bunyi. Huruf-huruf itu sedikit demi sedikit dibedakan dengan titik-titik yang ditulis di atas atau di bawah setiap huruf. Abjad Arab yang digunakan dalam al-Qur’an dimulai sebagai sistem tulisan cepat (short hand) untuk membantu pengingatan (mnemonic device) dan tidak dimaksudkan sebagai kunci lengkap ke bunyi-bunyi bahasa itu.


Buku ini, Al-Qur’an Bukan Da Vinci’s Code karya dari Khulqi Rasyid ingi “beroposisi” dengan buku karya Christoph Luxenberg, Die Syro-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlϋsselung der Koransprache, tersebut. Penulis (Khulqi Rasyid) dalam karyanya itu berusaha menambat kekeliruan arus laju penemuan dari Luxenberg. Ia mengungkapkan bahwa al-Qur’an pure adalah firman Tuhan, tidak berasal dari bahasa Syriak-Aramaik. Lebih jauh ia paparkan, bahwa kitab suci al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT. kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW., selama 22 tahun 2 bulan 22 hari secara mutawatir (berangsur-angsur).


Periode turunnya wahyu (al-Qur’an) tersebut ada dua, yaitu periode Makkah yang berlangsung selam 13 tahun dan periode Madinah yang berlangsung selam 10 tahun. Ayat-ayat yang turun di Makkah kemudian disebut ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat yang diturun di Madinah disebut ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan total dari seluruh ayat tersebut terhimpun dalam 114 surat, dan kemudian keseluruhan ayat tersebut dibagi-dibagi dalam 30 juz (hal.50).


Jumlah surat yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu 114 surat, berikut nama-nama surat dan batas-batas tiap-tiap surat, serta susunan ayat-ayatnya adalah berlandas ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. sendiri (
tawqifi). Sementara itu, pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz sudah dilakukan sejak zaman sahabat Nabi. Pembagian itu sekadar untuk hafalan dan amalan dalam tiap-tiap hari semalam atau di dalam sembahyang (Shalat).


Dalam bukunya Luxenberg, Profesor bahasa Semitik, dinyatakan bahwa versi al-Qur’an yang ada saat ini salah salin dan berbeda dengan teks aslinya, jelas itu mengundang kontroversi akut oleh kalangan umat Islam. Menanggapi hal demikian, Taufik Adnan Amal, pakar tafsir al-Qur’an, menjelaskan “Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapapun harus mengalah dan mengakui bahwa al-Qur’an telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi.”


Sedangkan menurut Ali-Syari’ati, “Umat manusia membutuhkan al-Qur’an sebagaimana mereka membutuhkan matahari, lepas dari masa sejarah, pertimbangan-pertimbangan genealogis atau keadaan budaya, pertanian, ekonomi, dan politik. Lebih jauh lagi, al-Qur’an tidak boleh dibandingkan dengan kata-kata seorang pengarang, penyair, filsuf, ataupun sosiolog..”


Membaca buku ini, diharapkan bagi siapa pun, khususnya mahasiswa yang bergelut dalam bidang tafsir, dan bagi umat Islam umumnya. Karena, dengan membacanya akan memukau nalar dan memperkokoh Iman. Dan juga, buku ini memiliki daya pikat yang tinggi, karena cover depan match dengan isi buku. Namun sayangnya, penulis terkesan linear mengkaji counter text, karena posisi kajiannya didudukkan secara terpisah. Kendati pun, buku ini tetap memberikan kontribusi dahsyat dalam cakrawala dan khasanah keislaman.