Rabu, Juni 11, 2008

LESBUMI, Ikon Modernitas NU


Judul Buku : LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan

Penulis : Choirotun Chisaan

Penerbit : LKiS Jogja

Cetakan : I, Maret 2008

Tebal : xvi + 247 Halaman

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*


Beragam judul buku bermunculan guna merekam gerak avonturus NU menjelang satu abad. Nur Khalik Ridwan misalnya, beberapa bulan silam ia membikin buku NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (2008). Nur Khalik merupakan penulis prolifik intelektual muda NU yang berijtihad literasi kreatif sebab prihatin akan tempaan nasib yang dialami organisasinya ke depan.


Dalam bukunya, Nur Khalik membaca gejala amuk neoliberalisme yang ditengarai gampang meremuk-redamkan masa depan warga NU. Pendeknya, Nur Khalik melacak tantangan NU di masa mendatang. Berbeda dengan Nur Khalik, penulis buku ini, Choirotun Chisaan, malah bernostalgia hendak meraih ikon berharga NU yang kini lambat laun ditengarai terancam lenyap. Ikon itu adalah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang konon dielu-elukan sebagai penanda kemodernan di tubuh NU.


Sejak menarik diri dari partai Masyumi tahun 1952, partai NU berupaya memodernisasi dirinya. Hal ini dibuktikan bahwa di tubuh partai NU pun memiliki perhatian pada bidang pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh. Sehingga pada gilirannya, partai NU mulai merangsek ke bidang lainnya, yaitu Lesbumi. Lesbumi dibentuk pada tahun 1962. Berbagai macam artis, pelukis, bintang film, pemain pentas, dan sastrawan terhimpun di Lesbumi. Tak ayal, lembaga ini pun beranggotakan ulama yang memiliki dasar seni yang cukup baik.


Kehadiran Lesbumi tak semulus yang diharapkan. Lembaga ini mengundang polemik dengan munculnya anggapan bahwa Lesbumi sebagai penggerogot martabat NU (hal 117). Ekses gerak kesenian Lesbumi berimplikasi memicu keresahan di kalangan ulama. Ulama berbeda perspektif (ikhtilaf) menyikapi ihwal kesenian modern yang diusung Lesbumi. Misalnya, sikap ulama Pasuruan yang mengharamkan drama, sementara ulama Yogyakarta membolehkannya.


Kendati demikian, kesan kuat tampilnya Lesbumi di tubuh NU menjadikan penanda kemodernan penting, di mana seni budaya merupakan bidang fokus perhatian baru bagi NU. Bahkan, Pengurus Ranting NU Telogosari, Pasuruan, Jatim, lewat sebuah surat yang dilayangkan ke PBNU (PP Lesbumi) tertanggal 1 Maret 1963, menghendaki agar PP Lesbumi memberi tuntunan untuk melaksanakan kesenian dalam Islam selain kesenian diba’, hadrah, jam’iyatul qurra’, dan pencak (hal 119). Mereka menginginkan agar bentuk kesenian modern, seperti gambus, drama, teater, dll, diberikan tuntunannya karena mereka tidak ingin ketinggalan zaman.


Di samping itu, Lesbumi sebagai ikon modernitas NU tentu tak luput dari siapa yang berperan dan terlibat aktif mengurusi lembaga ini. Pengurus-pengurus Lesbumi memiliki latar belakang berbeda dibanding warga NU kebanyakan. Bila berkomitmen merujuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU menyangkut keanggotaan,—baik sebelum NU menjadi partai politik (1926) maupun sesudahnya (1952)—, bisa dimafhumi bahwa seniman dan budayawan pun bebas leluasa bergabung dengan partai NU. Dengan begitu, seniman-budayawan dapat dikategorikan sebagai anggota “bukan guru agama” (ulama).


Citra Lesbumi memodernkan NU tak lepas dari personifikasi dari ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik (1917-1970), Usmar Ismail (1921-1971), dan Asrul Sani (1927-2004). Lewat Lesbumilah NU mengekplorasi wujud relasi antara agama, seni, dan politik. Sebagai organisasi kebudayaan di bawah naungan NU, Lesbumi telah melakukan kompromi politik dan agama dalam konteks “kemusliman” melalui upaya pendefinisian seni-budaya “Islam.”


Seperti hasil Musyawarah Besar yang diselenggarakan empat bulan pasca Lesbumi dibentuk, ialah merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi kaum seni Lesbumi. Ketiga hal pokok itu meliputi penafsiran tentang kebudayaan Islam, seni Islam, dan seniman dan budayawan Islam. Tiga komponen asasi itu mencerminkan prinsip yang dianut kaum Lesbumi dengan menjadikan seni untuk mengabdi kepada Tuhan. Inilah titik penting yang membedakan Lesbumi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) PKI.


Pendapat ekstrim mengemukakan bahwa muasal Lesbumi muncul terkait dengan faktor ekstern kedekatan hubungan antara Lekra dengan PKI. Dus, kelahiran Lesbumi merupakan bagian dari pola umum reaksi Lekra-PKI. Tujuannya ialah pendefinisian “agama”—tentu saja agama Islam—sebagai unsur mutlak dalam nation-building yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, khususnya di bidang kebudayaan.


Kemunculan Lesbumi pun juga tak bisa dilepaskan dari momen politik dan momen budaya sekaligus. Lesbumi berkait-kelindan dengan momen politik ialah dikeluarkannya Manifesto Politik pada tahun 1959 oleh presiden Soekarno (hal 133). Di mana waktu itu, lagi gencar-gencarnya pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia, serta perkembangan Lekra yang makin menampakkan kedekatannya dengan PKI. Pada saat yang bersamaan, Lesbumi juga tak dapat dilepaskan dari momen budaya. Lesbumi dijadikan payung pemenuhan kebutuhan akan pendampingan pada kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdhiyyin dan modernisasi seni-budaya. Hingga pada akhirnya, dengan latar belakang momen politik dan momen budaya itulah Lesbumi lahir dan berkembang.

Pada sejarah zamannya, seni-budaya pesantren merupakan basis kultural Lesbumi, sehingga pesantren menemukan ruang sosio-kulturalnya dalam pentas budaya nasional. Kalau tidak berlebihan, kehadiran Lesbumi bisa dikatakan menjadi pendobrak fenomena seni-budaya pesantren yang lazim dipandang tradisional, kolot, kearab-araban, dan tak sejalan dengan modernitas.


Choirotun Chisaan lewat bukunya ini —di mana sebelumnya merupakan penelitian tesis S2-nya di Program Magister Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta—, meneroka mengapa Lesbumi lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di Indonesia.


Buku ini memiliki data yang cukup matang. Seperti pengakuan penulis di dalam bukunya ini, riset pustaka tentang Lesbumi dilakukan hingga perpustakaan ARI dan NUS Singapura. Buku semacam ini tergolong langka hingga layak diapresiasi dengan membacanya.

Pesona Sang Kandidat Kulit Hitam


Judul Buku : OBAMA: Tentang Israel, Islam, dan Amerika

Penyusun : Taufik Rahman, dkk.

Penerbit : Hikmah

Cetakan : I, April 2008

Tebal : xx + 281 Hal

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*



Barack Obama, akhir-akhir ini popular dibincang publik Indonesia. Kandidat berkulit hitam yang bertanding dalam Pemilu AS 2008 itu disebut-sebut pernah tinggal dan sekolah di Jakarta pada 1967-1971. Hal inilah yang menyuntikkan daya kuat ikatan emosional publik Indonesia dengan Barack Obama.


Di Indonesia, Obama tercatat pernah menuntut ilmu di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Menteng 01 yang terletak di jalan Besuki nomor 4 Jakarta Pusat. Sekolah ini, didirikan oleh Belanda pada 1934 dan diserahterimakan kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1961. Sehingga bila orang Indonesia diperkenankan memilih, maka Barack Obama yang akan menjadi presiden negara adidaya itu. Paling tidak itulah yang terjadi dalam simulasi pemilihan presiden AS di Kedutaan Besar Amerika pada Februari lalu. Simulasi itu melibatkan mahasiswa, pengamat politik dan hubungan internasional, serta aktivis organisasi nonpemerintah Indonesia.


Obama adalah sosok pemimpin penuh daya pikat. Kepribadiannya yang menarik serta lihai beradaptasi dengan siapa pun menjadikan dirinya mudah diterima publik AS hingga menghantarkannya sebagai senator Illinois. Georgey Clooney menyebut Obama, yang lahir di Honolulu, Hawaii, pada 4 Agustus 1961, punya kualitas yang orang tak bisa mengajarkannya dan mempelajarinya. “Dia masuk ke satu ruangan dan kau ingin mengikutinya ke suatu tempat, di mana pun,” kata Clooney.


Sebagian dari bukti daya tarik itu tampak, misalnya, dari terus berderetnya barisan orang-orang ternama, para selebritas, yang tampil menjadi pendukung: Oprah Winfrey (host acara televisi), Edward Norton, Will Smith, George Clooney, Rob Reiner, Matt Damon, dan Ben Afflek (aktor; sutradara), Warren Buffet (investor; orang terkaya di dunia), Steven D. Levitt (penulis buku laris Freakonomics), dan lain-lain.


Komitmen gigih mengabdi kepada negara dan menciptakan perdamaian di AS serta menjunjung tinggi demokrasi, menyebabkan Obama mendulang banyak kepercayaan dari warga AS. Dari apa yang berlangsung dalam rangkaian pemilihan tahap awal, pemilihan untuk menentukan kandidat tunggal di lingkungan Partai Demokrat sendiri, bisa disaksikan betapa Obama bagaikan magnet yang berkekuatan luar biasa besar. Dia membuat saingan terkuatnya, Hillary Clinton, istri mantan presiden Bill Clinton dan senator dari Negara Bagian New York itu, kelimpungan. Pencalonan Obama diyakini mengandung potensi transformatif.


Melirik substansi dan spektrum ide-ide yang ditawarkannya, Rizal Mallarangeng —pengamat politik di Indonesia jebolan Ohio State University AS—menempatkan Obama sebagai politikus moderat dalam tradisi liberal Amerika. Ia merelikui tradisi politik yang dirintis Bill Clinton dan Tony Blair. Hal itu membedakan Obama dengan para politisi kulit hitam yang cenderung memilih garis ekstrim, baik di kiri (Jesse Jackson) maupun di kanan (Alan Keyes).


Obama hendak memberi kesan bahwa dirinya cenderung mempraktikkan politik jalan tengah. Misalnya, di bidang pembangunan ekonomi Amerika, Obama mengakui pentingnya mekanisme pasar, namun tetap ingin mengembangkan peran negara yang sehat dan efektif. Dalam bidang kehidupan keagamaan, ia bersimpati terhadap kaum konservatif, namun ia memahami betul bahwa tradisi sekulerisme Amerika adalah tradisi sakral yang harus terus diperkuat. Atau dalam menjembatani perbedaan kaum Demokrat dan kaum Republikan, ia ingin membangun sebuah konsensus bersama yang mempertemukan secara kreatif pandangan-pandangan yang berbenturan (hlm. 22-23).


Meski Obama secara kasat mata memiliki masa depan karier politik yang cerah, namun rival-rival politiknya tak kalah hebat untuk menjatuhkannya. Lawan politik Obama sering mempersamakan nama lengkapnya —Barack Hussein Obama, dengan dua tokoh yang sangat dimusuhi pemerintahan Amerika, Osama bin Laden dan Saddam Hussein.


Selain itu, enigma keislaman Obama menjadi lahan sasaran empuk musuh politiknya. Seperti yang dilakukan Judy Rose, koordinator relawan kampanye Hillary Clinton, yang mengirim email berantai dengan menyebut Barack Obama adalah seorang Muslim yang ingin menghancurkan Amerika Serikat (AS). Dengan begitu, Obama langsung dan secara tegas menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Kristen dan tidak pernah menjadi Muslim. Dia disumpah di bawah Injil ketika menjadi senator untuk mewakili daerah pemilihan Illinois. Dan sejak awal dia adalah anggota United Church of Christ, sebuah gereja Protestan yang dikenal sangat liberal.


Yang jelas, Obama kini menjadi tumpuan harapan banyak orang, baik warga AS sendiri maupun warga negara lain. Seperti yang ditulis Abdillah Toha —anggota komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI—, dalam kata pengantar untuk buku ini, bahwa Obama dan Hillary Rodham Clinton diharap menjadi alternatif positif karena telah rajin melancarkan kritik kepada kebijakan luar negeri Bush.


Hingga kini masih jadi teka-teki siapa yang nantinya akan menggantikan posisi George W. Bush. Namun, pemilih calon presiden AS mungkin bisa menggunakan penemuan yang dirilis grafolog sebagai bahan pertimbangan. Grafolog adalah ilmu membaca sifat seseorang berdasar tulisan tangan. Beberapa grafolog telah merilis hasil analisis tentang kepribadian Barack Obama, Hillary Clinton, John McCain berdasar tulisan tangan mereka.


Hasilnya, disimpulkan bahwa Hillary adalah orangnya cerdas dan tegas, McCain sombong dan mudah berubah pendirian, sedangkan Obama mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dan situasi. Cukup dengan tanda tangan dari tiga kandidat itu saja, kepribadian mereka dapat disimpulkan.


Meski grafolog bukan merupakan hal yang dianggap serius di AS maupun Eropa, bukan berarti tidak ada yang berminat dengan analisis mereka. Setiap ada pemilihan presiden AS, para grafolog selalu merilis analisis tulisan tangan kandidat calon presiden untuk memuaskan rasa ingin tahu pemilih.


Buku ini, selain memaparkan kisah masa kecil Obama di Jakarta, juga menampilkan sosok Obama dewasa. Penulisnya tak ingin pembaca hanya disuguhi perjalanan hidup Obama, tapi bagaimana Obama agar dikenal luar dalam.