Jumat, Januari 11, 2008

Belajar Sejarah dari Timbunan Cerita


Judul Buku : Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC)
Penulis : E. S. Ito
Penerbit : Hikmah

Cetakan : I, Oktober 2007
Tebal : 675 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*








Dalam jagad fiksi belakangan ini -baik itu novel, cerpen, maupun puisi-, tak sedikit pengarang memanjakan imanijasi untuk selalu bertanya. Misalnya, Dan Brown yang piawai mengkait-kelindankan konstruksi ceritanya dengan alur hidup seniman besar, Leonardo Da Vinci, hingga novelis itu berhasil melahirkan karya adiluhung The Da Vinci Code yang menggemparkan itu. Begitu juga dengan Matthew Pearl yang membingkai kisahnya dengan kepeloporan penyair, Dante Alighieri (1265-1321), hingga sukses menggubah The Dante Club, novel yang telah melambungkan namanya dalam kancah sastra dunia.


Novel karya Es ito ini, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC), juga tidak bertolak dari semangat membingkai kisah dengan gagasan besar sebagaimana dilakukan Dan Brown dan Matthew Pearl. Pengarang muda ini, mengemas rapi kisahnya lewat sejarah kartel dagang Belanda, VOC, sejak masa awal, masa kejayaan, hingga fase kebangkrutannya, tahun 1799. Jantung tutur kisah dalam novel ini, berkisar di seputar perburuan harta karun VOC yang bermula dari kedatangan laki-laki misterius ke penginapan delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.



Syahdan, para juru runding Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Pihak Belanda menyodorkan klausul tentang pengalihan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden kepada Indonesia. Bung Hatta sudah mencari jalan tengah, tapi para perunding tak berhasil mencapai mufakat. Orang asing itu memberikan selembar kertas lusuh pada seorang delegasi, Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen! (Terima itu perundingan! Indonesia tak akan rugi!), begitu ia berbisik.
Tentu saja Indonesia tak bakal rugi, sebab yang diserahkan laki-laki itu adalah dokumen rahasia berisi petunjuk tentang lokasi penyimpanan emas batangan milik VOC. Celakanya, dokumen itu raib, tak ditemukan di dalam peti dokumen KMB yang dibawa delegasi Indonesia. Itulah basis problem setiap rangkaian cerita dalam novel setebal 675 halaman ini.


Namun, pengarang tidak langsung menukik pada perburuan harta karun yang tertimbun selama lebih dari tiga abad itu. Es Ito malah membuka cerita dengan kasus pembunuhan berantai yang meninggalkan sejumlah tanda tanya besar.


Dalam waktu kurang lebih lima bulan, ditemukan lima mayat yang semuanya terbilang orang penting. Mayat Saleh Sukira (ulama) ditemukan Bukittinggi, Santoso Wanadjaya (pengusaha) dibunuh di Brussels, Nursinta Tegarwati (anggota DPR) dibunuh di Bangka, JP Surono (birokrat) dibunuh di Boven Digoel dan Nono Didaktika (peneliti) dibunuh di Banda Besar.
Satu selubung misteri belum terungkap, pengarang sudah merancang keterkejutan baru. Batu Noah Gultom (wartawan koran Indonesiaraya) dipusingkan oleh penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi universitas Leiden yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah ekonomi kolonial di Jakarta.


Sebelum diculik, Cathleen dititipkan oleh Prof. Huygens (pembimbingnya) di lembaga penelitian partikelir, Central Strategic Affair (CSA).
Redaktur senior Indonesiaraya, Parada Gultom, juga hilang entah ke mana. Batu hampir memastikan bahwa dalang semua peristiwa itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya ; Anarki Nusantara. Sebelumnya, kelompok pengacau yang dipimpin Attar Malaka itu juga dituduh sebagai otak penyerangan bersenjata dan perusakan gedung di sebelah utara Jakarta.


lewat karyanya ini, Es Ito dengan leluasa menggiring pembaca ke dalam suasana Batavia di masa gubernur jenderal Cornelis J Spellman (1682) dan sepak terjang Monsterverbond (persekutuan rahasia yang mengendalikan VOC), lalu dengan sangat tiba-tiba ia mengungkap penemuan terowongan bawah tanah (De Ondergrondse Stad) di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Terowongan itu diduga berujung di tempat penyimpanan dokumen rahasia tentang harta karun VOC yang hilang sejak 1949.



Pada saat yang sama, Es Ito memotret suasana Jakarta hari ini, ia menyebut ‘Bis Transjakarta’, Mikrolet S-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus dan KRL Bojongggede Ekspress. Realitas yang sangat ‘menyehari’ bagi warga Jakarta hari ini.
Terjebak pada suasana mencekam dalam cerita novel ini, ternyata Batu Noah Gultom bukanlah wartawan biasa, ia anggota intelijen militer yang menyusup di Indonesiaraya guna melacak persembunyian Attar Malaka (sebelum buron ia bekerja di sana).


Saat menyelamatkan Cathleen dari penculikan, Batu mengaku polisi bernama Roni, padahal ia adalah Batu August Mendrofa, intelijen militer dengan nama sandi ‘Lalat Merah’.
Sebenarnya, Batu tahu pelaku penculikan Parada Gultom. Redaktur senior itu ‘diambil’ oleh orang-orang suruhan Darmoko, jenderal purnatugas, pemimpin ‘Operasi Omega’ untuk membasmi antek-antek Anarki Nusantara. Parada diinterogasi untuk mengorek informasi perihal keterlibatan Attar Malaka dalam penyerangan bersenjata, perusakan gedung, pembunuhan berantai dan penculikan Cathleen.


ES Ito, pengarang buku ini, membingkai kompleksitas cerita dengan detail sejarah Batavia Tempoe Doeloe. Ada dua pilihan bagi pembaca novel ini; cerita atau sejarah? Jangan-jangan kita memang lebih gampang membangun kesadaran sejarah bila diumpan dengan sederet cerita. Belajar sejarah lewat novel sejarah. Apa boleh buat…

Mengasah Genius Keprigelan Membaca Ekologis



Oleh: A. Qorib Hidayatullah*


Sejarah ibarat gelombang pasang yang siap menggulung siapa saja. Manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat dengan mudah dihempaskan ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Sejarah tentang unggulnya harapan di zaman bergelimang daya-dera yang menggilas. Sejarah yang gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.


Membaca adalah aktivitas niscaya. Agar masyarakat tak melulu dihantam dan dirundung masalah tanpa jeda, kegiatan membaca merupakan investasi mental. Yaitu, mental genius keprigelan masyarakat menggubah bahasa sekaligus mendalami refleksi (muhasabah) dengan bersikeras hendak mengubah tragika nasib hidup ini. Reading and writing is a basic tool in living of a good life (Membaca dan menulis merupakan salah satu piranti dasar kehidupan yang berkualitas), ujar Mortimer J. Adler.


Ayat suci yang kali pertama lahir dari rahim kitab universal, al-Qur’an, adalah kata Iqra’ (anjuran membaca). “Anjuran” Ilahi tersebut mengandung prinsip transformasi dari setiap makhluk bumi. Transformasi yang menggugah pesona diri bersama semesta hikmah agar arif pijaki alam (baca: arif ekologis). Kompleksitas sikap: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing visi dan nilai, berjiwa holistik, kepedulian, menghormati keragaman, independen terhadap lingkungan, berpikir mendasar, pembingkaian ulang, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, dan keterpanggilan, adalah muatan sikap transformasi, ketika seseorang menjadi pendengar setia “anjuran” Ilahi itu.


Lebih jauh lagi, adalah perihal penting bagi seseorang meninggikan antena kepekaan membaca kondisi alam-ekologis saat ini. Ada tamsil indah-menggugah yang diukir oleh Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”


Wujud kearifan dan sikap bijak dari masyarakat pembaca (reading society) pada zaman ini, mengapresiasi secara kontekstual serta menangkap tanda-tanda zaman yang akan terjadi dan telah telanjur terjadi. Bangsa Indonesia memang bangsa yang hidup dinegeri yang kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung pun, tak lepas disatroni lindu, serta banyak rekaman-rekaman terbaru lainnya potret bencana kekinian yang tak tersebut disini.


Membaca dan Memaknai
Alam bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak tidak semakin parah. Didalam kesedihan, ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketidakpastian yang harus dijalani oleh para masyarakat korban. Proses penyelaman ke dalam diri jangan sampai membuat tenggelam dan terputus dengan dunia nyata.


Yang perlu ditekankan dalam membaca untuk memaknai ialah garis tegas introspeksi perihal nilai dan makna interaksi dengan orang lain. Membuat keputusan strategis saat kondisi mental sedang buruk, capek, dan tertekan, perlu dihindari sejak dini. Contoh baik yang dapat ditampilkan, “pada minggu pertama setelah gempa, sebelum dapur umum menyala dan persediaan bahan mentah masih langka, operasi nasi bungkus sangat membantu. Bila tidak, kelaparan bakal meluas dan anak-anak kekurangan gizi.” Kemafhuman membaca atas suatu kondisi tertentu masyarakat, sangat menjadi perihal prioritas. Sebab, salah satu manfaat membaca ialah mengaktifkan learning connection, dan mengolahragakan pikiran.


Bencana itu musibah sekaligus berkah. Kepedulian terhadap kemanusiaan bisa dilatarbelakangi kepentingan politik, bisnis bantuan, dan berbagai semangat filantropis berlumuran pamrih. Misalnya, kepedulian merancang perumahan di Aceh pascatsunami dan rumah tahan gempa yang menutup mata terhadap kearifan lokal. Kepedulian semacam ini tak ubahnya burung gagak hendak berpesta pora memangsa bangkai yang terkapar dizona bencana.


Aparatus pemerintah, aktivis LSM, dan donatur internasional semua bergerak atas nama kemanusiaan. Mereka bisa berperan sebagai iblis, perusak bumi, dan pendewa materi. Membonceng ideologi kemanusiaan untuk melakukan kejahatan yang ujung-ujungnya mencederai kemanusiaan. Bisa juga berperan ganda, sebagai malaikat, pemelihara lingkungan, dan pengayom korban.


Membaca dan Keagungan
Solidaritas adalah harta karun bangsa Indonesia yang terancam punah. Berkah bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam yang kemarin dibanggakan kini diratapi karena dikuras habis persekongkolan elite dan ekonomi lebih cepat dibandingkan eksploitasi penjajahan Belanda dan Jepang.


Keunggulan komparatif bangsa yang bertengger di jalur gebalau alam dahsyat tak lain masih adanya manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang serakah mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.


Dengan menertawakan nasib tragis para penyintas bertahan dalam kesulitan dan tabah dalam penderitaan. Dostoyevsky pernah berujar, ”Jika Anda berharap untuk melihat sekilas ke dalam jiwa manusia dan ingin mengenal seorang manusia, pandanglah saat dia tertawa. Jika dia tertawa dengan lepas, dia orang bijak.”


Manajemen yang perlu dipegang dan dilakukan oleh masyarakat pembaca ekologis yang telah menyaksikan langsung maupun tidak akan potret peristiwa-peristiwa getir seperti diatas, bagaimana ia mampu menarasikan alur kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir yang akan menutup cerita sedih menyayat hati, berbalik menjadi pemantik kesadaran tuna daya lewat keprigelan membaca baru dari masyarakat korban maupun masyarakat saksi. Sebab, ada juga tuduhan umum yang membidik jantung pertahanan bahwa peristiwa kejadian bencana maupun musibah, juga tak lepas dari ulah tangan manusia, tak melulu murni ujian dari Tuhan. Entah mana yang benar?


Geliat Jagad Potret Penerbitan Jogja


Judul Buku : Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)
Penulis : Adhe
Penerbit : KPJ (Komunitas Penerbit Jogja)
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xxxvi + 341 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*



Bersitan awal saat hendak bertandang-kunjung ke kota Gudeg, Jogja, ialah belanja buku sebanyak mungkin dan menjelajah habis dunia perbukuan disana. Bukannya tanpa alasan, citra Jogja -utamanya bagi mahasiswa Jawa Timuran- kadung populer sebagai tempat jual-beli buku melatas harga (murah meriah, akrab selera mahasiswa).


Apa boleh lacur, membincang Jogja sama halnya bercengkerama didunia perbukuan. Jogja telanjur identik industri buku, pun tentunya tak lepas landas dari suburnya penerbit-penerbit buku yang turut andil hebat menopang keberlangsungannya. Penerbitan buku Jogja, seakan menjadi ruh jiwa dari maraknya buku ditempat tersebut. Alam penerbit dan dunia perbukuan bertali-temali meniup serentak jantung pertahanan pasar pembaca. Musykil bila ada buku, tanpa dunia penerbitan.


Buku gubahan letih Adhe ini, Declare!, merekam panjang kamar kerja penerbit Jogja mulai 1998-2007. Merupakan buku debut utuh, ‘menelanjangi’ kulit hingga biji terdalam sejarah dan perkembangan penerbitan Jogja. Adhe mengungkap penulisan buku ini sempat mogok dikarenakan tak sesuai mood, melainkan provokasi kawan rekan kerjanya. Ditulis berbasis sudut pandang dari dalam (from within) dengan cara melakukan studi literatur dan wawancara mendalam terhadap para pekerja buku yang menjalani kelewat rentang waktu di dunia penerbitan.


Yang menarik disampaikan dari karya Adhe ini, ialah kegelisahan sesama penerbit Jogja yang terancam gulung tikar, disebabkan tuntutan pilihan sadar, tegakkan garis batas idealisme atau terjebak pada talapak kaki pragmatisme pasar. Tarik ulur diantara keduanya itu, terlihat betul dalam wacana perbukuan di Jogja. Asal diketahui, gemuruh semangat para pendiri penerbit di Jogja –yang mana para pendirinya mayoritas berangkat dari kalangan aktivis mahasiswa- ingin menerbitkan buku-buku bertema ‘berat’ dengan menutup mata rapat-rapat terhadap pasar. Sementara, ada penerbit yang menggadaikan idealisme sucinya dengan menerbitkan buku-buku murahan tapi mendapat lahan pasar yang bagus. Kasus dilematik seperti inilah yang selalu menghantui penerbit Jogja saat ini.


Lepas daripada itu, buku inipun menyampaikan analisis sosiologis kenapa penerbit Jogja berpotensi berkembang pesat dan banyak mendapat peneguhan disana-sini, sehingga menarik untuk dibahas. Ternyata alasan mendasar untuk menjawab hal itu, bukanlah terletak pada omzet atau pasarnya. Kalaupun berbicara tentang omzet, banyak penerbit dari kota lain yang lebih menarik dan menggiurkan. Namun, mengenai Jogja sebagai industri buku, seorang pebisnis buku mengaku: “Di Jogja apa saja ada.” Maksudnya, lingkaran industri buku dari pengadaan naskah hingga pemasaran dapat dilakukan di Jogja. Di Jogja, relasi timbal-balik antara industri buku dan industri budaya cukup jelas, masing-masing saling mengadakan, serta saling mengukuhkan.


Pengalaman menarik yang bisa dipetik dari sejarah perbukuan Jogja adalah bahwa menjadi penerbit ternyata tidak harus memproduksi buku-buku teks seperti lazim dilakukan oleh penerbit-penerbit yang sudah ada pada waktu itu. Orang ternyata bisa menjual buku yang selama ini belum ada dipasar. Dengan kata lain, lahirnya penerbitan juga melahirkan pengalaman melihat pasar, pengalaman melihat wacana alternatif, dan tentu saja pengalaman berorganisasi. Pengalaman ini sebagian besar berada diluar jaringan penerbitan yang sudah mapan.


Situasi ini ditunjukkan oleh kemunculan industri buku di Jogja tahun 1990-an. Industri buku di Jogja didukung pertama-tama oleh orang-orang yang ingin menjawab kebutuhan masyarakat akan munculnya wacana yang berbeda dari wacana yang sudah ada. Sebagian besar penerbit mapan kurang sensitif dengan apa yang berkembang dalam kantung-kantung intelektual di Jogja, entah itu dalam bentuk kelompok studi, LSM, dan sebagainya.


Penerbit Jogja, acap pula disebut penerbit kecil, penerbit alternatif, penerbit rumahan, penerbit koboi, dan penerbit gelap; memiliki kontribusi nilai dan yang sangat berharga bagi industri literasi di Indonesia. Penerbit Jogja juga telanjur diberi stigma sebagai penerbit sompral. Gemar melanggar hak cipta terjemahan, cenderung sembrono menerbitkan buku terjemahan, abai terhadap pembayaran honor penerjemah dan penulis lokal, pemilik penerbitan mencitrakan diri sebagai pengusaha makmur sementara karyawannya miskin kecingkrangan, tidak jujur dalam oplah cetakan, dan membikin semrawut tata niaga buku dengan jor-joran rabat besar.


Kendati sontoloyo dalam manajemen pengelolaan dan tuna daya dalam permodalan, penerbit Jogja yang dijuluki Lucky Luke (koboi jago tembak yang sering salah sasaran) yang serentak berkibar mulai 1998 itu boleh dibilang fenomenal. Lahir dari tangan para aktivis dan kaum idealis, penerbit Jogja identik dengan buku-buku wacana serius. Jogja melahirkan legenda buku sekaligus estetika sampul nyaris tak tergantikan: Buldanul Khuri dan Hari Ong Wahyu. Pula memasok para kampiun penulis muda berbakat seperti Moammar Emka, Herlinatin, Muhidin M. Dahlan.


Penerbit Jogja sesungguhnya hikayat kaum tabah yang memiliki distingsi (keunikan) dalam beberapa prinsip transformasi: spontanitas, pembingkaian ulang masalah, dan mengambil manfaat dari kemalangan. Kendati akhirnya rontok dan berguguran, Lucky Luke, si penunggang kuda lamban Jolly Jumper, terbukti mampu mengubah pola pikir dan perilaku pembaca menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman baru (openness to experience) dan penuh dedikasi (conscientiousness).


Buku ini juga membahas fenomena maraknya penerbit sesudah 2004 yang sangat pragmatis, bervisi jangka pendek, dan pro pasar. Dijelaskan pula ekspansi pemodal besar yang kepincut dengan gagrak (langgam) penerbitan Jogja. Tak kalah menarik fenomena merajalelanya event organizer yang getol menggeber pameran buku. Bagaimanapun, kelahiran para penerbit Jogja adalah fenomena luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara sederhana.