Kamis, Mei 01, 2008

Kedahsyatan Talk Show Kick Andy


Judul Buku : KICK ANDY: Kumpulan Kisah Inspiratif

Penulis : Gantyo Koespradono

Penerbit : Bentang

Cetakan : I, Maret 2008

Tebal : x + 274 hlm

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*



Di tengah semarak tontonan layar kaca dinilai hanya tayangan murahan, tak mendidik dan mengajarkan hidup konsumtif serta primitif, Kick Andy menampilkan tayangan berbeda. Berdasar The Power of Kick Andy, acara ini hendak memelopori stasiun televisi agar menyajikan program yang bermutu.


Tak dimungkiri, banyak stasiun televisi menyiarkan tayangan-tayangan yang hanya menuhankan rating, sehingga pernah ada masa di mana acara misteri menjadi program unggulan. Mengomentari acara-acara televisi yang seperti itu, seorang anggota masyarakat dalam sebuah blog menulis seperti ini: “Saya saat berkeluarga nanti dan jika siaran televisi kita belum juga berubah atau lebih buruk, lebih baik saya membawa keluarga dan anak-anak saya pulang kampung dan tinggal di pedalaman di mana tidak tercemar dengan siaran-siaran ‘sampah’ yang ada di televisi Indonesia. Benar, saya sudah sangat muak.”


Belakangan ini, selain sinetron, tak sedikit stasiun televisi kita yang menayangkan acara-acara kuis berbau judi yang memotivasi orang untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas. Apalagi acara infotainment, jangan ditanya lagi. Program gosip-menggosip para artis ini mengambil porsi waktu paling besar dari jam tayang stasiun televisi kita. Bayangkan, ada sebuah stasiun televisi yang menayangkan seri acara seperti itu pada pagi buta, siang, sore, dan malam.


Sebagai talk show yang masuk peringkat 20 besar top program Metro TV, topik-topik Kick Andy sering menyentak pemirsa karena kerap menampilkan peristiwa masa lalu yang sudah dilupakan banyak orang. Kick Andy awalnya hanya sebuah kerinduan yang diwacanakan oleh bos Metro TV, Surya Paloh, yang ingin mendayagunakan kemampuan Andy F Noya (akrab dipanggil Andy) untuk tampil apa adanya di layar kaca.


Di mata Surya Paloh, Andy yang suaranya biasa-biasa saja, bahkan cenderung cempreng, punya kemampuan luar biasa, terutama dalam menggali informasi yang “disembunyikan” narasumber. Dalam pengalamannya memandu acara talk show Today’s Dialogue di Metro TV, para narasumber —umumnya para politikus dan pejabat— kerap dibuat tak berdaya saat harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Andy yang selalu menukik pada sasaran yang jawabannya ditunggu-tunggu pemirsa.


Lewat suntikan semangat gigih dari para tim kreatif Kick Andy yang berjumlah 13 orang, akhirnya menghantarkan acara ini mendapat tempat sambutan luar biasa di hati penontonnya. Meski tayangan Kick Andy juga menjunjung semangat idealisme, acara ini pun ternyata laku dijual. Tak ayal, setiap Kamis pukul 22.05-23.00 WIB penonton setianya bersigegas memindah channel TV ke Metro TV guna menonton live acara Kick Andy. Tayangan-tayangan Kick Andy yang sarat inspirasi serta motivasi, memagnet penontonnya agar tak melulu menonton dengan mata dan pikiran saja tapi juga dengan hati.


Berkat kenyentrikannya saat jadi host di Today’s Dialogue, Andy pun ditahbis pemimpin Metro TV untuk memandu langsung Kick Andy. Andy memiliki nama lengkap Andy Flores Noya, pria berambut khas kribo kelahiran Surabaya. Andy mengaku merasa jatuh cinta pada dunia tulis-menulis mulai sejak kecil. “Kemampuan menggambar kartun dan karikatur semakin membuat saya memilih dunia tulis-menulis sebagai jalan hidup saya,” kata Andy (hlm 40).


Di bidang jurnalisk, beragam media cetak (koran) dan media elektronik (televisi) ia gawangi. Berbekal pengetahuan jurnalistik yang ia timba di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Politik Jakarta) menjadikan karir jurnalistiknya melesat cepat. Dan ketangkasan Andy di bidang jurnalistik itu membuat acara Kick Andy semakin hidup.


Persis seperti komentar-komentar para tokoh yang menjadi narasumber Kick Andy. Misalnya, pendapat Gus Dur, yang mengatakan keistimewaan Kick Andy terletak pada gaya Andy mewawancarai dengan pertanyaan yang menantang. Sedangkan Aa Gym mengomentari Kick Andy merupakan talk show yang amat manusiawi dan menyentuh hati karena dalam bahasa dan caranya menggunakan hati.

Sesuai dengan karakter dan gaya Andy saat memandu Today’s Dialogue, Kick Andy memang harus nakal, nyentil, nyindir, tajam namun tidak menyakitkan narasumber. Berbeda dengan Today’s Dialogue yang banyak memasuki wilayah politik, Kick Andy menyajikan topik-topik sosial, kesehatan, pendidikan, budaya, dan masalah kemasyarakatan lainnya.


Seperti kisah-kisah yang telah ditayangkan dan terhimpun rapi di buku ini dari episode ke episode, “Cantik dengan Plastik”, “Jangan Bugil di Depan Kamera!”, “Tragedi Itu Tetap Misteri”, “Pengakuan Mayor Alfredo”, “Republik Benar-benar Mabok”, “Xanana Gusmao”, “Pergolakan Batin Sang Model”, “Tragedi Anak Bangsa”, “Sepenggal Asa di Balik Terali”, dll.


Kick Andy dirancang untuk memberikan inspirasi bagi penonton. Misalnya mereka yang cacat tidak merasa terbatas dengan cacatnya, tidak merasa hidupnya hancur. Sebaliknya malah justru berprestasi, sehingga memotivasi penonton untuk juga memiliki semangat hidup dan daya juang tinggi.


Bahkan, Andy pun sebagai host sempat turut larut saat acara yang dipandunya mengangkat topik kekerasan pada anak-anak dan remaja di sekolah (bullying). Andy menangis mendengar penuturan Joko Kirsan. Joko adalah ayah Vivi Kusrini, seorang pelajar putri, siswi SMP 10 Bantar Gebang, Bekasi, yang diejek teman-teman sekolahnya lantaran ayahnya penjual bubur. Andy menangis karena teringat ayahnya yang juga “hanya” tukang servis mesin tik (hlm 38).

Buku ini, Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif diniati telah lama oleh Gantyo Koespradono agar cepat kelar dalam penulisannya. Kehadiran buku ini sangat cocok untuk mahasiswa komunikasi, praktisi jurnalistik, pengamat komunikasi, dan siapa saja yang ingin menonton dengan hati. Kisah-kisah yang disajikan dalam buku ini mudah membikin pembaca mengucurkan air mata.

Potret Kegagalan Pemimpin Indonesia


Judul Buku : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia

Penulis : Ishak Rafick

Penerbit : Ufuk Press

Cetakan : I, Februari 2008

Tebal : xx + 422 Halaman

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*


Bung Karno pernah mengungkap, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Kalimat itu perlu dihadirkan terus-menerus dalam helat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Negara ini bisa bangkit maju, keluar dari belitan masalah, tentu tak luput dari pembacaan sejarah kegagalan dari lima pemimpin Indonesia.


Bermula pada bulan Juli 1997, ditengarai awal munculnya krisis moneter (krismon) yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengempis terhadap US$. Keadaan itu membikin khawatir banyak orang. Pelaku bisnis yang sebelumnya mengandalkan utang luar negeri, berubah makhluk yang paling cemas. Sebab setelah kekuatan intervensi ditambah, nilai rupiah langsung masuk ke jurang yang semakin lebar.


Keadaan itu, mendesak para pengamat ekonomi untuk memetakan dan melakukan analisis, mengapa Indonesia gagal tinggal landas setelah 32 tahun Orde Baru. Dan, bagaimana konsepsi peranan dan ketangguhan negara serta koorporasi dalam menghadapi gejolak krisis baik pada tahap awal maupun pasca krisis. Buku ini, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia, karya Ishak Rafick, mengupas kegagalan-kegagalan yang dilakukan pemimpin-pemimpin Indonesia.


Krismon, teramal sejak awal oleh pakar-pakar ekonomi semacam Managing Director Econit, waktu itu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kritis Kwik Kian Gie, dan Fu’ad Bawazier —mantan Dirjen Pajak yang kemudian diangkat Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII. Namun, suara-suara pakar itu tersaingi oleh suara-suara lain yang lebih lantang —baik di dalam kabinet maupun di luar. Suara-suara yang lantang itulah akhirnya malah memberi semangat pemerintah untuk ikut saran IMF.


Padahal, kebijakan ekonomi nasional yang melulu berkiblat pada IMF, tampak memperjelas bahwa negara Indonesia hampa ideologi, digilas habis dominasi pragmatisme. Pemimpin-pemimpin Indonesia ditengarai hanya mempertontonkan keadaan negaranya yang lemah visi, sehingga tak ada pilihan lain selain memperkukuh dominasi IMF dan Bank Dunia.

Selain itu, semakin patuh pada pola pikir IMF, membuktikan bahwa elit pengambil kebijakan ekonomi bangsa ini tak kreatif dan memiliki ketergantungan mental dan intelektual sangat kuat terhadap hutang dan pola pikir IMF yang sangat monetaris. Di titik inilah, pemerintah diharap mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi dan berupaya menghindari peranan yang sangat besar dari lembaga-lembaga internasional —IMF dan Bank Dunia— dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi nasional.


Dalam konteks itulah, pelajaran menarik saat kita menilik krisis ekonomi yang melanda Asia pada pertengahan 1997. Di mana, negara-negara Asia Timur dan Tenggara justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai momentum historis dengan melakukan berbagai langkah perbaikan struktural. Mahathir misalkan, dengan sadar menolak resep IMF karena pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Sementara di Singapura, malah melanjutkan tradisi berpikir Goh Keng Swee (arsitek ekonomi Singapura) yang kritis terhadap dampak negatif dari kapitalisme predatori. Mengambil langkah-langkah penguatan lembaga keuangan dalam negeri dan perbaikan corporate governance guna meredam badai krisis moneter.


Matinya Ideologi Pemilu

Selain tajam menganalisis problem krisis moneter yang menimpa bangsa ini, Ishak Rafick —dalam bukunya ini— juga melakukan pembacaan kritis atas dinamika politik pemilu 1999 dan pemilu 2004. Berdasar argumentasi kuat, Ishak menarik kesimpulan yang tepat tentang kematian ideologi pemilu dalam percaturan politik di Indonesia.


Ternyata pasca Soeharto makzul, ada ruang kosong demokratisasi yang dengan gesit diambil alih oligarki politik serta ekonomi yang tumbuh pada masa Orde Baru. Jangan aneh, bila transisi dari sistem otoriter ke sistem demokratis tidak membawa manfaat besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Jamak diketahui, proses pemilu atau pun pilkada sangat diwarnai dan didominasi oleh politik uang.


Apabila kecenderungan itu terus berlanjut, maka akan timbul pertanyaan, apakah demokrasi bermanfaat untuk rakyat mayoritas. Seperti yang dikatakan Ishak, matinya ideologi dalam proses politik Indonesia merupakan salah satu penyebab utama komersialisasi dan dominasi politik uang dalam proses demokrasi di Indonesia.

Jalan Baru

Tak dapat dimungkiri, masa depan negara dan bangsa ini sekarang berada di titik nadir. Tanpa perjuangan Kabinet Indonesia bersatu SBY-JK, dapat dipastikan nasib rakyat semakin memburuk. Gejalanya mulai tampak bernas, merebaknya pengangguran, busung lapar, kurang gizi, meningkatnya angka putus sekolah, bencana alam, serta berbagai penyakit ringan yang merenggut nyawa —cuma karena si sakit tak punya biaya untuk berobat.


Bila negara-negara maju mampu memberikan asuransi kesehatan kepada segenap rakyatnya dan dunia pendidikan dibikin gratis, bahkan diguyur beasiswa sebagai investasi masa depan, tentu rakyat Indonesia juga berhak mendapat perlakuan serupa dari pemerintahnya.


Buku ini sangat manantang pikiran sekaligus menggugah nurani. Lewat ketangkasan Ishak Rafick —sebagai wartawan senior— yang telah lama bergelut di dunia jurnalistik, mampu menyampaikan topik berat dalam buku ini secara ringan. Bagaimana pun, buku ini telah berkontribusi besar demi kecerdasan para pengambil kebijakan —utamanya di bidang ekonomi— dengan tidak lagi terjerumus dalam neoliberalisme kebijakan.