Senin, Oktober 20, 2008

Buruh Kecil yang Mencintai Peti Mati


Esai A Qorib Hidayatullah

Intimitas cinta kehidupan adalah melawan. Perlawanan memberi bentangan sejarah dengan menjadikan kaum pelawan terkenal. Orang yang hanya melacurkan hidupnya akan kemapanan tak ubahnya kaum yang menyengaja diri tersungkur di telapak etalase kekuasaan.

Sejarah menakdirkan, kekuasaan dan perlawanan tak dapat bersanding mesra. Frase kekuasaan dan melawan dicipta berseberangan, ber-oposisi biner. Bak langit dan bumi yang tak bakal ketemu. Seamsal laki-laki dan wanita tak bisa menyulap kelaminnya menjadi sama. Perlawanan, semacam esensi hidup yang niscaya.

Tak sedikit dari serakan kehidupan sekitar kita yang membutuhkan lecutan cambuk perlawanan. Persis seperti garitan surat Yusuf Ishak untuk Pramoedya Ananta Toer, “Verba amini proferre et vitam impendero vero (Dia mengutarakan pikirannya dengan bebas dan mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran).” Surat itu memberi kesaksian pentingnya semangat perlawanan hingga nyawa jadi taruhannya.

Hidup melawan, —jika kita menangkap pesan surat Yusuf Ishak tersebut­— ialah jembatan untuk mencari kebenaran. Dikarenakan kebenaran manusia yang relatif itulah, di mana benar bagi diri kita belum tentu benar buat orang lain, maka perlawanan perlahan menjadi penting.

Musuh raksasa bagi kaum pelawan adalah represifitas. Tindakan represif pernah menjadi amunisi ampuh orde baru guna membungkam kaum pelawan kritis. Mereka (kaum pelawan) tak hanya dihadapkan pada teror lahir, tapi secara batin pun mereka diancam. Tengok misalkan, peristiwa Mei 1998 yang menjadi sejarah soliluqui (sejarah yang mencekam dan berlarat) hingga memberi efek trauma berkepanjangan demi reformasi.

Hakikatnya, —seperti yang telah disinggung sebelumnya— bahwa perlawanan itu niscaya sebab melawan adalah kontrol sosial. Keseimbangan hidup bernegara, bersosial lewat pelawanan akan tercipta. Sejarah meletihkan perjuangan bangsa ini pun juga digaransi berkat daya resistensi melawan kolonialisme.

Sebab perlawanan menjadi peralatan yang tidak memiliki harga, artinya siapa pun berpeluang melawan, hal ini yang kemudian membikin perlawanan menjadi laris di era kini. Setelah kran reformasi dibuka lebar-lebar, perlawanan mewujud barang dagangan yang gemar orang melakukannnya. Dalam setiap ketimpangan terjadi, dan ketimpangan tersebut teraudit oleh kemafhuman rakyat, maka rakyat pun tak segan-segan meluncurkan sebuah resistensi.

Wacana terorisme global yang telah enam tahun lamanya terdengung, tak lain merupakan bentuk perlawanan komunitas masyarakat tertentu. Terlepas bahwa terorisme terstereotifikasi atas dunia Timur (Islam), bahwa mereka antek teroris global yang harus digilas dengan melakukan invasi.

Aneka kemasan perlawanan yang dimiliki rakyat. Misalkan, long march unjuk rasa yang digelar di depan gedung legislatif, dll guna memprotes kebijakan publik pemerintah yang tak seselera dengan rakyat. Senjata perlawanan tak hanya dimiliki oleh dunia pertama, tapi dunia ketiga pun juga memiliki peluang serupa guna melawan dunia pertama.

Ekstase kenikmatan perlawanan berakhir dititik keagungan. Hidup melawan, sejatinya, hanya dipunyai kaum lemah tertindas. Tapi yang lebih penting dipahami, melawan tak segampang membalikkan telapak tangan. Hidup melawan menuntut adanya jaminan sonder kenyamanan hidup. Seperti kisah berlarat kaum buruh yang mencintai peti mati (rela berkorban nyawa) demi tegaknya kebenaran dan keadilan dengan cara melawan. Melawanlah, dan cintailah peti mati, kawan!

Dosa pada Masyarakat Literer


Esai A Qorib Hidayatullah

Rubrik Bentara Kompas awal bulan Juni 2008 silam menayangkan tulisan polemik seputar plagiarisme. Muasal tulisan itu diturunkan pada Bentara Kompas lantaran ulah dosen UI menulis di media nasional tentang sejarah fotografi secara plagiat. Dengan begitu, prilaku dosen UI yang tak kerkeadaban di lapangan dunia tulis-menulis itu ditanggapi oleh oknum yang mengaku penggubah naskah asli sejarah fotografi tersebut. Al-hasil, aksi tuntut-menuntut pun terjadi. Dilayangkanlah tulisan ke surat pembaca Kompas oleh si penggugat guna menggugat aksi plagiat kepada plagiator yang sekaligus dosen UI. Disinilah titik runyam jagat kepengarangan kita diuji. Mirisnya, di Indonesia belum ada sebentuk lembaga peradilan yang menangani khusus kasus plagiat. Padahal di Barat tindak plagiarisme disikapi secara serius.

Dalam helat panggung tulis-menulis, si empu (penulis) dituntut memiliki jiwa integrasi. Tulisan oplosan dari orang lain sama sekali tak diperkenankan dipublikasi dengan memakai nama plagiat, tidak menerakan penulis asli sang pembikin naskah. Problemnya saat ini, masyarakat kini kian tapaki kecanggihan teknologi di mana informasi gampang dan cepat diraih hanya berbekal kepiawaian menguasai dunia maya lewat fasilitas internet. Sehingga, aksi jiplak dan plagiat berpotensi dilakukan oleh siapa pun. Tak diharap pun, wacana dosa pada masyarakat literer menarik didiskusikan.

Di lingkungan saya sendiri, laku epigon ditingkat penulisan makalah kuliah marak dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa dengan mudahnya comot sana-sini dari tulisan yang dirujukan tanpa menuliskan referensi/sumbernya dari mana. Dan dosen pun tak memiliki kemampuan atau ilmu memonitoring kebiasaan mahasiswa plagiat dalam penulisan makalah. Nah, di sinilah kata salah satu penulis di rubrik Bentara Kompas dengan menyebutnya, “Aksi Pembajak yang Bertoga.”

Kalau dilacak bermulanya aksi mulus plagiat, hemat saya, berawal kebiasaaan mahasiswa di kampus saat kuliah yang menulis makalah dengan plagiat, namun dosen/pengajar membiarkan dan tak adanya kepakeman aturan dari kampus yang menindak serius aksi mahasiswa tersebut. Tak ayal, tradisi busuk itu pun terus dilanjutkan mahasiswa tak hanya saat kuliah, ironis, ia pun mewarisinya hingga akhir hayatnya.

Kawan saya menjabarkan ihwal dosa literer ini yang tak memiliki sedikit pun ruang ampun. Dosa literer dapat terhapus bila plagiator mengemis ma’af dan berjanji tak akan mengulangi kembali tindak kejinya itu kepada masyarakat literer, dan lebih khusus pada pemilik tulisan yang dioplosnya.

Karya tulis merupakan karya agung yang jauh dari manipulatif. Karya tulis bersemangatkan demi tumbuh-kembangnya pengetahuan lewat asahan ide, riset mutakhir, dan eksperimen. Dengan begitu keotentikan karya dan temuan menjadi penting sebagai wujud tanggung jawab uji pengetahuan. Masyarakat literer Indonesia, saya pikir, patut mengutuk riset palsu Djoko Suprapto yang merekayasa blue energy di UMY (Universitas Muhammadiya Yogyakarta) demi sebuah kucuran dana besar, namun usahanya terprediksi gagal. Disinilah pentingnya integrasi moral dan tanggung jawab bagi periset dan penulis (sastrawan, penyair, prosaik, dll). Semoga bermanfaat bagi diriku.