Sabtu, Agustus 29, 2009

Kemerdekaan dan Ramadhan


Oleh A Qorib Hidayatullah

Dua tema di atas tidak melulu menjadi tema wacana menara gading (absurd). Kemerdekaan dan ramadhan bebas dicicipi hingga masyarakat pereferal (pinggiran). Semarak perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus pada hari-hari sebelumnya tampak gempita dengan riuh semangat segar masyarakat pedesaan. Panjat pinang, tarik tambang, hingga lomba makan krupuk menjadi soliditas keakraban antar masyarakat.

Dus, menarik dilirik kedekatan waktu acara kemerdekaan (Dirgahayu Republik Indonesia) dengan bulan suci ramadhan. Sekilas ditelisik dari luar dua momen tersebut mengusung elan vital yang sama yaitu semangat mengenang dan kebaruan serta pengabdian (ibadah).

Di arus pewacanaan media, kemerdekaan dan ramadhan menjadi ulasan segar dan menarik. Pengamat dan analis berkompetensi serempak ramai mengulas dua tema tersebut. Di koran misalnya, menyediakan rubrik/edisi khusus tentang kemerdekaan dan ramadhan. Beragam tilikan yang sengaja dibidikkan terhadap dua momen agung itu. Ada yang menelisik berdasar semangat historisitas hingga kontekstualitas (meminjam istilah almarhum WS Rendra disebut manjing kahanan).

Kemerdekaan adalah memoria slip yang harus dihadirkan “master”nya di zaman/era kekinian. Perjuangan sukses para pahlawan menendang lemah dan mengusir kependudukan Belanda dan Jepang saat itu tidak hampa semangat. Sehingga, penghadiran semangat yang sama itu –di era reformasi— ini sangatlah niscaya. Jika semangat pejuang lampau melawan penjajah sonder pamrih maka sekarang terbalik. Pejuang dan pahlawan berlomba merangkak merebut elitisme yang gemar pamrih. Jika zaman dahulu pejuang gugur jasadnya disemanyamkan di makam pahlawan, beda dengan sekarang, penghargaan pada “pahlawan” abad 21 lebih meriah dan bertumpuk tanda jasanya.

Tak ayal, prakarsa mengenang kekentalan semangat pahlawan di zaman penjajahan perlu ditampilkan. Hal ini, mengundang kepedulian pakar filmis Hollywood, Rob Allyn (produser film), seorang specialist effect di bidang film perang dan dibantu anaknya, Connor Allyn, membesut film Merah Putih. Film Merah Putih disutradarai Yadi Sugandi dan diarsiteki oleh kru orang Indonesia sendiri dan asing. Pembikinan film yang berlatar tahun 1946-1947 itu memagut biaya yang tergolong besar, 60 miliar.

Lewat film Merah Putih itu kesadaran kita dihentak, betapa mahalnya harga mengenang masa silam. Kendati kenangan tak melulu manis, pun pula ada kenangan pahit (kelam), namanya sejarah kudu diapresiasi secara apa adanya. Sejarah yang tak dibungkam dan tidak ditunggangi kepentingan apapun, demikian harapan dari film Merah Putih tersebut.

Itulah iktikad mengenang sejarah masa silam lewat film. Berbeda dengan problematika kemerdekaan era kini. Jamak diketahui, meski kita de jure merdeka tapi secara de facto belum tentu. Misalnya, kita ditengarai telah dijajah secara soft (halus) dengan baju (kemasan) imperialisme budaya. Kita sejatinya tidak merdeka di aras budaya. Budaya yang kita lakoni saat ini adalah budaya yang mengabdi pada pihak luar (asing), tak ada independensi. Baik di sisi teknologi hingga perkara mengenakan busana (pakaian). Sehingga, permasalahan imperialisme budaya kita sejatinya dituntut kuat berada pada awareness ke-Indonesiaan.

Lain lagi dengan masalah kelonggaran kedaulatan teritorial Indonesia. Indonesia acap ditertawakan negara tetangga ihwal kelemahan kuasa teritorial yang sering kebobolan. Indonesia yang memiliki luas yang lebih di bidang teritorial (kelautan) dibanding daratan menjadi ancaman serius di bidang sekuritas kemaritiman. Al-hasil Harian Umum Kompas menurunkan laporan jurnalistik bernas terkait Nasionalisme di Tapal Batas. Wartawan investigatif Kompas menelusuri kawasan-kawasan teritorial yang kerap menyulut sengketa dengan negara tetangga. Laporan koran Kompas itu mengabarkan ontologi nasionalisme kemerdekaan adalah penghayatan penuh orang-orang (warga Indonesia) yang berada di perbatasan. Di mana nasib dan kesejahteraannya kerapkali terancam bahkan tergadaikan (yaitu memihak pada negara tetangga/asing). Benar-benar masygul nasib warga perbatasan.

Merdeka! Let’s Come Ramadhan
Pasca kemerdekan RI usai diperingati, kita umat muslim diperhadapkan pada momen suci-transenden cegah dahar klawan guling (bulan ramadhan). Umat muslim dalam bulan ramadhan (puasa) diseru wajib menanggalkan kebutuhan manusiawi di saat siang hari selama sebulan penuh. Dan umat muslim pun dituntut menjauhi dan tak menuruti nafsu “daging”.

Kemerdekaan dan ramadhan berkait-kelindan. Dilirik perspektif teologis kedua momen itu sama-sama menyeru pesan hidup mulia (asketis) atau mati syahid, menghantarkan pada kesyuhadaan. Ditarik pada relasi ibadahnya, keduanya sama-sama menyiratkan pola hubungan ibadah vertikal dan horisontal dan berdaya nyala transendensi.

Titik perjumpaan yang sama yaitu narasi perjuangan berlarat menahan diri dalam kemerdekaan dan ramadhanisasi adalah wahana karantina tubuh-jiwa. Ramadhan bisa dibilang “pemerdekaan” manusia lepas diperbudak nafsu “daging” di antara dua kaki. Sedangkan kemerdekaan ialah upaya pelepasan secara fisik maupun jiwa dari intervensi jajahan kolonial. Kemerdekaan dan ramadhan pula sama-sama memendarkan penderitaan. Penderitaan yang menggiring pada sakralitas tubuh dan jiwa. Alegori bijak dari Dono Baswardono patut ditampilkan, Kesedihan lebih baik ketimbang tertawa. Kesedihan memurnikan kita. Hadapi kesedihan dengan air mata, waktu, kejujuran, dan pengharapan.

Berdalih memerdekaan diri, manusia mampu secara lambat-laun meraih derajat jati dirinya, baik jati kebangsaan maupun jati diri hakiki, yaitu sebagai insan pengabdi kepada Allah SWT. Dan, diri yang sejati hanya bersemayam di lubuk hati tepian ilmu. Merdeka! Marhaban Ya Ramadhan…