tag:blogger.com,1999:blog-10092945335823447332024-02-19T09:14:50.932+07:00Je pense donc je suisKEBENARAN ADALAH APA YANG HARUS DI TERTAWAKAN (JEAN BAUDRILLARD)[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.comBlogger73125tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-1241607300319433122010-05-01T23:06:00.003+07:002010-05-01T23:10:17.004+07:00Soe Hok-gie, Inspirator Kaum Muda<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJJ1dB0WYrT1KZdlw8wRQ1gcMX_-v6XxCj2z_4YlfyINhjTLAuaE7-HNoZIFSvi8YSHdHdPYCqCELC2La8Qf-_X5q2xBNgasiz2HvSAd6rvG1JsEHSfbTS9h_N6UgLr2KRarqh3UzNWSQ/s1600/Soe+Hok.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 158px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJJ1dB0WYrT1KZdlw8wRQ1gcMX_-v6XxCj2z_4YlfyINhjTLAuaE7-HNoZIFSvi8YSHdHdPYCqCELC2La8Qf-_X5q2xBNgasiz2HvSAd6rvG1JsEHSfbTS9h_N6UgLr2KRarqh3UzNWSQ/s200/Soe+Hok.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5466334273696162306" /></a><br />DATA BUKU:<br />Judul Buku : SOE HOK-GIE…Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya<br />Penulis : Rudy Badil, dkk<br />Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)<br />Cetakan : Pertama, Desember 2009<br />Tebal : xl + 512 Halaman<br />Harga : Rp. 50.000<br />Peresensi : A Qorib Hidayatullah<br /><br />Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama. <br /><br />Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.<br /><br />Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, “Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.”<br /><br />Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.<br /><br />Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama. <br /><br />Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).<br /><br />Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka. <br /><br />Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan. <br /><br />Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-21724948331519435442010-05-01T23:02:00.002+07:002010-05-01T23:06:03.969+07:00Meremajakan Komunitas Kebudayaan di Malang<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtTjGzWpwIce9kILm7m6k6-Fxa49EQcu4_hbuwTfq5jlmm8OV-XmOr4W651ymSkYY9BAvPqe4MAhj67OT5IpKuQrIz-X-NN7Ags-LKHRjGbp2BNAOJKPr4VXm3o5zpTYzSrOt4Lr_4vX8/s1600/Komunitas.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 196px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtTjGzWpwIce9kILm7m6k6-Fxa49EQcu4_hbuwTfq5jlmm8OV-XmOr4W651ymSkYY9BAvPqe4MAhj67OT5IpKuQrIz-X-NN7Ags-LKHRjGbp2BNAOJKPr4VXm3o5zpTYzSrOt4Lr_4vX8/s200/Komunitas.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5466333525169475698" /></a><br />Oleh: A Qorib Hidayatullah<br /><br />Di tengah geliat proyek pembangunan di Malang yang tampak menggila, masyarakat (juga termasuk mahasiswa) digiring akrab dengan mal, dan ritel modern lainnya. Masygul, sejalan dengan itu, komunitas kebudayaan di Malang perlahan-lahan ditinggalkan masyarakat dan absen pengunjung. <br /><br />Sejatinya, komunitas kebudayaan menjadi pilar saling tukar pikiran dan ajang tegur sapa antar masyarakat di Malang. Namun, tampak tragis, di awal tahun 2009 komunitas Poestaka Rakjat yang bertempat di jalan MT. Haryono sudah gulung tikar. Poestaka Rakjat populer dengan komunitas 28-an (baca: komunitas wolu likuran) yang menjembatani masyarakat konsisten merawat tradisi-tradisi lokal Malang lewat diskusi-diskusi tentang kebudayaan. Seingat penulis, Poestaka Rakjat di pengujung 2007 sempat bekerjasama dengan DKM (Dewan Kesenian Malang) menggelar pentas amal untuk mbah Gimun (tokoh Topeng Malangan) saat sakit.<br /><br />Di samping mengecer diskusi kebudayaan, Poestaka Rakjat juga membuka transaksi jual beli buku-buku klasik. Sehingga, gerai yang ditempati Poestaka Rakjat dibilangan MT. Haryono terdiri dari dua lantai. Lantai satu tempat menjajakan dan menjual buku-buku klasik, di lantai dua disulap menjadi ruang diskusi yang sangat asyik-masyuk.<br />Selain Poestaka Rakjat, di jalan Bogor ada komunitas Kedai Sinau. Kedai Sinau merupakan tempat diskusi-diskusi kritis renyah mengalir yang dihadiri para aktivis-aktivis gerakan mahasiswa dan masyarakat. Di Kedai Sinau juga menjajakan buku-buku dengan beragam tema. <br /><br />Di Perpustakaan Kota Malang, ada Forum Penulis Kota Malang (FPKM) yang lazim menggelar diskusi tiap Minggu siang di areal lantai satu. Forum ini lebih mengarah pada kajian-kajian penulisan kreatif, fiksi maupun non fiksi. Fokus pada tulisan-tulisan fiksi, di jalan Diponegoro ada Forum Pelangi ampuan mbak Ratna Indraswari Ibrahim membidani bagi siapa pun yang cinta akan sastra, karangan prosa (novel, cerpen, cerbung, novellet, dll) serta puisi. <br /><br />Dalam rangka menyemarakkan tradisi literasi (budaya baca-tulis), aktivis MCW (Malang Corruption Watch) menyediakan tempat bagi penulis-penulis muda Malang di jalan Kali Metro. Sehingga, pertengahan 2009, lahirlah komunitas Lembah Ibarat yang sekaligus ditandai dengan launching antologi puisi Doa Akasyah. <br /><br />Dari sekian komunitas kebudayaan di Malang, yang masih aktif beroperasi hanya beberapa gelintir saja. Misalnya, Rumah Baca Cerdas (RBC) di areal Perumahan Permata Jingga yang hendak meluncurkan buku rampai, tulisan-tulisan hasil dari diskusi saban hari Jumat. RBC didirikan oleh mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) era Megawati Soekarnoputri, Bapak Malik Fadjar. Selain menjadi wahana diskusi, RBC juga perpustakaan buku yang bisa diakses oleh masyarakat umum. <br /><br />Di wilayah Tumpang, Kabupaten Malang, ada pula Perpustakaan Anak Bangsa ampuan Eko Cahyono. Perpustakaan Anak Bangsa berada di wilayah pedesaan. Perpustakaan yang berdiri telah lama itu, saat ini memiliki puluhan ribu koleksi buku dengan anggota lebih dari dua ribu orang. Namun, nasib miris melanda eksistensi perpustakaan yang dikelola Eko Cahyono tersebut. Pasalnya, Perpustakaan Anak Bangsa terancam ditutup, tak lagi melayani masyarakat ihwal membaca disebabkan pengelola tak kuat lagi membayar uang sewa bangunan. <br /><br />Dari kejadian yang menimpa Perpustakaan Anak Bangsa tersebut, diharap bagi pihak pemerintah Kabupaten Malang dan pihak siapa pun yang ikhlas menyalakan filantropinya membantu perpustakaan pelosok itu agar urung ditutup. <br /><br />Keberadaan beragam komunitas kebudayaan merupakan aset berharga bagi masyarakat Malang. Dengan begitu, pasang surutnya komunitas kebudayaan di Malang adalah tanggungjawab kita semua, terlebih bagi generasi muda seperti mahasiswa. Membangkitkan mesin komunitas kebudayaan memerlukan kesadaran lebih dan mendalam serta aksi yang konkret dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. <br /><br />Mengaktifkan komunitas kebudayaan memang tak mudah. Dalam gerakan kebudayaan yang diimplementasikan pada komunitas-komunitas, pun juga membutuhkan mufakat kebudayaan. Budayawan Radhar Panca Dahana menjadikan mufakat kebudayaan sebagai medium tempat seniman, cendekiawan, budayawan, dan masyarakat berkumpul, mencoba menjalankan fungsi dan peran strategis serta historisnya dalam menemukan beberapa kesimpulan yang penuh visi terhadap berbagai persoalan kebudayaan (Kompas, 26/12/2009).<br /><br />Medio tahun 1973, profesor Koentjaraningrat yang pakar bidang kebudayaan dihubungi wartawan Kompas untuk menulis masalah mentalitas dan pembangunan (Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cet ke 19, Tahun 2000). Pembangunan juga menyumbang problem bagi kebudayaan. Koentjaraningrat berbicara mengenai kesiapan mentalitas kita menghadapi pembangunan. Misalnya, kematangan konsepsi (pandangan), dan sikap mental terhadap lingkungan di tengah semaraknya proyek pembangunan. <br /><br />Merujuk profesor Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai hasil kreasi/cipta, rasa dan karsa. Komunitas kebudayaan bukanlah semata tempat berekspresi yang hampa. Dari komunitas kebudayaan, masyarakat Malang bisa memelihara tradisi kuna dan mampu mencipta kebudayaan masa depan yang bergelimang nilai dan makna. <br /><br />Ekspektasi paling besar akan eksistensi komunitas kebudayaan di Malang ialah lahirnya seniman, budayawan, dan cendekiawan baru seperti Agus Sunyoto dan Ratna Indraswari Ibrahim, dll. Lewat komunitas kebudayaan semangat mereka bisa kita warisi. <br /><br />Cinta pada komunitas kebudayaan itu niscaya. Sehingga, Goethe menulis simponi kelima Beethoven, “Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, maka planet bumi ini akan lepas dari porosnya.” Di tahun yang baru ini, 2010, mari berjemaah meremajakan komunitas kebudayaan di Malang.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-43250720856525149662010-05-01T23:00:00.001+07:002010-05-01T23:01:54.324+07:00Kecerdasan Yahudi yang Menginspirasi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5uxyGQonSuIpjDrROcFzhunGv5ZNUW7mGTqwe_X609GaQubcCQWhl9jeLVbonAgQRhOhRcjtw8S1hHrbCs7Y7G0iX6XqoiPbPNhOn4yZWimtBMvdllX7w_4RSBtaPYxbkk-549Ts8_OU/s1600/Cover+Buku.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 130px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5uxyGQonSuIpjDrROcFzhunGv5ZNUW7mGTqwe_X609GaQubcCQWhl9jeLVbonAgQRhOhRcjtw8S1hHrbCs7Y7G0iX6XqoiPbPNhOn4yZWimtBMvdllX7w_4RSBtaPYxbkk-549Ts8_OU/s200/Cover+Buku.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5466332385516878018" /></a><br />DATA BUKU:<br />Judul Buku : Jerome Becomes A Genius (Mengungkap Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi)<br />Penulis : Eran Katz <br />Penerbit : Ufuk Press, Jakarta<br />Cetakan : Pertama, Oktober 2009<br />Tebal : 442 Halaman<br />Peresensi : A Qorib Hidayatullah<br /><br />Di tengah semarak perbukuan, tema-tema buku “Melejitkan Kemampuan Otak”, acap dilirik khalayak pembaca. Harapannya, masyarakat pembaca dapat berlomba dan berikhtiar gigih mengasah kecerdasan otak masing-masing. <br /><br />Hernowo, CEO Mizan Learning Center, membesut serial Quatum Reading dan Quantum Writing. Memasuki gerbang quantum Hernowo, pembaca dibimbing mampu mengubah potensi diri menjadi cahaya dengan merawat emosi positif. Emosi positif berkelindan dengan semangat, gairah, dan ketakjuban. Sedangkan quantum adalah interaksi yang mengubah potensi menjadi radiasi dengan ledakan-ledakan gairah yang menyala-nyala.<br /><br />Kecerdasan tak datang tiba-tiba. Otak niscaya berkembang apabila kita hidup dalam lingkungan yang penuh tantangan. Mempelajari hal-hal baru, memecahkan masalah-masalah baru, hidup dalam lingkungan baru, hingga cerdas dalam pengayaan. <br /><br />Seperti Eran Katz tulis dalam buku ini, kecerdasan bangsa Yahudi memiliki kekhasan tertentu. Buku Jerome Becomes A Genius ini memperlihatkan orang-orang Yahudi tekun mengamalkan prinsip-prinsip kecerdasan yang mereka yakini. Sejatinya, “Mereka tidak lebih cerdas, namun yang pasti mereka berhasil menggunakan kecerdasan mereka dengan sebuah cara yang berbeda.” (hlm. 45) <br /><br />Beragam prinsip yang dipegang orang Yahudi. Salah satunya, mereka memanjakan imajinasi ramalan, dengan mewujudkan yang tidak mungkin dengan cara-cara yang mungkin. Sehingga dalam kehidupan yang sangat menyehari, mereka gemar dalam penyelidikan, argumentasi, serta penelitian yang luas dan mendalam mengenai berbagai hal. <br /><br />Testimoni kecerdasan bangsa Yahudi telah jamak diketahui publik dunia. Albert Einstein, Alan Greenspan, Rupert Murdoch, hingga George Soros adalah orang-orang Yahudi yang hebat dan berintelektualisme tinggi. Bahkan, Charlie Chaplin di film The Great Dictator menukil, “Orang Yahudi adalah manusia luar biasa cerdas, sukses, indah, kuat, dan sangat maju.” <br /><br />Kemajuan orang Yahudi juga dibuktikan dalam merajai media. Ada tiga jaringan televisi besar, ABC, NBC, dan CBS, yang dikelola orang Yahudi. Di media cetak, bangsa Yahudi menguasai Time, The Washington Post, The New York Time, dan The Wall Street Journal. <br /><br />Ketertarikan Eran Katz menulis buku ini berdasar pada hasil obrolan di kafe Ladino. Eran ditemani profesor cerdas Itamar Forman dan Jerome Zomer, mahasiswa Seni dan Sains Universitas Hebrew yang bertalenta tinggi di bisnis pakaian, serta pemilik kafe Ladino, Fabio. Mereka melacak kecerdasan-kecerdasan khas para rabi (tokoh-tokoh Yahudi).<br /><br />Diskusi di kafe Ladino semakin mendalam tatkala dihadiri rabi Dahari, seorang rabi pakar bahasa Ibrani, dan Joseph Hayim Schneiderman, seorang Yahudi saleh bermukim di Yeshiva. Yeshiva adalah lembaga pendidikan Yahudi. Di tempat ini mengamalkan konsep belajar dengan hevrutah (mitra belajar), belajar dengan membaca bersuara lantang sembari bergerak riang. <br /><br />Prinsip keagungan bagi pelajar Yahudi diwajibkan untuk senantiasa bahagia. Mereka dianjurkan memagari kebijaksanaan dengan keheningan. Sehingga, suasana-suasana belajar didekat sebuah sungai akan memberikan ketentraman tertentu dan membuat daya ingat pelajar Yahudi menguat. <br /><br />Misalnya, Solomon Shershevsky. Ia orang Yahudi berkebangsaan Rusia yang mampu mengingat segala hal dengan menggunakan teknik asosiatif berdasarkan imajinasinya yang gila. Shershevsky dapat mengingat daftar kata-kata tak bermakna yang pernah ia dengar hanya dalam sekali baca dan mengulangi keseluruhan daftar dari awal hingga akhir. Delapan tahun kemudian, saat ditanya psikolog A. L. Luria, apakah dia masih ingat pada daftar itu, Shershevsky mampu menyebut kembali seluruhnya dengan sempurna. <br /><br />Kehebatan Shershevsky, pada tahun 1920, membuat para psikolog Soviet mulai mempelajari ingatannya yang luar biasa itu. Al-hasil, mereka mampu memecahkan rahasianya atas dasar olah teknik yang sama sesuai anjuran Joseph Jangkung, yaitu mengintensifkan aplikasi dari semua pancaindra. Shershevsky melihat ada warna-warna saat dia mendengar musik. Ia dapat mencium suara-suara, dan hal-hal yang cukup aneh lainnya. Misalnya, ketika berbicara dengan Vigotsky, psikolog yang pernah dikenalnya, Shershevsky menyela, “Betapa renyahnya warna kuning suara Anda!.” (hlm. 61) <br /><br />Eran Katz di buku setebal 442 halaman ini memberikan dua bab khusus (bab 11 dan bab 12) menceritakan seminar daya ingat Jerome Zomer. Jerome pembelajar energik bermental bisnis, dan juga seorang Yahudi sekuler yang disebut-sebut Eran sebagai master pikiran-raksasa Yahudi. <br /><br />Antusiasme konkret Jerome di bidang penguatan daya ingat menuntutnya memiliki hevrutah khusus, Itzik Ben-David. Kendati Jerome menahbis dirinya sebagai pembelajar dengan perjuangan tak mengenal kata akhir, ia juga diselimuti renik-renik romantisme. Dipengujung kehebatan dirinya, ia menyunting Lisa Goldman, seorang Yahudi religius, mahasiswi jurusan Pendidikan Yahudi Universitas Hebrew. Dan akhirnya, B’ezrat Hashem (dengan pertolongan Tuhan) pesta pernikahan mereka digelar di kafe Ladino yang khas. <br /><br />Kecerdasan bangsa Yahudi sungguh menginspirasi. Prinsip inspirasi bangsa Yahudi, “Temukanlah seorang teladan untuk kau tiru, berjalanlah tepat dalam langkah-langkahnya, dan tambahkan inovasi kreatifmu sepanjang jalan itu.” (hlm. 434)<br /><br />Menguak rahasia berabad-abad bagaimana tokoh bangsa Yahudi memaksimalkan fungsi otak mereka bukanlah ikhtiar yang ringan. Di buku ini, Eran Katz cukup detil menulis kecerdasan Yahudi. Hal ini tentu tak lepas dari kompetensi Eran sebagai orang yang mampu mengingat banyak hal dengan kecepatan super tinggi, hingga ia diganjar Guinness Book of World Record. <br /><br />Membaca buku ini diharap mampu mengilhami kita mencicil mengamalkan teknik-teknik kecerdasan bangsa Yahudi yang inspiratif.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-27992414623595396542010-05-01T22:52:00.002+07:002010-05-01T22:59:13.480+07:00Buku Di Balik Penjara<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiwbQxA_tcxnPNx_AFarEz3hYzDJijl96pRZiJFgLs2M1xe_Us7PCBhTohVblHBYqbFlTVHsHNu2hLaQotDcEv7zQMAbyA5AmA5AcIY9fq-P1o7DOSam3pMx3Md6FT-As374ZzWE0fyIQ/s1600/dari+penjara+ke+penjara2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 194px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiwbQxA_tcxnPNx_AFarEz3hYzDJijl96pRZiJFgLs2M1xe_Us7PCBhTohVblHBYqbFlTVHsHNu2hLaQotDcEv7zQMAbyA5AmA5AcIY9fq-P1o7DOSam3pMx3Md6FT-As374ZzWE0fyIQ/s200/dari+penjara+ke+penjara2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5466331581858502802" /></a><br />Oleh: A Qorib Hidayatullah<br /><br />Rupa-rupanya, penjara tak melulu sebagai tempat para pesakitan yang terpatologi secara sosial hingga akhirnya mereka tak produktif.<br /><br />Banyak karya literasi bertengger dahsyat di balik terali penjara. Pada masa kolonial, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain-lain membesut pemikiran-pemikirannya di ruang tahanan. Bung Hatta menulis, “Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!.” <br /><br />Berbeda dengan temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum saat sidak (inspeksi mendadak) ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Satgas mendapati ruang Lembaga Pemasyarakatan yang dihuni Artalyta Suryani (Ayin) dan Limarita (Aling) sangatlah megah. Kehidupan penjara yang ditempati mereka alegori hotel prodeo bintang lima. <br /><br />Dengan ungkapannya di atas, Bung Hatta memiliki tafsir kenyamanan sendiri untuk mengusir kesumpekan dan kekejian penjara. Tentu, berbeda dengan Ayin dan Aling. Bung Hatta menjadikan buku sebagai alat kemerdekaan kreatifitas dan kronik berkarya untuk publik kendati di penjara. Bukan malah memperkaya fasilitas ruang tahanan dengan penyejuk ruangan, kulkas, TV layar datar, hingga ruang khusus karaoke seperti yang dilakoni Ayin dan Aling. <br /><br />Prinsip tersebut Hatta buktikan secara konkret. Saat pengasingan dirinya oleh pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua Selatan, Bung Hatta ditemani buku sebanyak 16 peti. Di tempat pembuangan itulah Bung Hatta membesut Alam Pikiran Yunani yang pada akhirnya buku itu dijadikan mahar (mas kawin) saat menikahi Rahmi Hatta. Dan di Digul pulalah Hatta tekun menurunkan tulisan-tulisannya di surat kabar Adil, Pandji Islam, dan Pedoman Masjarakat. <br /><br />Di Boven Digul yang masygul, Hatta tak sendirian. Ia ditemani pemikir kritis Sutan Sjahrir. Mereka berdua dikirim ke pembuangan di Digul pada Februari 1934. Di tengah keganasan Digul, Sjahrir juga tekun mengarsiteki tulisan-tulisannya. Tulisan terpenting Sjahrir saat di pengasingan adalah Perjuangan Kita. Tulisan ini yang dikirim langsung oleh Sjahrir dari Digul ke surat kabar Daulat Rakjat. <br /><br />Sebelum di Digul, Hatta pada 23 September 1927 juga pernah mencicipi penjara di Belanda sebab aktivitas politik di PI (Perhimpunan Indonesia). Selama di ruang tahanan, Hatta merancang pledoi (pidato pembelaan) yang siap disampaikan saat persidangan. Hatta memberi judul pledoinya dengan Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). <br /><br />Tak melulu Bung Hatta yang menggubah pledoi. Bung Karno saat di penjara pun juga merancang pledoi yang ampuh dengan judul Indonesia Menggugat. Pledoi itu Bung Karno sampaikan di gedung landraad (pengadilan rendah) pemerintah kolonial Hindia Belanda di Bandung. Sebab pledoi itulah, di hari kemudian gedung pengadilan tersebut diberi nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM). <br /><br />Saat Soekarno menjadi presiden dan kekuasaannya menguat, ada anak negeri ini menjadi pelahap buku yang gila dan kemudian dipenjarakan. Ia adalah Sutan Ibrahim atau lazim disebut Tan Malaka. Tan Malaka dipenjarakan karena kekukuhan mengritik kekuasan Soekarno. Dari balik pengurungan dirinya di penjara, Tan Malaka membuat buku Dari Penjara ke Penjara. Buku itu terdiri dari tiga jilid yang menjadi buku penting menjelaskan kehidupan Tan Malaka. Buku autobiografinya itu merupakan buku terakhir yang ditulis Tan Malaka sebelum ditembak oleh tentara pada 21 Februari 1949. Kendati demikian, banyak orang menjuluki Tan Malaka sebagai Bapak Republik yang terlupakan. <br /><br />Di tengah asumsi masyarakat jamak, penjara sebagai tempat sangat keji, hina, dan kejam. Namun, dalam potret kelam penjara itu banyak tokoh-tokoh bangsa ini menurunkan karya-karya hebatnya di penjara. Penjara lambat laun oleh para pesakitan yang kreatif dimaknai sebagai jalan sunyi seorang penulis. <br /><br />Pramoedya Ananta Toer misalnya. Pram mengamalkan perilaku prolifik saat dirinya menghabiskan separuh hidupnya di penjara. Ia kerapkali keluar-masuk penjara. Bahkan Pram sendiri pernah mengaku bahwa sejarah hidupnya adalah sejarah perampasan. Tak sedikit dari karya literer Pram dirampas sipir bahkan tentara. <br /><br />Meski kebebasan dan kreatifitas Pram terenggut, ia pun telaten menyampaikan cerita-cerita kepada sesama tahanan. Pram sering bercerita saat sore hari setelah letih bekerja seharian di ladang sekitar penjara. Cerita-cerita Pram sangat inspiratif dan mampu menyalakan semangat hidup kawan-kawan sebarak. <br /><br />Wilson Nadaek pernah bertutur, “Ketika seseorang telah beradaptasi dengan kondisi penjara, ia akan terbiasa hidup dalam keadaan yang tak menyenangkan. Perlahan ia mulai mengerti cara membunuh sepi dan penatnya ruang penjara, baik dengan main kartu, berbincang-bincang sesama tahanan, atau menulis.”<br /><br />Alhasil, sejak di penjara di Pulau Buru, Maluku, Pram mengembrio karya agungnya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel sang maestro Pram itu acap disebut tetralogi Buru. Kesunyian penjara mampu membuat Pram meledakkan kreatifitas yang mencengangkan. <br /><br />Tak salah bila Michel Foucault di bagian akhir buku Discipline and Punish mengurai genealogi penjara. Foucault berfatwa, “Dengan memasukkan narapidana ke dalam mekanismenya, penjara melatih kembali narapidana, membuatnya patuh, dan menjadikan mereka individu yang berguna.” <br /><br />Di tengah cengkraman rezim pembredelan buku kembali mengemuka, selayaknya penulis-penulis kritis mencicipi kesunyian penjara sebelum bukunya dilarang dan dipenjarakan.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-24000794635433181942010-05-01T22:45:00.003+07:002010-05-01T22:51:58.810+07:00Diskusi RBC untuk Indonesia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijtxg-bPOg2539ZNu3sOKvflPECEIj3Gfpandfq0N8ut5JG9679a8fPECQrk-eHoy2O_r0uXCZ9MNJnG3hc4QXRuKjpL6v64Axw04lqjnlemVV0GBqPe1ll8s2cmFZ4h8Fh-sYEw_OgFo/s1600/Menanam+Benih+Indonesia+Jernih.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 128px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijtxg-bPOg2539ZNu3sOKvflPECEIj3Gfpandfq0N8ut5JG9679a8fPECQrk-eHoy2O_r0uXCZ9MNJnG3hc4QXRuKjpL6v64Axw04lqjnlemVV0GBqPe1ll8s2cmFZ4h8Fh-sYEw_OgFo/s200/Menanam+Benih+Indonesia+Jernih.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5466329820683523826" /></a><br /><br />DATA BUKU<br />Judul Buku : Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih<br />Penulis : Nazaruddin Malik, dkk.<br />Penerbit : UMM Press<br />Cetakan : Pertama, Desember 2009<br />Tebal : xii + 131 Halaman<br />Peresensi : A Qorib Hidayatullah<br /><br />Buku ini diikhtiarkan sebagai kado buat Bapak Malik Fadjar di usia 70 tahun. Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) era Megawati Soekarnoputri itu adalah penggagas dan pendiri Forum Rumah Baca Cerdas yang lazim disebut RBC, bertempat di areal Perumahan Permata Jingga. RBC merupakan tempat diskusi dan perpustakaan yang bebas diakses masyarakat luas.<br /><br />Sebagai tempat diskusi para pakar dan aktivis, RBC lambat laun mampu membikin notulenisasi dari hasil diskusi tahun 2009 yang acap digelar saban hari Rabu dan Jumat. Tujuan dari pembukuan hasil diskusi ini ialah merawat budaya literasi dan menggawangi pilar intelektualisme. <br /><br />Di Malang tak jauh beda dengan tradisi intelektualisme di Yogyakarta. Daya intelektualisme di kota Malang kini ditengarai menggeliat gesit. Banyak komunitas seperti RBC bertebaran di mana-mana. Alangkah baik bila komunitas yang serupa dengan RBC juga turut tertular semangat membukukan hasil-hasil diskusinya. <br /><br />Buku Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih memuat tumpukan tulisan beragam tema aktual sepanjang tahun 2009. Tema kebangsaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan menghiasi sekujur tubuh buku rampai ini. Tentu, tema-tema yang tampak general tersebut dikemas oleh para penulis relevan dengan fenomena-fenomena keseharian publik saat itu. Dan, para kontributor tulisan yang menulis untuk buku ini berdasar disiplin ilmu masing-masing. <br /><br />Misalnya, Nazaruddin Malik yang berlatar belakang bidang ekonomi menulis Menelusuri Jalan Terjal Ekonomi dan Pendidikan dalam Kesungguhan Cita Bangsa (hlm. 77). Nazaruddin yang tiap harinya bergelut dalam pengkajian ekonomi menyoal masalah pelik Indonesia tentang kemiskinan dan pendidikan. <br /><br />Jika problem pendidikan dibiarkan carut marut, tentu akan mendongkrak angka pengangguran masyarakat (kemiskinan). Beda lagi masalah pendidikan yang kini sengaja didesain komodifikasi, di mana pendidikan menjadi obyek transaksi. Mengenai hal ini, Pradana Boy ZTF, intelektual muda Muhammadiyah mengarsiteki tulisan Mencemaskan Industrialisasi Pendidikan (hlm. 103). <br />Pradana Boy ZTF menyoroti persoalan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan yang tampak mengindustrialisasi. Pendidikan saat ini menjelma barang mahal yang sulit dijangkau dan dibeli masyarakat. Sehingga, sekadar mencicipi pendidikan wajib sembilan tahun, masyarakat harus membayar ongkos yang mahal. <br /><br />Persoalan seputar ekonomi dan pendidikan di Indonesia membutuhkan pemerintah yang mampu memantulkan aspirasi rakyat di tiap-tiap kebijakannya. Tatkala masyarakat di dua bidang ini —pendidikan dan ekonomi—tampak sengsara bagaimana dengan bidang-bidang yang lain. Alih-alih menyangsikan nasib kemakmuran rakyat, Luthfi J. Kurniawan menulis Benarkah Indonesia Negara Kesejahteraan? (hlm. 41 ). <br /><br />Sebagai aktivis di Yayasan Malang Corruption Watch (MCW), Luthfi J. Kurniawan lihai membeberkan data ihwal pelayanan publik yang tak optimal. Sejatinya, lembaga-lembaga pelayanan publik mampu mengimplentasikan negara kesejahteraan. Sehingga, di negara ini dituntut adanya reformasi pelayanan publik untuk mengubah pandangan dan mental aparat birokrasi yang masih melihat pelayanan publik sebagai “pekerjaan yang dilayani” bukan “pekerjaan untuk melayani.” (hlm. 47). <br /><br />Dengan kata lain, aparat birokrasi di negeri ini gemar dimanja, bukan malah memanjakan rakyatnya. Saat hanya menjadi kandidat —pilbub, pilwali, pilgub, maupun pilpres—mereka senantiasa mengumbar janji pada rakyat. Tak kalah hebatnya, wujud bahwa birokrat suka dimanja ialah saat bursa pemilihan di mana mereka berebut memasang foto-foto dirinya di sepanjang trotoar dan jalan raya. Mereka menempel foto dirinya di banner agar disanjung dan dimanja. <br /><br />Fenomena politik citra tersebut dilirik kritis oleh Wahyudi Winarjo, Dekan Fisip UMM, yang menulis Menggugat Fungsionalitas Iklan Politik Caleg (hlm. 23). Wahyudi Winarjo menyitir teori simulakra Jean Baudrillard di buku The Mirror of Production (1975). Lewat teori simulakra kritis Baudrillard, para kandidat yang tampak tebar pesona dengan foto diri dan visi serta misinya saat terpilih ialah hanya simulasi-simulasi palsu yang berpotensi mengelabui kesadaran asli masyarakat. Pemilih (masyarakat) hanya disuguhi janji palsu dengan politik citra. <br /><br />Di panggung politik tak melulu ada politik citra. Husnun N. Djuraid, Redaktur Malang Post menulis Pelajaran dari Okezone: Cacatan Hubungan Pers dan Pemilu 2009 (hlm. 35). Husnun N. Djuraid mengurai keruwetan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum (Pemilu), mulai ketakberesan soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) hingga masalah penghitungan kertas suara. Lebih dari itu, Cak Nun (panggilan akrab Husnun N. Djuraid) mengaitkan peran pers (media) dalam hajatan politik: Pileg ataupun Pemilu. Yang menarik, Cak Nun juga membahas kasus Okezone yang mencabut pelansiran berita mengenai money politics yang dilakukan Eddy Baskoro Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kasus Okezone tersebut sempat menghentak jagat pers. <br /><br />Tulisan-tulisan yang terhimpun di buku ini memiliki ketajaman analisis masing-masing. Pembaca sedikit terganggu dengan prosesi penyuntingan yang tak total. Banyak di tiap-tiap tulisan dijumpai salah ketik dan penggunaan bahasa yang tak baku. Kendati pun, buku ini memperkaya khasanah intelektualisme di Malang, hingga buku ini layak dibaca.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-42379808762572244182010-01-08T22:55:00.002+07:002010-01-08T23:00:40.754+07:00Menyoal Idealisme Mahasiswa di Jatim<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAPYTzoQj_uRoNGkkXczUmxrO6FY4SNv6c7-Vat0JNrAyYg3TN9KZPz9EYiBE33jQJHRFGzmzPFtAwXpw5vTwO6i6iu7PqAt33y3rLP268HgZ16jqHgl5FNnpFdoh3oDU6nBzYoeRYEhQ/s1600-h/resist-2.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 198px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAPYTzoQj_uRoNGkkXczUmxrO6FY4SNv6c7-Vat0JNrAyYg3TN9KZPz9EYiBE33jQJHRFGzmzPFtAwXpw5vTwO6i6iu7PqAt33y3rLP268HgZ16jqHgl5FNnpFdoh3oDU6nBzYoeRYEhQ/s320/resist-2.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5424399363827010274" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Ruh perjuangan mahasiswa adalah kejujuran dan keberanian, bukan ABS (Asal Bapak Senang), miminjam istilah Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (2001).<br /><br />Peta perubahan yang diinisiasi mahasiswa di Jatim saat ini sangatlah miris. Aksi-aksi demonstrasi yang dibidani mahasiswa saat ini hanya menunggu lemparan isu dari media. Tak ada pembacaan independen dari mahasiswa mengawal melakukan kontrol publik atas pemerintah.<br /><br />Pertanyaan yang kerap kali muncul, ke mana gerakan mahasiswa pasca reformasi? Saat ini, mahasiswa ditengarai tumpul kekritisannya. Sangat sulit bagi mahasiswa memantik critical consciousness (kesadaran kritis). Tak ayal, idealisme mahasiswa acap disuap untuk sikap bungkam tatkala dibenturkan kebobrokan penguasa. <br /><br />Arief Budiman dalam Mahasiswa Menggugat, mendefinisikan mahasiswa sebagai agent of social change (agen perubahan sosial), dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Ketika dibenturkan dengan fenomena mahasiswa saat ini, tesis Arief Budiman itu seolah tidak relevan lagi. Mungkin, pandangan Arief Budiman itu lebih pas bila merepresentasikan kehidupan mahasiswa era 1998 yang mengamalkan aktivisme konkret memakzulkan rezim lalim Orde Baru, hingga terbukalah kran reformasi dan demokrasi. <br /><br />Tak banyak yang bisa diharapkan dari mahasiswa era sekarang. Sejatinya, mahasiswa menekuni lahan-lahan riset akademis dan mengadvokasi rakyat lemah, malah mahasiswa saat ini lebih memilih merayakan geliat hedonisme dan konsumerisme. Hal ini ditengarai dengan intensitas mahasiswa yang lebih banyak mengunjungi mal dibanding perpustakaan dan toko buku. <br /><br />Nurani Soyomukti di buku Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme (Garasi: 2008), menggambarkan secara bernas praktik peran ganda mahasiswa. Mahasiswa dalam temuan Soyomukti itu tak hanya tercitra sebagai agen perubahan dan intelektualisme, tapi pula tergurus arus seks bebas. Mahasiswa telah terjerumus pada lubang hitam hedonisme, melayani hasrat libidinal. <br /><br />Pergeseran tradisi mahasiswa yang seperti itu sudah sangat menyehari. Bila dulu mahasiswa gemar diskusi, kini mahasiswa keranjingan ngerumpi. Tentu, ini wujud implikasi dari tradisi mahasiswa yang selalu istikamah berlama-lama menahan diri di depan televisi. Rupa-rupanya, media (televisi) sangat aji mumpung membikin simulasi-simulasi sosial baru bagi kehidupan mahasiswa. <br /><br />Fenomena yang tragis lainnya ialah mahasiswa ditengarai absen berorganisasi. Pengalaman penulis dalam prosesi rekrutmen di organisasi sangat kesukaran mencari kader. Padahal, dengan berorganisasi mampu mengasah soft skill tentang kepemimpinan, teknik manajerial, hingga manajemen konflik. <br /><br />Dibenturkan lagi dengan beban akademik, yang membikin persepsi baru mahasiswa, di mana kuliah hanya diorientasikan pada bagaimana cara lekas mendapat kerja atau karier an-sich. Sehingga, tesis Arief Budiman di atas seakan tak mengena untuk mendefinisikan secara utuh mahasiswa saat ini, di mana mahasiswa dicitakan sebagai agen pelopor. <br /><br />Beda lagi, di kampus, mahasiswa kerapkali dibanyang-banyangi ketelatan dalam semester. Kampus memberlakukan pola punishment bagi mahasiswa yang tak menyegerakan dirinya untuk lulus, yaitu DO (drop out). Sungguh mengerikan! Hal itulah yang berdaya-nyala menyumbat kekritisan, dan tumpulnya kekuatan idealisme mahasiswa saat ini. <br /><br />Ahmad Wahib merupakan ikon mahasiswa yang konsisten menggawangi idealisme. Sejak menapaki kuliah di FIPA (Fakultas Ilmu Pasti dan Alam) UGM Yogyakarta, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo, dan Djohan Efendi yang bertempat di rumah Mukti Ali. Diskusi digelar tiap Jumat sore dengan beragam tema yang diusung, mulai Keislaman, Politik Keindonesiaan, Sosial Kebudayaan hingga Pergerakan Mahasiswa. <br /><br />Dalam menjalani hidup menjadi mahasiswa, Wahib bergelut di dunia literasi (baca-tulis). Lewat catatan hariannya yang dibukukan menjadi Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib: Cacatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), Wahib menulis beragam tema. Mulai Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan; Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air; Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuwan; hingga Pribadi yang Selalu Gelisah. <br />Kendati Wahib tutup umur di usia muda, ia banyak dibaca orang, semisal Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990). <br /><br />Dalam cacatan harian itu, Wahib menulis khusus masalah kemahasiswaan dan keilmuwan. Misalnya Wahib menulis perbedaan antara social scientist, applied natural scientist, dan pure natural scientist. Social scientist mempelajari masyarakat dan selalu mencari metode-metode baru untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat. Mereka melakukan dan menemukan sesuatu yang belum ada sebelumnya (inovasi). Applied natural scientist berusaha mengubah apa yang diciptakan Tuhan menjadi bentuk-bentuk yang bisa lebih berguna bagi manusia. Mereka mengubah yang alami menjadi sesuatu yang belum dibuat manusia. Dan pure natural scientist berusaha mencari dan menemukan apa yang telah diciptakan Tuhan terutama hukum-hukumnya yang berlaku abadi. Mereka mempelajari yang ada, mengerti dan menemukan sesuatu asas atau hukum di dalamnya (hlm. 278-279).<br /><br />Misi idealisme mahasiswa itu niscaya. Mahasiswa diharap mampu membikin rekayasa sosial baru, sebagai agen intelektual (keilmuwan) yang bertanggung jawab atas proses perubahan sosial di masyarakat. Memegang teguh pijakan-pijakan kepentingan kemanusiaan dibanding kepentingan politis. <br /><br />Sehingga, Goethe menulis simponi kelima Beethoven, “Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, maka planet bumi ini akan lepas dari porosnya.” Aksi dan perjuangan memang harus diprakarsai dengan berjemaah, bersama-sama, demi meneguhkan semangat luhur idealisme mahasiswa.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-45798241169004142522009-12-04T02:40:00.002+07:002009-12-04T02:46:37.540+07:00Kurban Buku ala John Wood<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgehq2YuPrytS4VGH_c0vkk3kg-_pBBdfloSxhd9Z-RxwlaQMMjVMAj2GR_O2maxrX8Io0MI3ouDZZDhO02OIOGigctLEc_MR2FVSGhMhQf_P99U3KNsstDNujkSAvJCdPwBA4IDaC6XwU/s1600-h/ROOM+TO+READ.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 162px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgehq2YuPrytS4VGH_c0vkk3kg-_pBBdfloSxhd9Z-RxwlaQMMjVMAj2GR_O2maxrX8Io0MI3ouDZZDhO02OIOGigctLEc_MR2FVSGhMhQf_P99U3KNsstDNujkSAvJCdPwBA4IDaC6XwU/s320/ROOM+TO+READ.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5411098653675603282" /></a><br />oleh A Qorib Hidayatullah<br />[Digunting dr Jawa Pos, 29 November 2009] <br /><br />BERKAT Microsoft, John Wood bergelimang harta dan materi. Namun, dia kemudian memilih banting setir, menjadi seorang filantropi untuk masyarakat negara-negara miskin. Dia sedang membangun 7.000 perpustakaan di pelosok dunia.<br /><br />***<br /><br />Ada benarnya petuah buku-buku how to (buku serial motivasi) bahwa hidup mapan tak menjamin kebahagiaan seseorang. Seperti yang dijalani John Wood, mantan bos Microsoft. Profesi, gaji, dan saham menjadi pertaruhan John Wood yang kemudian memilih tenggelam dalam arus kemanusiaan.<br /><br />Sejak kecil, John Wood memang gemar membaca. Menurut pengakuannya, saat masih SMP, dia kerap menambah stok pinjaman bukunya di perpustakaan sekolah. Dia sering merayu pihak manajemen perpustakaan sekolah agar bisa meminjam buku lebih banyak. Dia pun akhirnya diperbolehkan meminjam buku lebih banyak daripada siswa-siswa lain.<br /><br />Keranjingan baca John Wood berjalan hingga dia dewasa. Dia lalu menggagas berdirinya lembaga nirlaba Room to Read pada 1999. Lembaga itu bergerak di bidang pembangunan sekolah-sekolah serta penyediaan buku-buku untuk anak-anak di negara miskin.<br /><br />Keteguhan cintanya pada dunia literasi (baca-tulis) dibuktikan John Wood dengan sepenuh hati. Dia amat rajin mengisi jurnal hariannya. Misalnya, catatan perjalanan saat dia berekspedisi menaklukkan keangkuhan puncak Himalaya. Dalam perjalanannya itu, John Wood menyaksikan langsung kemelaratan dunia ketiga (Nepal) yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan. Mayoritas masyarakatnya mengalami buta huruf. Banyak sekolah yang dikelola apa adanya. Sekolah-sekolah di wilayah Kathmandu, ibu kota Nepal, yang dikunjungi John Wood, tak memiliki banyak buku di perpustakaannya. Pihak sekolah pun tidak tahu kepada siapa mereka harus miminta bantuan. Akhirnya, pengelola sekolah berinisiatif mengetuk hati para pendaki pegunungan Himalaya, termasuk John Wood, agar mau membantu mereka.<br /><br />Potret kelam itulah yang memantik semangat John Wood menjadi filantropi untuk program pemberantasan buta huruf, membangun gedung sekolah, dan mengasah gairah membaca warga dunia ketiga (Nepal, India, Vietnam, Kamboja, dan lain-lain). Sepulang dari pendakian di pegunungan Himalaya, John Wood langsung melayangkan surat elektronik (e-mail) kepada teman, kerabat, dan para donasi di seluruh dunia. Dia mengabarkan kesaksiannya di Nepal. Pengalaman menjadi direktur bidang pemasaran Microsoft di wilayah Asia Pasifik menjadikan John Wood tak kesulitan untuk menarik simpati dunia dalam aksi voluntirnya itu.<br /><br />Personifikasi John Wood memang sangat menarik. Dia tak tergilas oleh mesin hitam-putih bisnis kapitalisme Microsoft. Kendati bekerja cukup lama di Microsoft, dia tetap meluangkan waktu untuk kegemarannya membaca dan menulis buku. John Wood bercita-cita mewarisi semangat mantan Presiden AS Jimmy Carter yang dia alegorikan sebagai ''Si Pengasih Manusia''. Dalam buku The Unfinished Presidency (1998), dia menceritakan kisah perjalanan Jimmy Carter di luar Gedung Putih. Carter menahbiskan dirinya sebagai pekerja sosial yang membangun tempat tinggal bersama Habitat for Humanity dan memantau pemilihan umum di seluruh dunia untuk memberikan aspirasinya.<br /><br />Pada awal 1990, Carter memimpin gerakan sosial memberantas penyakit cacing guinea. Parasit mikroskopis itu telah menyengsarakan jutaan orang di Afrika dan Asia. Carter bersama William Foege, mantan kepala Centers for Disease Control (Pusat Pengendalian Penyakit di AS), perlu meyakinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memilih penyakit cacing guinea sebagai penyakit kedua yang harus diberantas dari muka bumi, setelah cacar.<br /><br />Berkat kegigihannya melayani kemaslahatan manusia, John Wood bersama Room to Read berhasil menyita simpati masyarakat internasional. Dia pun layak mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya anugerah Time Asia's Heroes Award 2004.<br /><br />Dalam setiap aksi amalnya tersebut, John Wood tak pernah menampilkan sisi kelam manusia, malapetaka, dan kesuraman. Sebaliknya, dia selalu menunjukkan optimisme penuh harapan di daerah garapannya. Dalam lembar-lembar proposal yang dikirimkan ke para donatur, dia tak pernah melampirkan foto-foto anak yang dikerubungi lalat atau potret keluarga kurang gizi yang berbaring dalam debu. Dia tak mengamalkan idiom ''Tangisan Panjang Sally Struthers''.<br /><br />Ada lima prinsip yang dipegang John Wood untuk meyakinkan para donatur. Salah satunya dengan mengatakan, ''Orang-orang sedang mencari lebih banyak makna dalam hidup mereka. Mendanai pendidikan akan memberikan suatu perasaan yang hebat bahwa Anda telah membantu mengubah dunia menuju lebih baik.''<br /><br />Kini, Room to Read berkembang pesat di banyak negara. John Wood tak lagi sendiri. Dia didukung para pahlawan yang berlomba-lomba membantu mengembangkan Room to Read.<br /><br />Di Tumpang, Kabupaten Malang, ada Perpustakaan Anak Bangsa ampuan Eko Cahyono yang gerakannya mirip seperti dilakukan John Wood dengan Room to Read-nya. Namun, untuk mengembangkannya, dia butuh support dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah. Hal itu dilakukan agar perpustakaan yang kini memiliki puluhan ribu koleksi buku dan beranggota lebih dari dua ribu orang itu mati setelah pengelolanya tak kuat lagi membayar uang sewa bangunan. (*)[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-20269665547437470752009-11-08T07:39:00.005+07:002009-11-08T07:53:04.037+07:00Melampaui Ikhtiar Ahmad Wahib<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQctaRjc25scDzmd-oPLWwXWcWAOX6_FPsNV_H_qFTAFGxhXaBmXecZOqVNO4rjh2vyEdDcLbYmB86J0U84gbC7Bj2xJB71rBPKYnuJQbVMCHeru79tWanKgHyUpC9pcU6AGB-J0Ek0T8/s1600-h/ahmad-wahib+1.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 206px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQctaRjc25scDzmd-oPLWwXWcWAOX6_FPsNV_H_qFTAFGxhXaBmXecZOqVNO4rjh2vyEdDcLbYmB86J0U84gbC7Bj2xJB71rBPKYnuJQbVMCHeru79tWanKgHyUpC9pcU6AGB-J0Ek0T8/s320/ahmad-wahib+1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401528313974983858" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Aku ingin al-Quran itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah salama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimana mengintegrasikan al-Quran itu dalam kepribadianku? Bagaimana?”</span> (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib LP3ES: Cet I 1981). Ditulis pada tanggal 11 Maret 1969, hlm 320.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Prolog</span><br />Hingga kini, titik keyakinan saya pada wacana keislaman kaitannya dengan HMI, buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), bisa dijadikan pemantik tunggal diskusi keseharian tentang Islam. Jika tak berlebihan, buku itu selalu relavan dengan keadaan zaman. Sebab, Ahmad Wahib pada tahun 70-an mampu mengarsiteki tema-tema diskusi tentang teologi, pembaharuan pemahaman Islam, politik, dan kebudayaan, di mana masalah-masalah yang diusung dalam tiap-tiap tema diskusi tersebut tampak melampaui pemikiran arus utama, Wahib mampu melirik kritis permasalahan-permasalahan keislaman dan keindonesiaan masa depan. <br /><br />Ahmad Wahib dilahirkan di Sampang, Madura, 9 November 1942. Menapaki pendidikan di perguruan tinggi, UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA). Kendati mahasiswa eksakta, Wahib gemar membaca buku-buku ilmu sosial modern. Wahib bukan tipikal mahasiswa yang mengamalkan prinsip 3 K (kampus, kantin, dan kos-kosan). <br /><br />Ia sangat gemar membaca dan berdiskusi. Al-hasil, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo serta Djohan Efendi yang bertempat di rumah Prof. Mukti Ali (dosen IAIN Sunan Kalijaga saat itu). <br />Dalam kehidupan menjadi mahasiswa, Wahib melakoni aktivisme konkret. Ia berorganisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), hingga menjabat pengurus Badko (Badan Koordinator) HMI Jawa Tengah. Kaitannya dengan HMI, Wahib menjadi pengkritik (insider) bagaimana kader-kader HMI mampu memahami sebagai insan akademis, insan pencipta, dan insan pengabdi. <br /><br />Sayangnya, Wahib lekas tutup umur di usia muda (31 Maret 1973). Ia tertabrak motor saat keluar dari kantor majalah Tempo Jakarta. Meski mati muda, Wahib tak hidup sia-sia. Ada 2 (dua) outsider (peneliti dari luar), Greg Barton dan A. H. John, yang membicarakan Wahib secara bernas. Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djogan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990). <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Wahib dan Islam yang belum usai</span><br />Dari sekilas kehidupan Ahmad Wahib itu, saya hendak mengajak kawan-kawan mengamalkan geliat intelektualisme keislamannya Wahib. Minimal kawan-kawan membaca buku catatan harian Ahmad Wahib itu. Sehingga, dari situ kawan-kawan mampu mewarisi ide cemerlang dari Wahib. <br /><br />Wahib pemuda yang berani. Ia tanpa rasa takut sedikitpun mendiskusikan masalah-masalah tauhid (teologi). Keislaman yang hendak dicapai Wahib adalah keislaman yang selalu dan harus terus dicari (proses), yang belum usai. Bagi Wahib, orang yang menganggap bahwa Islam itu sudah final dan universal adalah sesat (sikap berpikir yang salah). Wahib tidak setuju bila Islam dianggap agama yang telah lengkap bekal untuk menjawab masalah-masalah kemanusiaan dan kehidupan. Hal ini, kata Wahib, hanya akan membawa pada kejumudan, kemandekan, statis, dan bekunya Islam. <br /><br />Lebih jauh, Wahib mengatakan bahwa kebekuan umat Islam disebabkan pada orientasi yang sangat kuat terhadap syariat (fiqh mainded). Orientasi keagamaan yang seperti itu akan memunculkan keberagamaan yang formalistik dan artifisial, lalu menggiring kepada eksklusivisme agama. Fiqh, menurut Wahib tak lain adalah hasil interpretasi ajaran Islam di suatu tempat dan waktu tertentu. Ia tak bisa dianggap dan disikapi secara sama seperti al-Quran maupun hadist. Jika al-Quran dan hadist adalah sumbernya, maka fiqh adalah penafsiran atas kedua sumber tersebut. Sebab, fiqh ialah hasil penafsiran kontekstual, sehingga fiqh tidak mutlak. <br /><br />Dengan demikian, Wahib bukan penganut agama yang hitam putih (halal-haram). Ia dalam beragama sangat toleran, memperjuangkan nilai-nilai keragaman dalam agama. Di Yogyakarta, Wahib bermukim di asrama Katolik, asrama mahasiswa Realino. Sehingga, ia pun kenal dan kerapkali diskusi dengan pemuka Ordo Jesuit, seperti Bruder Van Zon, Romo Stolk, Romo Willenborg, dan Romo De Biliot. Hal ini wujud inklusivisme (keterbukaan) keberagamaan Wahib. <br /><br />Dalam memahami Islam, Wahib menjadikan akal sebagai alat. Ia tidak cukup memiliki bekal “studi agama” yang rumit untuk memahami Islam. Penggunaan akal bagi Wahib tidak terbatas pada fungsi akal sebagai salah satu sarana memahami realitas dan hakikat agama. Akal yang dimaksud Wahib adalah akal bebas dan akal sistematis sebagai seperangkat ilmu. <br /><br />Dengan akal bebas, seseorang akan bisa memahami segala fenomena dari sudut pandang ia sebagai manusia, bukan dari sudut pandang Ilahiah (Tuhan). Sebab hakikatnya, pengetahuan terhadap yang Ilahi mempunyai konsekuensi bagi kehidupan dan kepentingan manusia sendiri, dan bukan kepentingan Tuhan. Serta, manusia itulah yang paling mengetahui keadaannya sendiri. Sedangkan akal sebagai seperangkat ilmu bisa diartikan sebagai metode (cara) untuk memahami realitas secara lebih sistematis (tersusun).<br /><br />Kepercayaan Wahib yang begitu mengagungkan kemampuan akal menghantarkannya berada pada barisan kaum rasionalis, atau dalam istilah Greg Barton sebagai pemikir liberal. Implikasinya, pemahaman Islam yang dikembangkannya memiliki kekhasan tersendiri yang ditengarai berbeda dengan paham kebanyakan umat Islam lainnya. Islamnya Wahib adalah Islam yang rasional, inklusif, pluralis, dan toleran. <br /><br />Sejarah Ahmad Wahib adalah sejarah pergulatan, doktrin, dan realitas sosial. Mari ramai-ramai mewarisi semangat Ahmad Wahib. Menahbis diri menjadi Wahibian, pengikut Ahmad Wahib. ***[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-19960248119454264102009-10-25T20:48:00.003+07:002009-10-25T21:10:29.832+07:00Kebajikan Khas Manusia Unggul (Ulul Albab)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn7uC7OBsO8fiXFdZic9Lymo9xmgHux6Do4DFHyBmXALYAnaCoTEbu9gFlXRX1D-x9zqad8i5jF-__WXutmhIUBNASvtu7PRTWvuZiZKzev2RRXzGxiALz9M1ybLcHuMLgAF3DeOU1pr0/s1600-h/manusia+unggul+2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 313px; height: 223px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn7uC7OBsO8fiXFdZic9Lymo9xmgHux6Do4DFHyBmXALYAnaCoTEbu9gFlXRX1D-x9zqad8i5jF-__WXutmhIUBNASvtu7PRTWvuZiZKzev2RRXzGxiALz9M1ybLcHuMLgAF3DeOU1pr0/s320/manusia+unggul+2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5396538297992804930" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Syahdan, John Wood, dewan eksekutif Microsoft melakoni tradisi hidup unggul. Lewat proyek raksasa di bidang humaniora (Room to Read) yang mengarsiteki 7.000 perpustakaan di seluruh pelosok dunia, John –sapaan akrab John Wood– rela menanggalkan karir cemerlang di Microsoft lalu dia tapaki hidup mendengar jerit lirih panggilan kemanusiaan, yaitu meminimalisir angka buta huruf warga dunia ketiga, Nepal. <br /> <br />Jika jamak dipahami bahwa ulul albab sebagai representasi dari orang-orang yang memiliki daya intelektual tinggi dan keteguhan hati, maka sangat membanggakan bila UIN Maulana Malik Ibrahim terus menggawangi mahasiswanya dengan laboratorium ulul albab. Sebuah laboratorium kebajikan hidup yang hendak menyutradarai manusia-manusia unggul dengan 4 (empat) kekuatan khas: Kedalaman Spiritual, Keagungan Akhlak, Keluasan Ilmu, dan Kematangan Profesional. <br /><br /> “Pikiran picik membicarakan orang lain. Pikiran biasa membicarakan kejadian. Pikiran besar membicarakan ide-ide.” (Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness: 2008). Manusia unggul diharap mampu membicarakan tentang ide-ide besar. Ia berada pada bayang-bayang kebesaran (shades of greatness). Buku Universitas Islam Unggul; Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam (UIN Malang Press: 2009), Prof. Dr. Imam Suprayogo menjadikan mimpi (ide) sebagai signature strength berkembang dan besarnya kampus UIN yang beliau pimpin. Intelektualisme kampus ulul albab lahir dari tradisi keilmuwan yang mapan (sintesis agama dan sains).<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Teori Manusia Unggul</span><br />Jalaluddin Rakhmat –akrab disapa Kang Jalal–, pemikir modern Islam di Indonesia memberi alegori khusus bagi manusia unggul, yaitu manusia besar (Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar: 1999). Kang Jalal merujuk teori-teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah). Thomas Carlyle, misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (Para Pahlawan dan Pemujaan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man.” Pada salah satu bagian dalam bukunya, Carlyle menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, Pahlawan sebagai Nabi. <br /><br />Lebih lanjut, Thomas Carlyle, filosof dan sejarawan Skotlandia itu, membesut aforisme seperti ini, “Pada seluruh babakan sejarah dunia, kita akan menemukan manusia besar (unggul) sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya; sebagai sambaran kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah dunia… hanyalah biografi manusia besar.” <br /><br />Dalam teori Carlyle, seorang manusia unggul adalah intelektual universal. Ia berpijak pada nilai-nilai universal dan mengubah manusia sejagat. Perubahan yang dilakukan bukan semata-mata karena kemampuan intelektualnya, melainkan lebih banyak karena kemampuan bertindaknya. Manusia unggul adalah “man of actions”, lebih dari “man of thoughts.” Ketika manusia unggul itu bertindak, ia ditanggapi, dibalas, dan disambut oleh masyarakat luas, atau massa yang besar dan setia. “Kita semua mencintai, menghormati dan merunduk pasrah pada manusia di hadapan manusia unggul. Masyarakat ditegakkan di atas pemujaan pahlawan, hero-worship. <br /><br />Berbeda dengan Ali Syariati dalam memahami manusia unggul. Pemikir asal Iran itu mengidentikkan manusia unggul dengan manusia yang berkapasitas intelektual canggih. Namun, Ali Syariati lebih rinci lagi membagi 2 (dua) kategorisasi orang pintar: ilmuwan dan intelektual. Ilmuwan bersifat universal. Ia diterima di mana pun. Newton adalah ilmuwan di Inggris, Jerman, Jepang, hingga di Indonesia, dll. Sedangkan intelektual lebih bersifat lokal. Ia adalah orang yang berhasil menangkap dan memahami realitas bangsanya. Ia memengaruhi bangsanya dengan berpijak pada nilai-nilai yang dianut bangsanya. Sebab itu, Jean Paul Sartre, hanya bisa menjadi intelektual Perancis. Ia tidak cocok di negara lain.<br /><br />Tak semua orang bisa ditahbis sebagai manusia unggul. Mungkinkah terjadi perubahan besar dalam sejarah umat manusia sekiranya Muhammad SAW tidak lahir? Hanya orang yang memungkinkan dirinya saja bakal menjadi pemimpin tangguh, yang lahir dari rahim manusia unggul (ulul albab). Sebab, mereka memberi bekas yang abadi di dalam jejak-jejak sejarah, lasting imprint in history. <br /><br />Keunggulan manusia ialah kesahajaan dan kemuliaan (isy kariman au mut syahidan). Mampu memperjuangkan hidup secara mulia, bukan malah takut hidup dan mengakhiri hidup dengan mimpi buruk mati bunuh diri (terorisme). Meraih derajat manusia unggul merupakan avonturisme pencarian hidup. Manusia unggul hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mau mengupayakan, dan orang yang gemar membicarakan hal-hal yang mungkin.<br /><br />Dalam tradisi masyarakat Timur, sebagai homo simbolakum, manusia unggul bukan pada status sosialnya yang mentereng (self glory). Kajian teori kritis memaparkan, status sosial manusia modern (Barat) diditerminasi oleh pola konsumsinya. Dalam perspektif Baudrillard, konsumsi berkaitan dengan tanda. Dalam mengonsumsi, sesungguhnya pribadi manusia menentukan diri mereka sendiri. Woodward meyakinkan, manusia dinyatakan berbeda antara satu dengan yang lain menurut barang yang mereka beli. Semakin tinggi tingkat konsumsi (akses modal) manusia modern Barat, maka status sosialnya makin terangkat dan menjadi manusia unggul. <br /> <br />Manusia unggul (kader ulul albab) bukan sebuah identitas sosial yang berkaitan dengan labelik konsumtif-material (akses modal). Manusia unggul ulul albab ialah manusia yang memiliki kebajikan khas (seperti tokoh-tokoh yang penulis sitir di atas), progresif-transformatif, nyaman bergelut dengan pengetahuan dan berani bertarung di pentas akademis-ilmiah. Dengan kata lain, manusia unggul ulul albab berada pada titik genius keprigelan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridhai Allah SWT.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-35771457734245972242009-09-15T18:16:00.002+07:002009-09-15T18:22:56.610+07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCKP1dM_ZnPrrAodcipJIGlfGQdQ4VGD3Ze77amMYWMXCTi60zgBuP2ySEBJzCsu3Ot_VX9ZNCvnvuVEB_D7lrEY9UIy16sVEnWcBoS3VnK94afYyHap16u9obxxdgsNRRS9Ypp3Giv14/s1600-h/ketupat.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 310px; height: 317px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCKP1dM_ZnPrrAodcipJIGlfGQdQ4VGD3Ze77amMYWMXCTi60zgBuP2ySEBJzCsu3Ot_VX9ZNCvnvuVEB_D7lrEY9UIy16sVEnWcBoS3VnK94afYyHap16u9obxxdgsNRRS9Ypp3Giv14/s320/ketupat.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5381652782553589522" /></a><br />MOHON MAAF LAHIR BATHIN. <br /><br />SALAM TAKZIM,<br />A Qorib Hidayatullah & Tri Wahyuni<br />Sekeluarga...[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-50675774072337862772009-08-29T04:26:00.002+07:002009-08-29T04:38:11.985+07:00Kemerdekaan dan Ramadhan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGPNUJzrm1hfPzKBr9TGeo4n8Kdc4V4mgZUo0A21ZW_yGkIsE-qozanRQDt51qHisNq6wyskKtICAYvANAUluyREYYRWY42bPv-YILSBLmYwJMz_Zw3PNr0FFc6YGeHoBznmliIs1i4Vc/s1600-h/merdeka+1.png"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 218px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGPNUJzrm1hfPzKBr9TGeo4n8Kdc4V4mgZUo0A21ZW_yGkIsE-qozanRQDt51qHisNq6wyskKtICAYvANAUluyREYYRWY42bPv-YILSBLmYwJMz_Zw3PNr0FFc6YGeHoBznmliIs1i4Vc/s320/merdeka+1.png" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5375131958439412658" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Dua tema di atas tidak melulu menjadi tema wacana menara gading (absurd). Kemerdekaan dan ramadhan bebas dicicipi hingga masyarakat pereferal (pinggiran). Semarak perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus pada hari-hari sebelumnya tampak gempita dengan riuh semangat segar masyarakat pedesaan. Panjat pinang, tarik tambang, hingga lomba makan krupuk menjadi soliditas keakraban antar masyarakat. <br /><br />Dus, menarik dilirik kedekatan waktu acara kemerdekaan (Dirgahayu Republik Indonesia) dengan bulan suci ramadhan. Sekilas ditelisik dari luar dua momen tersebut mengusung elan vital yang sama yaitu semangat mengenang dan kebaruan serta pengabdian (ibadah). <br /><br />Di arus pewacanaan media, kemerdekaan dan ramadhan menjadi ulasan segar dan menarik. Pengamat dan analis berkompetensi serempak ramai mengulas dua tema tersebut. Di koran misalnya, menyediakan rubrik/edisi khusus tentang kemerdekaan dan ramadhan. Beragam tilikan yang sengaja dibidikkan terhadap dua momen agung itu. Ada yang menelisik berdasar semangat historisitas hingga kontekstualitas (meminjam istilah almarhum WS Rendra disebut manjing kahanan).<br /><br />Kemerdekaan adalah memoria slip yang harus dihadirkan “master”nya di zaman/era kekinian. Perjuangan sukses para pahlawan menendang lemah dan mengusir kependudukan Belanda dan Jepang saat itu tidak hampa semangat. Sehingga, penghadiran semangat yang sama itu –di era reformasi— ini sangatlah niscaya. Jika semangat pejuang lampau melawan penjajah sonder pamrih maka sekarang terbalik. Pejuang dan pahlawan berlomba merangkak merebut elitisme yang gemar pamrih. Jika zaman dahulu pejuang gugur jasadnya disemanyamkan di makam pahlawan, beda dengan sekarang, penghargaan pada “pahlawan” abad 21 lebih meriah dan bertumpuk tanda jasanya. <br /><br />Tak ayal, prakarsa mengenang kekentalan semangat pahlawan di zaman penjajahan perlu ditampilkan. Hal ini, mengundang kepedulian pakar filmis Hollywood, Rob Allyn (produser film), seorang specialist effect di bidang film perang dan dibantu anaknya, Connor Allyn, membesut film Merah Putih. Film Merah Putih disutradarai Yadi Sugandi dan diarsiteki oleh kru orang Indonesia sendiri dan asing. Pembikinan film yang berlatar tahun 1946-1947 itu memagut biaya yang tergolong besar, 60 miliar. <br /><br />Lewat film Merah Putih itu kesadaran kita dihentak, betapa mahalnya harga mengenang masa silam. Kendati kenangan tak melulu manis, pun pula ada kenangan pahit (kelam), namanya sejarah kudu diapresiasi secara apa adanya. Sejarah yang tak dibungkam dan tidak ditunggangi kepentingan apapun, demikian harapan dari film Merah Putih tersebut.<br /><br />Itulah iktikad mengenang sejarah masa silam lewat film. Berbeda dengan problematika kemerdekaan era kini. Jamak diketahui, meski kita de jure merdeka tapi secara de facto belum tentu. Misalnya, kita ditengarai telah dijajah secara soft (halus) dengan baju (kemasan) imperialisme budaya. Kita sejatinya tidak merdeka di aras budaya. Budaya yang kita lakoni saat ini adalah budaya yang mengabdi pada pihak luar (asing), tak ada independensi. Baik di sisi teknologi hingga perkara mengenakan busana (pakaian). Sehingga, permasalahan imperialisme budaya kita sejatinya dituntut kuat berada pada awareness ke-Indonesiaan. <br /><br />Lain lagi dengan masalah kelonggaran kedaulatan teritorial Indonesia. Indonesia acap ditertawakan negara tetangga ihwal kelemahan kuasa teritorial yang sering kebobolan. Indonesia yang memiliki luas yang lebih di bidang teritorial (kelautan) dibanding daratan menjadi ancaman serius di bidang sekuritas kemaritiman. Al-hasil Harian Umum Kompas menurunkan laporan jurnalistik bernas terkait Nasionalisme di Tapal Batas. Wartawan investigatif Kompas menelusuri kawasan-kawasan teritorial yang kerap menyulut sengketa dengan negara tetangga. Laporan koran Kompas itu mengabarkan ontologi nasionalisme kemerdekaan adalah penghayatan penuh orang-orang (warga Indonesia) yang berada di perbatasan. Di mana nasib dan kesejahteraannya kerapkali terancam bahkan tergadaikan (yaitu memihak pada negara tetangga/asing). Benar-benar masygul nasib warga perbatasan. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Merdeka! Let’s Come Ramadhan</span><br />Pasca kemerdekan RI usai diperingati, kita umat muslim diperhadapkan pada momen suci-transenden cegah dahar klawan guling (bulan ramadhan). Umat muslim dalam bulan ramadhan (puasa) diseru wajib menanggalkan kebutuhan manusiawi di saat siang hari selama sebulan penuh. Dan umat muslim pun dituntut menjauhi dan tak menuruti nafsu “daging”. <br /><br />Kemerdekaan dan ramadhan berkait-kelindan. Dilirik perspektif teologis kedua momen itu sama-sama menyeru pesan hidup mulia (asketis) atau mati syahid, menghantarkan pada kesyuhadaan. Ditarik pada relasi ibadahnya, keduanya sama-sama menyiratkan pola hubungan ibadah vertikal dan horisontal dan berdaya nyala transendensi. <br /><br />Titik perjumpaan yang sama yaitu narasi perjuangan berlarat menahan diri dalam kemerdekaan dan ramadhanisasi adalah wahana karantina tubuh-jiwa. Ramadhan bisa dibilang “pemerdekaan” manusia lepas diperbudak nafsu “daging” di antara dua kaki. Sedangkan kemerdekaan ialah upaya pelepasan secara fisik maupun jiwa dari intervensi jajahan kolonial. Kemerdekaan dan ramadhan pula sama-sama memendarkan penderitaan. Penderitaan yang menggiring pada sakralitas tubuh dan jiwa. Alegori bijak dari Dono Baswardono patut ditampilkan, Kesedihan lebih baik ketimbang tertawa. Kesedihan memurnikan kita. Hadapi kesedihan dengan air mata, waktu, kejujuran, dan pengharapan. <br /><br />Berdalih memerdekaan diri, manusia mampu secara lambat-laun meraih derajat jati dirinya, baik jati kebangsaan maupun jati diri hakiki, yaitu sebagai insan pengabdi kepada Allah SWT. Dan, diri yang sejati hanya bersemayam di lubuk hati tepian ilmu. Merdeka! Marhaban Ya Ramadhan…[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-63790645791424378472009-07-30T20:24:00.002+07:002009-07-30T20:39:52.264+07:00Dongeng Perubahan dari PSIF<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY5kEastmvCu1PNVNHKtA-9uD0TyTPui9eAGT0kce93aIqR21iZyDrDLyOsWS79NTsvnIcm4vZuptRFcJzMo1ir-CWoys0lJ3YpAXK0G2IizH3QKNlhf00D2Ykg_80ne5x0aQududPxoc/s1600-h/anthromorphism.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 299px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY5kEastmvCu1PNVNHKtA-9uD0TyTPui9eAGT0kce93aIqR21iZyDrDLyOsWS79NTsvnIcm4vZuptRFcJzMo1ir-CWoys0lJ3YpAXK0G2IizH3QKNlhf00D2Ykg_80ne5x0aQududPxoc/s320/anthromorphism.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5364247407570875826" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Tak banyak lembaga kebudayaan yang mengusung nilai keislaman dan humanisme. PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat) Universitas Muhammadiyah Malang menggawangi ihwal gerakan budaya intelektualisme agar tak masygul. Islam dan kemanusiaan memang menjadi wacana eksotis di mana banyak kalangan membonceng kedua kajian itu sebagai arah dan inspirasi gerakan.<br /><br />PSIF sebagai ikon gerakan humanisme beberapa pekan silam pernah menggelar seremonial kebudayaan yaitu Dongeng Perubahan (di pengujung bulan Juni). Acara tersebut diampu oleh Garin Nugroho (Sineas), Franky Sihalatua (musisi), dan Sukardi Rinakit (politisi). Kemasan acaranya pun tampak tak monoton. Pesan-pesan (dongeng) perubahannya diiringi musik, hingga akhirnya mewujud menjadi karya konkret kemanusiaan. Ada musikalisasi puisi serta nyanyian perubahan yang menghentak nurani. Gabungan antara pakar dunia filmis dan komunikasi, Garin Nugroho, dengan Bung Franky membikin dongeng terbuhul hingga nyaman disimak. Dongeng yang lazimnya dihantar menidurkan anak manusia, namun dongeng perubahan malam itu justru malah tak membuat leyeh-leyeh pemirsa, malah mamaksa “bangun” dari tidur lama kebungkaman menuju kelahiran embrio kritisisme. <br /><br />Safari budaya yang dihelat dalam Dongeng Perubahan tersebut bukan nir-kepentingan. Kedekatan waktu dengan pilpres (8 Juli 2009), dijadikan ajang “basah” para seniman dan musisi berparade demi dalih kesadaran bagi pemilih untuk memilih pemimpin secara objektif, yaitu memilih berdasar track-record masing-masing kandidat. <br /><br />Bung Franky dan Garin saling sahut-menyahut menembang lagu romantik, kritik, dan pencerahan. Mereka saling bergantian menampilkan ekspresi masing-masing. Dan jeda parade penembangan itu, Sukardi Rinakit maju ke depan podium, lalu mengulas secara kritis terkait kepemimpinan muda. <br /><br />Selain Dongeng Perubahan, PSIF beberapa hari silam menghadirkan sastrawan kawakan yang sekaligus redaktur majalah Horison: Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, dan Iman Soleh. Mereka diundang ke PSIF guna mengulas kelindan sastra dengan humanisme. <br /><br />Saat mengawali acara, mereka berempat saling memperkenalkan dirinya masing-masing. Setelah momen perkenalan selesai, kang Iman Soleh menampilkan teatrikalisasi puisi. Audiens dibikin tercengang berkat penyampaian puisi yang sangat menyentuh hati, dan dibumbui kekocakan-kekocakan khas. <br /><br />Sastra dan humanisme memang sangatlah dekat, bererat kait. Majalah Horison yang mereka (Jamal D. Rahman, dkk) gawangi mengusung nilai-nilai humanisme. Kedekatannya dengan kalangan siswa merupakan bentuk konkret kemanusiaan. Horison menabalkan dirinya sebagai majalah yang telah lama eksis mengabdi demi keberlangsungan daras sastra bagi pelajar. Sehingga alhasil, Horison menjadi ajang apresiasi estetis-kesusastraan siswa. <br /> <br />Tentu, kehadiran para maestro literer tersebut di PSIF berdalih menyeharikan semangat sastra dan humanisme. Sesuai dengan misi PSIF kepada umat, yaitu meladeni perihal gerakan Islam, kebudayaan (sastra), dan kemanusiaan. Dua rangkaian acara yang benar-benar mencerahkan.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-70221897256054542242009-06-09T00:23:00.001+07:002009-06-09T00:25:19.160+07:00Mimpi Menjadi Presiden Hebat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH3nIFcQNI1FXLjipOBd9HFydTJfzGe9uzpLgei34JngKPQXtem5moS-QAmC0MmWHb9BEMnQEFbRUX-Bzq2d4SyGraYaPzScIZ1dlfhG4MhhZbLcgVlQQQwCZiEwM_F24B0P4xdHLsnxI/s1600-h/cover+buku+andai+presiden+sehebat+harry+potter.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 207px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH3nIFcQNI1FXLjipOBd9HFydTJfzGe9uzpLgei34JngKPQXtem5moS-QAmC0MmWHb9BEMnQEFbRUX-Bzq2d4SyGraYaPzScIZ1dlfhG4MhhZbLcgVlQQQwCZiEwM_F24B0P4xdHLsnxI/s320/cover+buku+andai+presiden+sehebat+harry+potter.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345008949362943010" /></a><br />Judul Buku : Andai Presiden Sehebat Harry Potter<br />Penulis : Agenda 18<br />Penerbit : Kanisius<br />Cetakan : Pertama, 2009<br />Tebal : 188 hlm<br />Peresensi : A Qorib Hidayatullah*<br /><br />Tahun 2003, Agenda 18 mewujud. Agenda 18 dihuni anak-anak muda (baca: penulis muda) yang berbasis Katolik dan berwawasan plural. <br /><br />Buku setebal 188 halaman ini memuat 16 judul tulisan dari 14 penulis muda yang tergabung di Agenda 18. Buku yang mampu meringkas percikan mimpi para kuli tinta yang sadar menegur pemimpin bangsa lewat aksi literasi. <br /><br />Tulisan yang terhimpun dalam buku rampai ini sengaja dikemas renyah-mengalir sesuai selera anak muda. Nuansa keremajaan ditemukan tatkala membuka lembaran buku di mana tiap-tiap judul tulisan dibuat “tak ilmiah.” <br /><br />Hal itu tampak saat mata memelototi judul buku ini: Andai Presiden Sehebat Harry Potter. Sekilas memantik kesan bahwa pemimpin negeri ini didamba laiknya tukang sulap (sihir). Pemimpin diharap mampu menyulap rakyat melarat menjadi makmur-sejahtera.<br /><br />Buku rampai ini menyajikan tulisan yang amat beragam terkait persoalan pelik pemimpin bangsa. Roy Thaniago, Selamat Pagi, Mas Presiden (hlm.15), mengabarkan pesan pentingnya pemimpin muda. Roy, di awal tulisannya menyitir petuah Pramoedya Ananta Toer: “Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda…”. Lalu siapa generasi muda itu? <br /><br />Menurut Roy, generasi muda adalah mereka yang berusia belia (muda). Usianya kisaran 35-50 tahun. Tapi usia bukanlah syarat mutlak seseorang terkategori generasi muda. Ia bisa saja berusia di atas 50, tapi memiliki pikiran yang baru (muda), kultur yang baru (belum pernah terlibat dalam kerja parpol atau pemerintahan yang korup), semangat yang baru, dan juga mimpi yang baru (hlm. 20).<br /><br />Seperti Ninoy, panggilan akrab Benigno Aquino Jr., suami Corazon Aquino, mantan presiden Filipina. Ninoy pemuda aktif berpolitik. Ia menjadi walikota pada usia yang sangat muda, 22 tahun, lalu berlanjut diganjar jadi gubernur di usia 28 tahun. Dalam usia 34, ia pun masuk sebagai senator termuda Filipina saat itu.<br /><br />Di belahan dunia lain, sederet nama tokoh muda tampil gagah, seperti Evo Morales, memimpin Bolivia pada usia 47 tahun. Bashar Al Assad dari Suriah menjadi presiden di usia yang belum genap 45 tahun. Hugo Chaves ditahbis menjadi presiden Venezuela pada usia 44 tahun. Pun deretan nama pemimpin muda di Amerika, dari J.F. Kennedy (berusia 43 tahun menjabat presiden), Bill Clinton (47), hingga yang populer dibicarakan saat ini, Barack Obama (47). <br /><br />Kekuatan dari pemimpin muda itu ialah piawai memelihara mimpi. Seturut Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness (2008): “Pikiran picik membicarakan orang lain. Pikiran biasa membicarakan kejadian. Pikiran besar membicarakan ide-ide atau mimpi-mimpi.” Dan, mungkin kita pun masih ingat kata-kata Benedict Anderson dalam bukunya yang telah menjadi klasik: Imagined Communities (1983) atau, dalam terjemahan Indonesia, Komunitas-Komunitas Imajiner (Insist, 2001). “Bangsa sesungguhnya adalah sebuah komunitas yang diangankan, sebuah komunitas yang dianggit, sebuah komunitas yang diimpikan.” <br /><br />Betapa penting dan mahalnya menggubah mimpi. Hingga Christa Sabathaly menulis di buku rampai ini, Kalau Presiden Punya Facebook (hlm. 28). Christa mengimpikan presiden turut memiliki jejaring pertemanan (sosial) yang kini lagi mentereng itu. Ia rela mendadani tampilan Facebook-nya dengan profil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan foto yang ditampilkan di Facebook adalah foto Bapak SBY dan Ibu Ani.<br /><br />Harapan Christa, tatkala Bapak SBY punya account Facebook, bakal banyak rakyat yang akan mengecek profil presiden. Tak hanya untuk memberi penilaian, tapi juga ingin mengenal Bapak presiden lebih dekat dan mendalam (hlm. 30). Sehingga, aspirasi rakyat pun gampang didengar, sebab Facebook menyiadakan wall (dinding) buat komentar. <br /><br />Tak kalah menarik, Sri Maryanti menulis Dicari: Presiden dan Wapres yang Sensitif Perempuan (hlm. 59). Di tengah makin dekatnya pemilu dan pilpres, Sri gelisah atas nasib perempuan sebagai kaum pemilih yang lebih banyak dibanding laki-laki. Sementara ini, perempuan melulu ditunggangi kepentingan politis, lalu dieksploitasi. Nasib perempuan tak terlalu diperhitungkan. Tak sedikit dari kebijakan elite pemerintah ini ditengarai tidak sensitif berpihak pada perempuan. <br /><br />Beberapa waktu silam presiden SBY memberikan aspresiasi menarik kepada perempuan Indonesia. Perempuan, ia persepsikan memiliki kelebihan-kelebihan khusus, seperti teliti, hemat, dan lebih sukar diajak korupsi. Persepsinya yang demikian itu diperkuat pengalamannya saat berdiskusi dengan tokoh peraih Nobel, Muhammad Yunus. Yunus berhasil mendorong usaha kecil kelompok miskin dengan melibatkan perempuan dalam program tersebut di negaranya. <br /><br />Kendati demikian, pilpres kini sudah di ambang pintu. Beragam cara bagaimana berharap agar pemimpin terpilih kelak lebih baik dari sebelumnya. Berseberangan dari itu, Agnes Rita menulis Apa Iya, Kita Butuh Presiden…? (hlm.114). Rita berspekulasi dan membeberkan fakta kota Medan yang tidak mempunyai kepala daerah, setelah Walikota Abdillah dan Wakil Walikota Ramli Lubis ditahan awal bulan Januari 2008. Apakah kota Medan kemudian mandek? <br /><br />Ternyata tidak. Aktivitas kehidupan masyarakat tetap berlangsung seperti biasa. Pemerintahan daerah masih berlanjut. Media massa pun tak pernah melansir terjadi kekacauan pasca-ketiadaan Walikota dan Wakil Walikota di Medan. Memang, iklim demokrasi saat ini menuntut keleluasaan masyarakat menentukan pilihan sesuai hatinya.<br /><br />Menikmati sekujur detail tulisan yang disaji dalam buku rampai ini, tampak sekali anak muda memiliki kekhasan tersendiri memotret pemimpin Indonesia ke depan. Komentar Fadjroel Rachman untuk buku ini, “Buku ini mirip sihir, hadir dari anak-anak muda yang tak mau kehilangan mimpi. Kalau terbit di zaman Orde Baru, buku ini pasti dilarang beredar.”[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-51777038331630371892009-06-09T00:16:00.003+07:002009-06-09T00:22:28.262+07:00Rute Buntu Peta Pemikiran Islam<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigxyF-ogWU3-nn74RV45juwU9SxiI2wKxjrRoZBpJ5Q32QubzmlAE3GB29mTKx07yglpAYTOfboE__oBnGXWPlqvOuHwL7crwkepWMyZEqzVepvbjBsgAiqcUUeXkhk57RozDy8zmrNTs/s1600-h/scholars1.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 272px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigxyF-ogWU3-nn74RV45juwU9SxiI2wKxjrRoZBpJ5Q32QubzmlAE3GB29mTKx07yglpAYTOfboE__oBnGXWPlqvOuHwL7crwkepWMyZEqzVepvbjBsgAiqcUUeXkhk57RozDy8zmrNTs/s320/scholars1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345007886079928930" /></a><br />Oleh: A Qorib Hidayatullah<br /><br />Mula-mula dari diskusi bertemakan Peta Pemikiran Islam, yang diampu kakanda Fauzi Hasyim di aula HMI Cabang Malang, memantik pertanyaan yang amat mendasar, “Apa betul Islam memiliki peta pemikiran?.” Kendati pertanyaan ini terkesan sederhana, namun bila disikapi ugal-ugalan akan membikin kemasygulan dalam pentas pemikiran Islam. <br /><br />Rupa-rupanya gampang dicurigai bahwa daya tafsir keagamaan tidak berangkat dari kesadaran ilmiah, melainkan kesadaran ideologis. Segala kerja tafsir keagamaan ditengarai dibonceng dan dihadiri kepentingan ideologi. Tak ayal, kemaslahatan yang ditawarkan agama semata representasi dari “kuasa selera” mufassir/pemikir/ulama.<br /><br />Hal ini dapat ditandai dari ikhtiar Dr. Fatima Mernissi yang intim meriset hadis-hadis misoginis (hadis yang berdaya-nyala/berideologi superioritas). Tengok misalnya, di buku garitan Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam (Cet. Pertama 1994, edisi Bahasa Inggrisnya terbit pada 1991). Di bukunya itu, Mernissi bersyak-wasangka bahwa muhaddis —meski sekaliber al-Bukhari pun dalam kitab Shahihnya— memiliki ideologi tertentu (baca: kepentingan) dalam menyampaikan hadis rasul, Muhammad SAW. <br /><br />Diperkuat lagi lewat upaya kawan-kawan di Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), yang digawangi Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, yang intens menyibak muatan ideologi dalam kitab Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zawjayn karya Syeikh Nawawi al-Bantani (Lihat Kembang Setaman Perkawinan, 2005). Bertolak dari kerja riset pejuang perempuan asal Maroko itu dan kawan-kawan dari FK3, makin menggenapi asumsi bahwa tiap pola kerja tafsir agama tak luput dari kepentingan ideologi.<br /> <br />Dengan begitu, hemat saya, tampak sukar bila pengkaji agama melulu disibukkan membikin dan mencari peta pemikiran agama (Islam). Sebab, keemasan agama Islam dilirik beres pada masa silam. Pun pemikiran Islam tak luput dari muatan terselubung ideologi tertentu, sangat sulit mendaras peta pemikiran intelektual/mufassir Islam. Selain juga, seakan tak ada dinamisasi pemikiran Islam sehingga menggiring kepada kebuntuan epistemologi pemikiran Islam. Sementara, umat Islam kontemporer berasyik-masyuk (euforia) atas masa kejayaan pemikiran Islam masa silam. <br /><br />Berbeda dengan umat Barat dalam tradisi pemikirannya yang mapan epistemologi dari tiap undakan preseden paradigma pemikirannnya. Barat memiliki epistemologi pemikiran yang siap saling sahut-menyahut dengan preseden/sejarah bahkan kebutuhan zamannya. Misalnya, dinamisasi epistemologi rasionalisme, empirisme, positivisme, kritisisme, idealisme Jerman/anti-esensialisme, mazhab frankfurt, hingga posmodernisme. Dus, peta pemikiran Islam hanyalah anggitan/anganan semu, mistifikasi. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Generik Studi Agama <br /></span>Kendati demikian, peluang eye catching pemikiran Islam ialah ketika ditilik dari sudut metodologi studi agamanya. Ada buku bunga rampai besutan Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (1996). Dalam bukunya ini, Amin Abdullah hendak menghijrahkan studi agama yang bercorak normatif-doktriner menuju pendekatan studi agama sosio-historis. <br /><br />Dalih keberanjakan studi agama ini ialah absennya telaah yang bersifat sosio-historis seperti yang direlikui tradisi studi agama di masa silam akan berkonsekuensi dalam kecenderungan absolutis dan menjadikan teks-teks keagamaan seolah-olah ahistoris tanpa dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu. <br /><br />Sejatinya, teks-teks keagamaan yang primer (Qur’an dan Sunnah) maupun yang sekunder (teks-teks tafsir, kalam, dan fikih, misalnya)—dalam pandangan para pendukung studi agama dengan pendekatan historis-empiris—tidak pernah lahir tanpa dipengaruhi konteks sosio-historis (asbab al-nuzul dan asbab al-wurud). <br /><br />Jika tak berlebihan, Amin Abdullah di buku itu mengajak kita untuk memosisikan aspek historisitas dan normativitas ajaran agama sebagai dua kesatuan integral yang tak harus dipisahkan satu dari yang lainnya. Ibarat dua sisi mata uang dari sekeping koin, demikian Amin Abdullah membuat tamsil, aspek normatif dan historis ajaran agama—begitu juga dua pendekatan studi agama: normatif dan historis—merupakan dua sisi dari satu koin (baca: agama) yang memang harus bisa dibedakan tapi tidak mungkin bisa, dan memang tidak boleh, diabaikan salah satunya. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Studi Agama sebagai Alternatif<br /></span>Kemajemukan agama dan keanekaragaman pemahaman keagamaan merupakan kenyataan sosio-historis yang tak bisa ditampik oleh siapa pun. Pluralitas agama dan pemahaman keagamaan ini pada akhirnya menjadikan pendekatan studi agama yang melulu mengedepankan pendekatan normatif-teologis-doktriner akan menghadapi beragam kesulitan. Pendekatan historis-kritis, karena itu, harus juga menjadi bagian integral dalam melakukan kajian keagamaan. <br /><br />Perkembangan gesit sains dan teknologi yang dicapai umat manusia dan perkembangan pesat ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan—yang pada akhirnya tentu saja berkonsekuensi juga dalam pergeseran kesadaran manusia dalam memandang fenomena keagamaan--merupakan salah satu penyebab keniscayaan munculnya pendekatan studi agama berwajah ganda tersebut. <br /><br />Sejak akhir abad ke-19 dan paruh kedua abad ke-20, mulai terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama yang semula terbatas sekadar pada aspek-aspek entitas “idealitas”, “doktrin”, dan “esensi”-nya, merambah aspek-aspek lain berupa entitas “historisitas”, “sosiologis”, dan “eksistensi” agama.<br /><br />Turut mengamini dinamika sejarah kemanusiaan tersebut, adalah absah jika dalam perkembangan selanjutnya fenomena agama pun tidak dilihat semata-mata dalam koridor doktrin teologis-normatifnya (sebagai hard core keberagamaan manusia). Tapi juga meluaskannya pada fenomena agama sebagai sebuah tradisi hasil konstruksi manusia (human construction), sebuah living history, dalam suatu rentang sejarah panjang perjalanan umat manusia dalam memahami dan mengamalkan agama. <br /><br />Apalagi, meski ungkapan keagamaan manusia semula merupakan ekspresi yang bersifat batiniah-esoteris, dalam perkembangan selanjutnya secara eksternal potensial juga berubah “melembaga” dan dipengaruhi oleh pranata-pratana sosial-kemasyarakatan. Karena itu, ekspresi keagamaan yang melembaga tersebut tidak bisa tidak juga mengalami proses evolusi yang berjalin-kelindan dengan faktor-faktor ekonomi, sosio-budaya, bahasa, dan seterusnya, yang tak kalah rumit dan kompleksnya dibandingkan dengan hard core keberagamaan.<br /><br />Dengan tetap tak mengabaikan kenyataan bahwa setiap jenis pendekatan agama pada hakikatnya tidak ada yang bersifat exhaustive (mampu menyelesaikan dan memecahkan pelbagai persoalan keagamaan dengan tuntas dan sempurna); maka memadukan kedua pendekatan normatif-doktriner dan historis-kritis tampaknya menunjukkan relevansinya yang penting. <br /><br />Sebab, tatkala agama melulu didekati secara doktriner-normatif, misalnya, maka ekslusivisme keagamaan merupakan wajah dominan yang akan tampil dari fenomena agama. Apalagi, struktur fundamental bangunan pemikiran teologi memang secara umum bersifat: pertama, mengutamakan loyalitas kepada kelompok sendiri; kedua, subjektif dan menunjukkan keterlibatan pribadi (self involvement) yang kuat; serta ketiga, cenderung menggunakan bahasa aktor (actor), bukan pengamat (spectator) yang mampu “mengambil jarak”. <br /><br />Di sisi lain, jika fenomena keagamaan hanya dilirik dengan kacamata historis-empiris, maka tidak menutup kemungkinan agama akan terus-menerus dilihat dan diposisikan sekadar sebagai fenomena sosial yang telah kehilangan nuansa kesakralan, normativitas, dan kesuciannya. <br /><br />Alhasil, bukankah lebih penting memikirkan nasib studi agama dibanding ikhtiar melacak rute/peta pemikiran Islam? Jangan-jangan pemikiran Islam tak memiliki peta alias buntu. Sehingga, jasa studi agamalah yang mampu menangkis serangan kebuntuan peta pemikiran Islam. Wallahu A’lam bi al-Shawab.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-10614359599966670802009-05-14T16:29:00.002+07:002009-05-14T16:52:26.513+07:00Aktivis Kamar yang Kreatif<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeRkW5JfR367emNyH8AQAtCbwlZr5HxA7-lV48jQNbd3f3ToE_MqNL6xZpDD2Go0v4BkFil5Pez3SkY0PjMSCy5sIoQJlKHT5irzYuYci-O-_JpdGlVOfSZSZ3nCBXSrXv4UdGqo1JhUw/s1600-h/image+2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 238px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeRkW5JfR367emNyH8AQAtCbwlZr5HxA7-lV48jQNbd3f3ToE_MqNL6xZpDD2Go0v4BkFil5Pez3SkY0PjMSCy5sIoQJlKHT5irzYuYci-O-_JpdGlVOfSZSZ3nCBXSrXv4UdGqo1JhUw/s320/image+2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5335615202645576002" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Sangatlah sulit mencari manusia kreatif. Tak segampang sekadar pengakuan diri: sayalah yang kreatif. Kreatifitas adalah praktik atau amal yang sangat menyehari. <br /><br />Menjadi manusia kreatif niscaya dibutuhkan dalam hal penyelesaian masalah. Tiap sesuatu bila selesai secara kreatif akan tampak beda dibanding dengan penyelesaian masalah sebelumnya. <br /><br />Mula-mula membaca rubrik Humaniora-Dedaktika, Susah Menjadi Guru Kreatif (Kompas, 20/04), saya tersadar sehabis membacanya. Kreatifitas tak melulu berguna bagi insan pers, artistik, iklan, entertain, dll, yang semua ini tergolong pekerja kreatif. Tapi kreatifitas pula menyelusup di tiap-tiap aras edukasi. Misalnya, agar siswa kreatif, maka itu tak luput dari sejauh mana kreatifitas gurunya. <br /><br />Mencapai derajat kreatif, guru dituntut menanggalkan otoritas linearnya di kelas dalam mendidik siswa. Guru tak lagi bersikap laiknya instruktur kepada murid hingga ia leluasa dan memiliki kuasa memerintah. Jika guru memaksa melakukan tindakan itu, maka jelas akan menumpulkan daya kreatifitas murid/siswa. <br /><br />Jika zaman dulu guru ditempatkan sebagai penceramah tunggal di kelas, kini sudah berbeda. Di kelas guru tak hanya tunggal dalam proses belajar-mengajar. Demi dalih kreatifitas, guru turut mengapresiasi siswa yang aktif-kreatif dalam proses belajar-mengajar. Sehingga, ada masa di mana sumber inspirasi pengetahuan tak selalu hadir dari guru, tapi juga bersumber dari siswanya. <br /> <br />Nyala kreatifitas haruslah dianggit atau diimajinasikan. Imajinasi dan kreatifitas bak uang yang memiliki dua mata sisi. Mata air kreatifitas bisa mengalir bila didekati dengan imajinasi. Kekuatan dasar kreatif tergantung seberapa kuat berimajinasi. <br /><br />Di jagad penelitian pun, imajinasi memiliki andil penting. Menurut pengakuan peneliti Biologi-Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, agar penelitian itu dinamis maka peneliti niscaya berimajinasi. Hal itu, Hera buktikan dalam karya penelitiannya yang berjudul Keanekaragaman Genetik Manusia Nusantara. Pra-riset asal-usul nenek moyang Nusantara berbasis penelusuran DNA itu, Hera mengimajinasikan bagaimana mereka bermigrasi. “Saya membayangkan mereka berjalan dari Afrika, lalu ke Eropa, terus ke Asia Timur, India, dan masuk ke Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang ketika masih bersatu. Setelah itu meraka menyeberang ke Papua dan Australia. Sebagian ke Nusa Tenggara.” <br /><br />Dirasa penting berimajinasi demi tampilnya daya kreatifitas. Sehingga, pekerjaan apapun yang dikerjakan itu seakan butuh sentuhan tangan-tangan kreatif. Tak hanya seorang guru dan peneliti melulu. Tak hanya pengecer jasa iklan, artististik, dan audio-visual saja. Tapi bagi seluruh lini-lini pekerjaan butuh kreatifitas. Di mana, pemantik kreatifitas tersebut bermula muncul dari kamar kerja yang imajinatif. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Imajinasi dan Kamar</span> <br />Kencangnya arus informasi di dunia ketiga membuat siapa saja gampang mengakses apapun. Sekali klik berjibun-jibun data mudah teraup. Hal ini tak dapat ditampik, sebab kelaziman perubahan zaman (perubahan tekhnologi mengubah perubahan sosial) menghantarkan kemajuan manusia. Mc Luhan menuturkan runtuhnya sekat-sekat negara yang disebabkan gencarnya arus informasi. Semuanya mengklimaks menjadi warga global. Lebih rinci Mc Luhan menyebut zaman ini dengan global village. <br /><br />Temuan Mc Luhan itu memicu asumsi bahwa apapun kini bisa dikerjakan dalam kamar. Jika saat Sekolah Dasar (SD), saya sering dipetuahi guru bahwa membaca membuka jendela dunia. Dengan membaca maka kita bakal tahu pengetahuan dunia. Ini mirip amal tesis Mc Luhan. Dunia dapat dipandang dengan sekadar melongok dari jendela dalam kamar. Kita bakal serba tahu seluruh informasi dunia dengan hanya berada dalam kamar. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar imajinatif. Sebuah kamar yang dianggit sebagai peranti dasar mewujudkan nyala kreatif. <br /><br />Kamar imajinatif tak lepas dari pelaku atau penghuni kamar yang imajinatif pula. Dan, penghuni kamar tersebut juga harus memangku perilaku prolifik, yaitu gemar menyimpan dirinya dalam kamar. Ia mau berlarat sepi, tekun di suasana hening, tak getir dirajam kesenyapan. <br /><br />Naguib Mahfouz, pesastra adib Mesir ditengarai gemar mengamalkan lelaku prolifik. Ia kerap menangkis serangan keramaian kerumunan masyarakat sekitarnya. Saat berangkat bekerja ia mesti mampir di sebuah kafe langganannya sekadar menghisap rokok dan menyeruput kopi. Lalu ia tak menyengaja dirinya ngobrol atau ngerumpi dengan orang lain, tapi ia memilih membaca koran. Aktivitas seperti itu telah menyehari dilakukannya. <br /><br />Kendati Mahfouz prolifik ia tak bakal jenuh dengan aktivitasnya yang tampak linear itu. Sebab, ia mampu menafsir kreatifitas dalam kamar kerjanya. Ia menempatkan secara mapan kamar kerja imajinatifnya. Kamar kerja kreatif-imajinatif, lebih tepat Mahfouz menganggap tempat itu laiknya ladang tunggal yang bisa berganti-ganti ditanami tumbuh-tumbuhan. Dan di ruang itulah, pesastra tersohor Mesir itu membesut karya agung literer demi pencerahan masyarakat Mesir. Dengan sastra, Mahfouz hendak mengungkap ketabuan yang meliliti pemafhuman masyarakat Mesir. Hingga pada masanya, karya Mahfouz dilarang beredar. <br /><br />Kendati demikian, manusia kreatif yang lahir dari embrio kamar kerja kreatif tak mudah dilumpuhkan dan dibungkam suaranya. Sebab, ia terbiasa dalam kamar yang didera kesepian berlarat. Kamar sejatinya ruang ibadah mengabdi pada hidup dengan berkarya. Tentunya, kamar yang dimaksud ialah kamar yang disesaki serakan buku-buku, jurnal, majalah, dan kliping koran. <br /><br />Mari jadi aktivis kamar, memulai gerak-gerilya dalam kamar. Mengusung dan melakukan perubahan besar dari kamar. Menyusun strategi pergerakan dalam kamar. Memimpikan idealisme mahasiswa dalam kamar. Al-hasil, kamar pun rupa-rapanya menjadi rekayasa sosial baru. Semoga![A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-58605476626869945862009-05-14T16:20:00.001+07:002009-05-14T16:25:51.116+07:00Buku dan Pergerakan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzpTwMm5auAu2fj-Abl56OS9t-26pQzLR1VxteMGa60ZegGQPEGIZYkdMXqurSarsJWQ2oI_6E6_KiwQE6Nba0_I6HBkEBOuq_D2cm0Sc9C15xOjvp1ouju2USYadNqXQmCtzFH311B2M/s1600-h/image+1.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzpTwMm5auAu2fj-Abl56OS9t-26pQzLR1VxteMGa60ZegGQPEGIZYkdMXqurSarsJWQ2oI_6E6_KiwQE6Nba0_I6HBkEBOuq_D2cm0Sc9C15xOjvp1ouju2USYadNqXQmCtzFH311B2M/s320/image+1.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5335608280033338274" /></a><br />A Qorib Hidayatullah<br /><br />Di pelbagai pagelaran seminar, pembicara andal sederhananya bisa dilirik dari kekayaan referensi dalam penyampaiannya. Tampak argumentasi kukuh yang dipancarkan tiap-tiap pembicara, tak luput seberapa lihai ia menyitir referensi. Dan, keampuhan pembicara meramu apa yang disampaikan hingga ia elegan menjawab pertanyaan penanya, pun tak lepas semesta referensi yang ia baca.<br /><br />Berdaya referensial di pentas ilmiah seakan niscaya. Pertarungan pakar pengetahuan/akademisi demi memenangkan di arena keilmiahan tentu dipersenjatai referensi yang tak sedikit. Referensi dalam hal ini rupa-rupanya ditempatkan laiknya amunisi guna mengukuhkan teori. Dan, teorilah yang nantinya mewujud sebagai dasar pijakan menjalankan hidup di jagad lelaku keilmiahan. Misalnya, melakoni riset, dll. <br /><br />Namun, amal referensial tak melulu digunakan saat kerja ilmiah. Aktivitas yang sangat menyehari sekalipun, bisa menunggangi referensi. Misalnya, menyitir referensi saat obrolan ringan bersama teman ataupun kawan sembari menyeruput kopi di café, dll. Sehingga, obrolan yang tadinya hanya terkesan biasa-biasa saja dengan referensi bisa memiliki kekuatan. Tentu, perilaku sang pengobrol tak serampangan menyitir referensi. Dengan kata lain, ia pas memilah referensi dalam mempertajam obrolannya. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Referensi dan Pergerakan</span><br />Tak sedikit yang alergi dari kawan-teman kita, bila dalam obrolan bersamanya dipijakkan pada referensi. Sebagai mahasiswa –untuk tidak menyebut aktivis mahasiswa— lazim membicarakan centang-perenang bangsa Indonesia pasca reformasi. Dalam presedennya, mahasiswa terbilang idealis saat ditandai dengan kemenangan memakzulkan rezim lalim Soeharto pada 1998. Sehingga, ada istilah khusus untuk menyebutkan hal ini: Gerakan Masif Aktivis 98. Gerakan aktivis 98 jika tidak berlebihan bisa dibilang asketisme idealis yang pernah dimiliki dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab, gerakan tersebut mengusung perubahan agung, reformasi. Mereka –seluruh elemen mahasiswa se-Indonesia— serempak, bersama-sama menyingsingkan lengan baju menangkis dan mengakhiri serangan represifitas Orde Baru. Mereka bergeliat dan bergerak maju membonceng demokratisasi, egalitarianisme, dan humanisme.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-12471937347608546272009-04-13T23:45:00.004+07:002009-04-13T23:49:25.347+07:00Kitab Sastra Selebritas<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1qWganiZVaWcM2XWNJXmykq_g3c6o7eWSA3L4SeFG6YUNVWFabBhVt8Eiplu08I7m7TJKY6DPG3XI-6Sbczhx82nNpYg2UDLWuvyMI7xs4lSTwX0oePOSBECBK3S4mfPS72GZKCQ1B2k/s1600-h/headerjpyo7.gif"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 238px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1qWganiZVaWcM2XWNJXmykq_g3c6o7eWSA3L4SeFG6YUNVWFabBhVt8Eiplu08I7m7TJKY6DPG3XI-6Sbczhx82nNpYg2UDLWuvyMI7xs4lSTwX0oePOSBECBK3S4mfPS72GZKCQ1B2k/s320/headerjpyo7.gif" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5324218311613939074" /></a><br />Oleh: A Qorib Hidayatullah<br /><br />Tatkala kampanye terbuka digelar, sebagian artis-selebritas Indonesia lagi sibuk berkampanye demi mendulang suara pada pemilu legislatif nanti. Kini ditengarai, keranjingan mutakhir artis tanah air pada berduyun-duyun terjun di ranah politik. Untuk menandai hal ini, PAN tak lagi dijuluki Partai Amanat Nasional, tapi Partai Artis Nasional. <br /><br />Mereka seakan tak puas atas ketenaran dirinya selama ini, yang kerapkali tampil di tv maupun di koran-koran. Mereka malah membikin baliho yang berisikan foto dirinya, partai yang ditungganginya, serta misi dan visi politiknya ketika dia kelak terpilih.<br /><br />"Kita adalah bangsa yang tidak pernah selesai," tutur Zack Sorga, sutradara pertunjukan teater bertajuk ‘Blangwir Nyelonong ke Priuk’, di akhir pementasannya, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hari Rabu (2 Desember 1998). Pernyataan Zack Sorga tersebut cocok mengalegorikan ketakselesaian proses pencarian manusia. <br /><br />Geliat selebritas memang gampang ditebak: selalu mengejar kepuasan. Bagai menenggak air laut, dahaga tak pernah bisa dipuaskan. Manusia senantiasa memburu kenikmatan. Sehingga, ada masa di mana artis-selebritas menggemari kawin-cerai. <br /><br />Di awal tulisan ini dibeberkan, bahwa selebritas, kini, pada ngetren bercebur di bursa caleg, namun ada pula selebritas yang lain menekuni titah panggilan literer dengan membesut karya-karya: puisi maupun prosa. Mereka ini adalah selebritas yang juga menulis dan mengarang. <br /><br />Di sela-sela kesibukan permanennya, model artis-selebritas yang terakhir itu meluangkan waktunya menulis buku, terlibat mengorganisir problematika sosial, serta mengikuti acara-acara kemanusiaan. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangunsong, Djenar Maesa Ayu, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Trie Utami, Fira Basuki, dan Neno Warisman.<br /><br />Rieke Dyah Pitaloka misalnya, ia adalah penulis produktif. Ia menulis 2 (dua) antologi puisi: Renungan Kloset (2001) dan Ups!. Renungan Kloset hingga tahun 2005 terjual mendekati 10 ribu eksemplar. Tersebab buku ini, menghantarkan Rieke terpilih mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten di Den Haag, Belanda, Januari 2003. Pada tahun yang sama terbit Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht (April, 2003). Dan juga, tesis master filsafatnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Tela’ah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, oleh Rieke dibesut menjadi sebuah buku dengan judul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (2004).<br /><br />Begitu juga dengan Neno Warisman. Ia membikin buku Izinkan Aku Bertutur (2004). Buku ini berisi kumpulan karangan mirip puisi, yang ditulisnya dalam kurun waktu 2000-2004. Selain itu, Trie Utami, penyanyi kawakan, turut menggubah buku yang bernuansa Budhis, Karmapala, The Silent Love: Nyanyian Hati Trie Utami (2006). <br /><br />Trie Utami terbilang kreatif. Bukunya tersebut bukanlah novel biasa, tapi ditulis berbentuk prosa lirik. Terbagi dalam 10 serat (bab) yang terdiri dari: Enigma (dharma karana), Shakuntala (dharma apurva), Dewa Kupinta (dharma shmara), Tarian Rembulan (dharma buddhaya), Kasmaraniku (dharma sembah), Batas Sekat (dharma rindu), The Silent Love (dharma bisu), Lao Gong (dharma kanthi), Klangenan (dharma vidhya), dan Gong Xi Fa Cai (dharma lakcana). <br /><br />Tamara Garaldine, seorang artis-selebritas papan atas juga turut meramaikan panggung literasi. Pada September 2005, ia meluncurkan antologi cerpen Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkung Kan Sayang? (2005). <br /><br />Seturut sajak Ziarah Batu --kepada para orator oleh Dorothea Rosa Herliany: “Kupilih bahasa batu buat memecah keangkuhan nuranimu.” Mirip dunia politik, dunia literasi, kini, ditengarai sangat menyehari dalam kehidupan artis-selebritas. Bahkan, ada selebritas yang meminta bantuan penulis profesional untuk menuliskan biografinya.<br /><br />Semisal Krisdayanti, Lenny Marlina, Titiek Puspa, dan Heidi Yunus. Buku yang berjudul Seribu Satu KD milik Krisdayanti ditulis oleh redaktur senior Femina, Alberthiena Endah. Buku Si Lenny dari Ciateul tentang Lenny Marlina, ditulis oleh novelis Titie Said. Dan, buku Titiek Puspa, Sebuah Biografi, yang memuat biografi Titiek Puspa, ditulis oleh redaktur senior Kompas, Ninok Leksono. <br /><br />Namun, ada juga artis-selebritas yang telah lama bergumul dengan literasi. Mereka di samping menekuni dunia selebritas, pun pula tidak sonder di jagad literasi. Mereka ini penulis tangguh. Sebut saja misalnya, Dewi Lestari –-yang akrab disapa Dee--, Fira Basuki, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Dee, yang mantan penyanyi Trio RSD (Rita Sita Dewi), didapuk kesuksesan dashyat menulis novel Supernova, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Novel ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu eksemplar dalam waktu kurang dari setahun. Dan, sebagai karya teranyar Dee, Rectoverso (2008).<br /><br />Pada masanya, Supernova banyak meraup pujian. Supernova sempat diganjar nominasi Katulistiwa Literary Award sejajar dengan karya maestro literer, seperti Danarto (Setangkai Melati di Sayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).<br /><br />Begitu juga dengan Fira Basuki. Selebritas asal Surabaya ini, jebolan jurusan Komunikasi dan Jurnalisme dari Pattsburg State University, Kansas, Amerika Serikat, menggubah novel Jendela dan Atap. Lalu, Ayu Utami membesut novel fenomenal, Saman, yang memenangi sayembara novel DKJ, dilanjutkan Larung (2001), yang juga best seller dan banyak dibicarakan orang, dan terakhir Bilangan Fu (2008). Tak ketinggalan juga karya Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Aku Monyet --yang kemudian cerpen ini dibesut menjadi film dengan judul serupa--, Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan dan Melukis Jendela di Majalah Horison. <br /><br />Mereka, artis-selebritas yang gemar menggeluti baca-tulis (karya literer) bukan semata-mata mencari hiburan, seperti sajian entertainment yang lazim ditampilkan ke penonton tanah air. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”<br /><br />Tak melulu selebritas politik saja yang mampu mengusung perubahan. Hakikat dari kitab sastra karya selebritas itu, juga bergelimang daya-nyala perubahan.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-63244685856867434552009-04-13T23:22:00.003+07:002009-04-13T23:36:24.645+07:00Mencegah Anak Ikut Kampanye<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGUQ-APVOE8ScReW9fa6CVgKS9CThH39wdwMxlqqeBwQBWg0_LV0dewLPGvcau2AjFMRFpCr6peuqm6xKi58DNk-_58D-KQNJ8H-SIottaXn2ZsCeWlfxJbPjnKnP7EeEcUItPaW75o18/s1600-h/tata.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGUQ-APVOE8ScReW9fa6CVgKS9CThH39wdwMxlqqeBwQBWg0_LV0dewLPGvcau2AjFMRFpCr6peuqm6xKi58DNk-_58D-KQNJ8H-SIottaXn2ZsCeWlfxJbPjnKnP7EeEcUItPaW75o18/s320/tata.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5324215061399177394" /></a><br />Oleh: A Qorib Hidayatullah*<br /><br />Kampanye terbuka belum lama ini digelar. Masa kampanye menjadi peluang emas bagi partai politik (parpol) guna meraup suara pada pemilu legislatif nanti. Namun, tampak masygul bila kebiasaan kampanye parpol melulu melibatkan anak-anak. <br /><br />Ditengerai parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Para pengurus parpol tersebut mengaku telah berupaya dan mengimbau agar peserta kampanye tidak membawa anak-anak (Kompas, 22/03/09).<br /><br />Kehadiran anak-anak di arena kampanye telah jamak diketahui. Tak ayal, orangtua pun merasa kelimpungan mencegah anak agar tidak ikut kampanye. Para orangtua iba hendak ke mana anak mau dititipkan, sementara dirinya menjadi simpatisan parpol, dan dituntut meramaikan kampanye. <br /><br />Kendati pun, para orangtua diharap untuk tidak mengikutsertakan putra-putri mereka dalam kegiatan kampanye. Anak harus dijamin perlindungannya meski orangtuanya adalah seorang aktivis yang sangat berpengaruh di partai. <br /><br />Dalam kampanye, tak ada yang menjamin tidak terjadi kerusuhan atau kecelakaan lalu lintas saat konvoi digelar. Belum lagi dampak fisik bagi anak seperti terik matahari, asap rokok, atau asap kendaraan yang biasanya mendominasi lingkungan kampanye, yang semua itu berpotensi mengganggu kesehatan anak.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Eksploitasi Anak</span><br /><br />Beragam kisah eksploitasi anak terpendar. Seperti yang dinarasikan dalam A Long Way Gone: Memoar Seorang Tentara Anak-anak (Bentang, 2008). Novel ini menyajikan cerita sedih nan nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone. <br /><br />Sungguh menyayat hati, saat tersiar kabar dalam kampanye pemilu lima tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada lima orang anak meninggal saat mengikuti kampanye. Salah satu korban terjatuh ketika menaiki kendaraan yang digunakan untuk kampanye. <br /><br />Hingga saat ini, kerapkali kampanye digelar selalu dijumpai anak-anak mempergunakan atribut partai politik tertentu. Padahal, pelanggaran kampanye yang melibatkan anak antara lain berbentuk pemakaian atribut partai pada anak, seperti baju atau kaus berlogo partai, ikat kepala partai, hingga permainan yang identik dengan salah satu partai.<br /><br />Beragam cara parpol menggelar hiburan untuk menyemarakkan suasana kampanye, sehingga mengundang keinginan anak-anak untuk datang. Bahkan ada sebagian anak-anak sekolah yang masih menggunakan seragam utuh datang ke lokasi kampanye.<br /><br />Tampak miris, di Madiun Jawa Timur, saat giliran partai Golkar berkampanye yang menampilkan artis lokal berdaya nyala erotis untuk menghibur massa. Padahal, peserta kampanye tersebut tak sedikit dari anak-anak juga turut hadir. Pun pula tak jarang didapati orangtua membawa balita mereka ke lapangan kampanye. <br /><br />Keterlibatan anak dalam kampanye tidak hanya wujud eksploitasi anak, tetapi juga menyalahgunakan kebebasan anak untuk kepentingan politik. Banyak pelanggaran terhadap anak ketika kampanye, mulai dari hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, serta hak perlindungan anak.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Wujud Sanksi</span><br /><br />Mengikutsertakan anak dalam kampanye bukanlah pendidikan politik. Kegiatan tersebut bukan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak-anak. Pendidikan politik tidak harus melalui kampanye. Pendidikan politik bisa diberikan melalui lingkungan keluarga berupa kesempatan berpendapat, pemilihan ketua kelas, atau melibatkan anak untuk berpendapat dalam sebagian konflik ringan dalam keluarga. <br /><br />Malah sebaliknya, penyalahgunaan anak dalam aktivitas politik bisa dijerat sanksi berupa kurungan penjara dan denda sejumlah uang. Melibatkan atau menjadikan anak sebagai bintang tamu iklan kampanye parpol ialah bentuk ekploitasi terhadap anak. Dengan begitu, KPAI membuka posko pengaduan dan pemantauan pelanggaran selama kampanye terbuka berlangsung mulai 16 Maret lalu. Posko pengaduan dan pemantauan dilakukan sebagai upaya melindungi anak. <br /><br />Gerakan KPAI tersebut merupakan wujud advokasi terhadap anak. Hal itu dipayungi Pasal 78 UU No 10/2008, bahwa dalam pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan anak-anak usia di bawah 17 tahun. Hal ini juga diatur dalam UU No 23/2002 Pasal 15 tentang Perlindungan Anak. Di situ disebutkan, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik. <br /><br />Dalam UU No 10/2008 Pasal 84 ayat (2) huruf k menyebutkan larangan mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Yang menarik dalam ketentuan ayat (6) ditetapkan bahwa pelanggaran terhadap hal itu merupakan tindak pidana pemilu. Para pelanggarnya akan diganjar pidana penjara paling singkat 3 bulan, serta paling lama 12 bulan. Bahkan mereka bisa dikenakan denda paling sedikit Rp 30 juta. <br /><br />Demi mencegah anak ikut kampanye dan semata menjalankan amanah UU di atas diharap adanya kerjasama yang baik antara Komnas Perlindungan Anak, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dengan menindak tegas pelanggar kampanye. Misalnya, dengan meminta bantuan Kapolri, untuk menegakkan hukum yang berlaku selama masa kampanye. <br /><br />Selain itu, pentingnya pengertian orangtua niscaya dibutuhkan. Dengan pengertian, ayah dan ibu dapat berganti peran untuk mencegah anak-anaknya turut serta dalam kampanye parpol.<br /><br />Seturut keterangan Ninik Rahayu, --Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan--, tugas menjaga anak tidak melulu dari pihak ibu. Oleh karena itu, orangtua (ayah dan ibu) harus menyadari bahwa membawa anak-anak dalam lapangan kampanye berarti menimbulkan ancaman bagi kenyamanan dan keamanan putra-putri mereka sendiri.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-70874590041262988502009-03-04T23:29:00.001+07:002009-03-04T23:31:18.264+07:00Solilokui Hidup Serampangan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOop5G9RmWvSt5R4qWa2yfK9ewN1HAa1uyO-6zJjhTtYId8KOraocyH7021pjW2IjjP_Tf4kaJ_8L6W9ZOmj28UE7HjJ3xYk4QqwxRmKoydP1cEJG64LZXezsG4cYIVjUtaeiaxOBA_Ww/s1600-h/self_by_NADJIA.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOop5G9RmWvSt5R4qWa2yfK9ewN1HAa1uyO-6zJjhTtYId8KOraocyH7021pjW2IjjP_Tf4kaJ_8L6W9ZOmj28UE7HjJ3xYk4QqwxRmKoydP1cEJG64LZXezsG4cYIVjUtaeiaxOBA_Ww/s320/self_by_NADJIA.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5309370721767249442" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Bukan sebuah kebetulan bila Ponari —dukun cilik asal Jombang— berkat batu ajaib yang ia temukan, konon, mampu mengobati beragam penyakit. Dan konon pula Ponari adalah bocah yang gemar bermain di musim hujan, hingga petir menyambarnya sekaligus mengganjar Ponari dengan batu ajaib. Kini, masyarakat pun dibikin geger berduyun-duyun menyambangi rumah Ponari. <br /><br />Ponari mendadak menjadi sang fenomenal. Media cetak maupun elektronik berebut melansir ketenaran sang dukun cilik itu. Yang menarik dari fenomena Ponarisme adalah ekspektasi masyarakat jamak ditengarai terancam solilokui (amal kesepian hidup yang berlarat) hingga berebut berobat kepada Ponari dengan biaya murah demi kesembuhan penyakitnya. <br /><br />Saat ini masyarakat kita bisa dikata bergaya hidup serampangan. Rasionalitas telah menjadi mitos. Rasio masyarakat terjebak mempercayai bahwa batu ajaib Ponari bila dicelupkan ke air bisa bikin sembuh segala penyakit. Rasio medis lambat laun terkubur dalam-dalam, dan dianggap sudah tak ampuh lagi. Batu ajaib Ponari itulah yang malah oleh masyarakat dianggap ampuh bikin sembuh. Batu ajaib yang benar-benar ajaib. Tanpa diagnosa terhadap pasien, batu ajaib tersebut bisa menyembuhkan beragam penyakit.<br /><br />Kegelisahan masyarakat yang demikian itu bukanlah tanpa muasal. Kendati masyarakat dalam hal penyakit melabuhkan kesembuhannya perantaraan Ponari, itu semata-mata tersebab kualitas pelayanan kesehatan pemerintah yang ditengarai lemah. Sehingga masyarakat pun lebih gesit memilih cara sembuh dengan berobat alternatif. Obat alternatif itulah yang dipilih masyarakat guna menjawab kecarut-marutan pemerintah di bidang kesehatan. <br /><br />Apalagi, tahun-tahun ini Indonesia mengalami goncangan dua bencana dahsyat: pemanasan global dan krisis finansial, selain musim penghujan yang banyak mengirim penyakit/musibah baru bagi masyarakat. Tak ayal, masyarakat merasa komplit didera solilokui yang terus-menerus. Ditambah dengan daerah-daerah-daerah di Indonesia yang memang telah jadi langganan dikirimi banjir. Dari sini, apa benar tesis Sindhunata yang mengatakan, “Apokalipsme Hidup Harian?.”<br /><br />Dalam Apokalipsme Hidup Harian, Romo Sindhu menarasikan keniscayaan kemelaratan dan kesedihan dalam hidup, hingga al-hasil kita hanya menjadi penunggu dari suatu kehancuran. Sehingga manusia kudu belajar kesahajaan dan kesederhanaan hidup untuk menangkis serangan apokalipsme atau solilokui. Dus, di tengah gempuran kuat dan amukan hebat zaman itu, hanyalah puing-puing kebersemangatan yang tak bisa hancur luluh lantak diterpa badai apokalipsme. Ya, hanya semangat yang tak bisa tergantikan. <br /> <br />Bagaimana pun, Ponari adalah fenomena jeda hidup yang patut disyukuri sekaligus ditertawai. Tatkala air telah dicelupkan batu ajaib Ponari, lalu diteliti di salah satu laboratorium Universitas Airlangga Surabaya, terbukti air tersebut mengandung kristal, berbeda dengan sample air biasa. Bukankah ini kemukjizatan?[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-77699790961402347032009-03-04T22:59:00.005+07:002009-03-04T23:28:11.874+07:00Baudrillard dan Iklan Politik<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2xZFXvljeGJRueZSdTWfz2TcE_45PB0SkBuZBPMVsA30EO-xjfsBLyshSUDPuN_uZcHFgSKNhvKpsoMT9JW2RerVXSUTCMQsO2mKXiNfiBFymK6hZgiy5q7VaMsv0fj_iMXPDFPOPfL0/s1600-h/iklanpolitik.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 251px; height: 227px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2xZFXvljeGJRueZSdTWfz2TcE_45PB0SkBuZBPMVsA30EO-xjfsBLyshSUDPuN_uZcHFgSKNhvKpsoMT9JW2RerVXSUTCMQsO2mKXiNfiBFymK6hZgiy5q7VaMsv0fj_iMXPDFPOPfL0/s320/iklanpolitik.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5309367487696124770" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Pengamat politik dan komunikasi yang lagi giat-giatnya beradu analisis di ambang pelaksanaan pemilihan legislatif maupun pilpres 2009 ini, patut tak melupakan kekuatan yang bermuasal dari iklan politik media. <br /><br />Kendati tampak baru, iklan politik menjadi peranti melambungkan pengaruh popularitas yang tergolong praktis. Di tengah-tengah ditengarainya masyarakat melek media, di mana Mc Luhan menesiskan global village (desa global,--sebuah hamparan ruang masyarakat yang gampang dimasuki segala informasi) sebagai penggambaran keadaan itu. Sehingga, “desa” kami kini sudah tak ada sekat lagi. Yang ada hanya berhamburannya teks-teks kepentingan yang ditunggangi penguasa. Bahkan, bisa-bisa teks tersebut senantiasa represif hingga menekan kami. Ya, kami hanya bisa bergumam saja, bukan?.<br /><br />Kendati media di sisi lain telah berjasa besar bagi kemajuan suatu bangsa, media pun tak luput dari dosa yang niscaya diembannya. Misalnya, dalam buku Menembus Fakta (2009) besutan Panda Nababan telah gamblang membeberkan serentetan dosa-dosa media, termasuk dosa para elite redaksi. Media, pada titik itu tak lagi tunggal menjadi penyampai informasi melulu, tapi pula intervensi kebijakan urgen penguasa yang mempertaruhkan nasib rakyat.<br /><br />Media dan Iklan Politik<br />Sebagai langgam baru di jagad perpolitikan, iklan yang kemudian mewujud “iklan politik” kali ini telah gesit merangkak sebagai industri. Kalau boleh disebut hal ini bisa jadi varian baru dari industri media. Kronik yang melansir iklan politik media sangat gampang sekali kita temukan. Bahkan di tiap jeda beberapa detik saja, sajian iklan politik sudah menjejali mata kita lagi. Sungguh tak salah bila iklan politik ditabalkan sebagai industri media. <br /><br />Begitulah permainan manusia modern dalam merayakan proyek modernisme absurd. Sehingga filsuf Jean Baudrillard menganggitkan adanya Galaksi Simulakra (2001). Realitas patut dicurigai. Kebenaran layak ditertawakan. Karena semuanya, lagi-lagi kata Jean Baudrillard, ialah simulasi palsu. Sehingga hamburan realitas palsu itu patut dicurigai dan ditertawakan. <br /><br />Kaitannya dengan iklan politik yang diecer oleh para kandidat yang asyik-masyuk bertanding dipemilihan legislatif maupun presiden 2009 ialah kepatutan selektif rakyat mengenyam iklan janji-janji yang digulirkan. Beragam iklan janji politik yang ditampilkan, mulai dari harga sembako murah hingga biaya pendidikan gratis. Sangat menggirkan bukan?<br /><br />Sehingga, kontestasi politik kali ini adalah mempertaruhkan seberapa kreatif-cerdik para kandidat —yang menggunakan jasa iklan politik sebagai alat pengaruh— guna mempermainkan opini publik. Dan rakyat pun sebagai komunitas pemilih dituntut cerdas memilih para kandidat yang akan mengusung suara kerakyatan dipentas legislatif dan eksekuti nantinya. <br /><br />Sejatinya, iklan politik tak lepas dari peran ganda media sebagai penyalur informasi dan independensi. Media diharap mampu menetralisir permainan iklan politik yang bisa berpotensi membodohkan rakyat. Rakyat di sini sudah saatnya tak mudah memilih pemimpin (legislative maupun eksekutif) secara serampangan. Rakyat kudu tak gampang terbuai janji-janji kosong pera kandidat yang menunggagi iklan politik. Sehingga, petuah Jean Baudrillad adalah bagaimana rakyat bisa keluar dari kesadaran palsunya yang tersimulasi oleh iklan politik.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-62069484529192684982009-02-25T00:07:00.003+07:002009-02-25T00:42:19.095+07:00Kesunyian Seabad Pers<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA2BkfRZ5L15t74mdBYP_OASz4YFFTTrzVbFAoRrBA00pYzNUa0DlAVejgGyZZr0uQIl-SF22uobci0sxc2wIPMab8uk-D1xxcId5MRHdiOhS1N8LMZa1U9ksYAXpcAx7LXB1pYywkr5Y/s1600-h/buku-pers-bebas-dilibas.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA2BkfRZ5L15t74mdBYP_OASz4YFFTTrzVbFAoRrBA00pYzNUa0DlAVejgGyZZr0uQIl-SF22uobci0sxc2wIPMab8uk-D1xxcId5MRHdiOhS1N8LMZa1U9ksYAXpcAx7LXB1pYywkr5Y/s320/buku-pers-bebas-dilibas.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5306418799171498930" /></a><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Awas! Kaoem Journalist!<br /><br />Jadi Journalist zaman sekarang, <br />Berani dihukum dan di buang.<br />Karena dia yang mesti mendang, <br />Semua barang yang malangmalang.<br /><br />Journalist harus berani mati,<br />Bekerja berat membanting diri.<br />Sebab dia hendak melindungi,<br />Guna mencari anak sendiri. <br /><br />Journalist harus bisa berdiri,<br />Sendiri juga yang keras hati.<br />Dan tidak boleh main komedi <br />Guna mencari enak sendiri.<br /><br />Koran itu tooneel umpamanya,<br />Tuan membaca yang menontonnya, <br />Journalisnya jadi pemainnya,<br />Hoofdredacteur jadi kepalanya. <br /><br />[Marco Kartodikromo, Sinar Hindia, 14 Agustus 1918]<br /><br />Melongok tangga sejarah pers nasional, yang sejatinya jatuh pada tanggal 9 Februari masih menyisakan silang sengkarut ihwal kapan sebenarnya hari pers nasional itu diperingati. <br /><br />Lambat laun tapi pasti, jamak para periset Seabab Pers Kebangsaan (1907-2007), yang dikomandani Muhidin M. Dahlan, lihai menyeruak hingga ke akar genealogi rekam jejak perjalanan pers dalam rentang seratus tahun yang panjang itu. Mereka —para periset pers— beriktikad gigih menemukan kembali sejarah kritis jagad pers di tengah-tengah industri pers yang ditengarai kerap ditunggangi penguasa. Ikhtiar penelitian itu mengingatkan kita pada karya agung Gabriel Marquis, One Hundred of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Ya, jika tak berlebihan bisa diplesetkan Kesunyian Seabad Pers, bukan?<br /><br />Narasi kesunyian seabad pers itu oleh para jema’ah periset ditulis dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2009. Sang komandan, Muhidin M. Dahlan, menulis artikel yang sangat provokatif terkait keabsahan sejarah memperingati kapan sejatinya hari pers diperingati. Lewat judul tulisan Revolusi Yang Lahir dari Cetak, sekaligus menjadi tulisan pengantar, Gus Muh —panggilan akrab Muhidin M. Dahlan— berlelaku skeptis atas siapa tokoh pers yang all out berjuang di jagad pers. Hingga pada akhirnya, Gus Muh menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai sosok yang telah memberikan semua hidupnya guna meneguhkan fungsi pers sebagai pengawal pendapat umum yang membikin suara masyarakat tuna-daya menjadi berarti di hadapan kekuasaan. Dan Gus Muh memberi kesaksian bahwa sosok Tirto Adhi Soerjo mangkat dengan tragis nan sunyi pasca papas habis-habisan oleh kolonial lewat operasi arsivaris yang sistemik pada 7 Desember 1918. <br /><br />Al-hasil, Gus Muh pun memanggil memorinya agar mengenang dan memberi hormat atas amal sosok Tirto Adhi. “Tak berlebihan bila kita mempertimbangkan untuk menjadikan hari mangkatnya Tirto Adhi, 7 Desember, sebagai Hari Pers Indonesia” ujar Gus Muh. Tapi ya menurut saya, terserah pemirsa juga, bukan?[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-60684219383802049572009-02-01T14:41:00.003+07:002009-02-01T14:50:43.919+07:00Rute Pejalan Jauh (Bagian II)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBJZ-EcHAm2zvS2CV3NWiG0Jd4uu66Lr0jtwv_NUXqbtnxQhhyphenhyphenh5DmRiVDPusgV7Mxp_40lZxuaY_lRsoxPgGG7rL1GFNTgb3KBWntVCHvVBEedRWLBaauTesq3iYIoc2XeLp0_o3Et-U/s1600-h/images+5.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 111px; height: 123px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBJZ-EcHAm2zvS2CV3NWiG0Jd4uu66Lr0jtwv_NUXqbtnxQhhyphenhyphenh5DmRiVDPusgV7Mxp_40lZxuaY_lRsoxPgGG7rL1GFNTgb3KBWntVCHvVBEedRWLBaauTesq3iYIoc2XeLp0_o3Et-U/s320/images+5.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5297732863998133122" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup </span><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Seakan menjadi ketakutan memoria passionis manusia dalam mengimajinasikan terma ‘jalan’. ‘Jalan’ pada era kolonialisme menjadi hantu yang amat mengerikan. Mengapa tidak? Era itu adalah masa kekejaman Daendles, era kolonial sistem kerja paksa (cultuur stelsel) pihak penjajah terhadap masyarakat Jawa (baca buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendles, 2005 ). <br /><br />Dalam masa pembangunan fisik (berupa jalan Daendles atau lebih keren disebut jalan dengan rute Anyer hingga Penarukan) di wilayah Jawa tersebut, Tuan Daendles memasang rute ampuh, wilayah mana saja yang akan dijadikan rute pembangunan jalan itu. <br /><br />Masa pembangunan jalan yang amat panjang itu telah memakan korban sekitar 12.000 orang. Sehingga, masyarakat pada masa itu (5 Januari 1808) benar-benar takut mengingat terma ‘jalan’. ‘Jalan’ telah menjelma hantu yang mengerikan. Tak ada satu pun masyarakat yang mau menjadi korban pembuatan rute jalan. Bukankah dalam preseden tersebut telah menjadikan manusia anti akan rute jalan? Manusia pada masa Daendles dituntut untuk berspekulasi agar terselamatkan dari korban kekejian Tuan Daendles. <br /><br />Berbicara tentang ‘jalan’ hakikatnya tergantung pada pemafhuman manusia. ‘Jalan’ itu bak takdir. Di mana manusia tidak secara utuh mengetahui akan takdir itu. Jadi selain takdir, rahasia Tuhan yang ke nomor sekian adalah ‘jalan’. ‘Jalan’ pun kini mewujud menjadi rahasia Tuhan. ‘Jalan’ manusia bisa saja mapan bahkan bisa jadi ambruk sekali pun. Tergantung pada spekulasi manusia menapaki jalan hidupnya. ‘Jalan’ itu butuh perjuangan. Laiknya pembikinan jalan Daendles membutuhkan daya juang tinggi masyarakat Jawa.<br /><br />Ketika jalan sudah butuh akan perjuangan, maka rute jalan ternafikan dengan sendirinya. Sebab rute jalan hanya pantulan dari rute jalan hidup orang lain, dan belum tentu rute jalan hidup orang itu benar. Kalau pun kita memaksa diri untuk membonceng semangat menggunakan rute jalan maka hakikatnya kita telah dipermainkan oleh mekanisme kuasa penentu rute jalan tersebut.<br /><br />Rute jalan hidup sangat beda dengan rute jalan Daendles. Rute jalan hidup itu menuntut keberanian berspekulasi, sedang rute jalan Daendles kudu sesuai dengan mekanika kuasa Tuan Daendles. Dan ironisnya, bila tidak seritme dengan permainan kuasa Tuan Daendles, maka taruhannya adalah nyawa. Sementara jalan hidup yang memiliki semangat spekulatif nan progresif itu hanya membutuhkan kendaraan keberanian. Bermodal berani tapaki jalan hidup spekulatif, sedikit berdaya nyala serampangan, maka pejalan jauh itu tetap berada di arus kreatifitas jalan hidup tanpa ada sekat-sekat rute, melainkan kebebasan dan kebenaran yang bernas. Jangan bingung ihwal kesesatan, wahai pejalan jauh. <br />Bukan begitu Tuan Daendles? He he he[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-85971587149203783502009-02-01T14:21:00.000+07:002009-02-01T14:33:17.576+07:00Rute Pejalan Jauh (Bagian I)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWRKGsuw4n098Rdxf75xgRw0llbnKa4ECllaedaDUu_A-J212zOXANjDlrLtSB095QQqf6phjsKsun39IMMLc4M8Q1qGn7M60vSW7rTB6oPxlQfa-j6g-kLJ1gtlF0vFd05EXYarXV6oY/s1600-h/isnainiblogtemplate4301ac9.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 186px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWRKGsuw4n098Rdxf75xgRw0llbnKa4ECllaedaDUu_A-J212zOXANjDlrLtSB095QQqf6phjsKsun39IMMLc4M8Q1qGn7M60vSW7rTB6oPxlQfa-j6g-kLJ1gtlF0vFd05EXYarXV6oY/s200/isnainiblogtemplate4301ac9.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5297728605172856306" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup </span><br />Oleh A Qorib Hidayatullah<br /><br />Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang, tiap kali memberanjakkan diri dari hamparan menuju ke hamparan yang lain, membutuhkan acuan rute jalan supaya tak sesat. Lazimnya manusia kebingungan, berbekal acuan rute jalan mampu memandu agar manusia itu tetap berada di jalur linear sesuai hendak ke mana ia pergi. Tanpa rute jalan, manusia acap dibikin kelimpungan, sebab kesesatan sudah tampak di pelupuk mata. Rute jalan pada titik ini seolah Tuhan kecil yang senantiasa dijadikan rujukan manusia untuk berlabuh. <br /><br />Namun, terkesan miris tatkala manusia melulu menggantungkan dirinya pada jasa rute jalan. Ke mana pun ia mau pergi, sementara rute jalannya tidak ada, maka orang itu akan pasti mengurungkan kepergiannya. Menurut saya, rute jalan semacam tafsir mikro yang sangat praktis. Rute jalan tak ubahnya dalam kunjungan seorang ekspatriat yang terdesak membutuhkan seorang tour guide untuk dijadikan teman pendamping selama dia berkunjung pada sebuah tempat. <br /><br />Sedangkan pada tafsir makro dari ketergantungan pada rute jalan ialah tersebab manusia tak tahu arah hendak ke mana ia mau pergi. Namun, kehidupan yang serba tak linear ini, manusia oleh Tuhan dibekali agar meniscayakan ijtihad kreatif dalam menentukan arah pijak melabuhkan kehidupan. Kedua dari tafsir mikro dan makro atas rute jalan tersebut, semua itu memusat pada satu landasan yang mendesak agar manusia selalu berspekulasi dalam hidupnya. <br /><br />Tuntutan manusia spekulatif dikarenakan hidup ini amat kelam. Kekelaman hidup menggiring pada aras ketakjelasan kompas hidup. Robert Holden dalam Timeless Wisdom for Manic Society mempetuahi kehidupan dengan alegori demikian, “Ada masa jeda manusia secara terus-menurus dirundung kebuntuan. Bergerak ke depan tampak buntu, mundur ke balakang buntu, menengok ke arah kanan dan kiri dari kehidupan pun buntu semuanya. Tapi lanjut Holden, manusia dalam suasana yand demikian itu tak ada ruang mengeluh dengan berkata: Aku Menyerah.”<br /><br />Bertolak dari tausiah Robert Holden di atas kita diharap mampu menjadi hamba manusia yang selalu spekulatif. Berspekulasi dalam hidup manjadikan manusia berinsan progresif. Insan progresif adalah manusia dalam tiap sejengkal hidupnya dimaknai dengan jihad dalam pangkuan kebebasan serta kebenaran. Tersebab spekulasi adalah niscaya menghadapi kebuntuan hidup, maka rute jalan malah sebaliknya, ia tak mampu menjadi acuan menelusuri lorong kehidupan yang justru kerap buntu.[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-85185815628195870142009-01-23T19:59:00.000+07:002009-01-23T20:13:52.775+07:00Melawan Lupa dengan Sastra<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoCUC0WodQ2FECE3Z0fla4c13TsPTopufh0pDtPH7U3bYaIzMSnW3BHtWn7NDBHJ9EI0LGAC4QHDc7tuYYR3EDQMqi2wm8nza-ekgHk6VWzl5zGOJTRMkXyeR3zVFhbBn4JdUCk8MPrZY/s1600-h/untitled.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoCUC0WodQ2FECE3Z0fla4c13TsPTopufh0pDtPH7U3bYaIzMSnW3BHtWn7NDBHJ9EI0LGAC4QHDc7tuYYR3EDQMqi2wm8nza-ekgHk6VWzl5zGOJTRMkXyeR3zVFhbBn4JdUCk8MPrZY/s320/untitled.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5294476642214814610" /></a><br /><br />Oleh DAMANHURI, penulis tamu asal Lampung, kawan lama di Malang <br /><br /><em>Di pangkuan sastrawan yang bertekad menjadi perawat ingatan, merayakan memoria passionis, sastra selalu didayagunakan mengundang manusia agar selalu tergerak segenap jiwa-raganya dalam menyangkal proses pelupaan, merawat ingatan, dan akhirnya: Merayakan pemaafan.</em><br /><br />"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa." Itu kata Milan Kundera dalam novel Kitab Lupa dan Gelak-Tawa (Bentang, 2000: 4).<br />Sebuah karya unik yang dengan ringan tapi penuh pukau mampu mengetalasekan penjelajahan fantasi tokoh-tokohnya, lelucon kelam satire politik sebuah negeri yang masai oleh sengketa ideologi politik, juga jalinan cerita erotis tokoh-tokoh hedonis rekaannya.<br /><br />"Langkah pertama untuk memusnahkan sebuah bangsa adalah menghapuskan memorinya," begitu kata salah seorang tokoh novel pengarang Cheska itu. "Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya, dan sejarahnya." Setelah itu, "suruh seseorang menulis buku-buku baru, membuat kebudayaan baru, dan menemukan sejarah baru." (2000: 262--263)<br />Dengan mengamini apa yang "dikhotbahkan" Kundera itu, buku--juga buku-buku sastra, tentunya--barangkali memang layak diandaikan sebagai pisau bermata dua. Di tangan para durjana pemuja kuasa, ia merupakan sarana merampas ingatan, "memperpendek"-nya, dan memaksa manusia mengidap amnesia: Lupa akan masa lalu-masa kini-masa depan sejarah hidupnya.<br /><br />Tapi bagi para pencinta kemanusiaan, buku justru tidak ubahnya wadah tempat kemuliaan dan keindahan hidup yang dicita-citakan memperoleh suakanya. Sebuah dunia di mana penderitaan masa lalu dan masa kini dipahatkan. Bukan untuk titik tolak bagi rangkaian agenda balas dendam, tentu. Tapi agar segala kekejian yang menginjak-injak harkat kemanusiaan tidak terulang di masa depan.<br /><br />Begitulah. Lewat karya sastra, sejarah penderitaan serta segala tragedi kemanusiaan, misalnya, bisa saja dibelokkan atau sebaliknya: Diabadikan. Karena melalui karya sastra yang bersimpuh di bawah telapak kaki kekuasaan, "politik ingatan" (politics of memory) selalu diarahkan pada usaha merampatpapankan ingatan kolektif agar bergandengan tangan dengan, dan memuaskan "selera", kekuasaan. Sedangkan melalui karya sastra yang berangkat dari ikhtiar untuk merawat ingatan, "politik ingatan" senantiasa diarahkan untuk melawan proses penyeragaman dan pelupaan itu.<br /><br />Dengan kata lain, di pangkuan sastrawan yang bertekad menjadi perawat ingatan, merayakan memoria passionis atau ingatan akan penderitaan, sastra selalu didayagunakan untuk mengundang manusia agar selalu tergerak segenap jiwa-raganya dalam menyangkal proses pelupaan, merawat ingatan, dan akhirnya: Merayakan pemaafan.<br /><br /><strong>Luka, Lupa, Sastra</strong><br />Gaung dari beberapa pasase novel karya pengarang Cheska yang pernah disebut Carlos Fuentes sebagai salah seorang penerus Gogol dan Kafka di zaman modern itu saya kira juga akan segera menyergap kesadaran para pembaca saat menyusuri helai demi helai halaman novel Khaled Hosseini: The Kite Runner (KR, Qanita, 2005) dan A Thousand Splendid Suns (TSS, Qanita, 2007). Sebab, kendati banyak berselisih haluan dalam strategi literer maupun cakupan tema, toh apa yang ditorehkan Hosseini pun bermuara pada ikhtiar merawat ingatan.<br /><br />Baik dalam KR, yang terjual lebih dari delapan juta kopi, maupun TSS, yang juga jadi best seller dan menyita perbincangkan para kritikus sastra mancanegara; rumbai kisah yang dirajut Hosseini memang sama-sama berkelindan dalam pusaran tema luka dan trauma yang mendera manusia di tengah karutnya kondisi sosio-politik bangsa Afghanistan akibat buasnya perang.<br /><br />Ya, luka, lupa, dan sastra, tampaknya merupakan tiga kata yang tak bisa diceraikan dari kehidupan Khaled Hosseini. Di tangan novelis cum dokter kelahiran Afghanistan yang didapuk dalam deretan seratus tokoh pilihan majalah Time edisi Mei lalu itu, karya sastra memang dengan sengaja disulap jadi jendela bagi dunia untuk melihat luka yang diderita bangsanya sekaligus siasat yang ditempuhnya guna melawan lupa.<br />Dengan sejarah pertikaian dan konflik politik yang merentang panjang dari masa kolonial Inggris, monarki Zahir Shah, kudeta Mohammad Daud, bercokolnya rezim komunis, pendudukan Soviet yang berhasil dipaksa hengkang tahun 1989, perang sipil, hingga bercokolnya rezim Taliban, Afganistan memang "tanah subur" bagi puspa ragam penderitaan. Novel KR dan TSS karya Hosseini bisa dianggap sebagai testimoninya atas kondisi itu.<br /><br />Dengan latar sebuah negeri di mana orang seakan butuh visa saat bertandang ke perumahan tetangga, dalam KR, Khosseini membidikkan fokus novelnya pada kisah hubungan seorang ayah dengan anaknya, di samping kisah persahabatan sang anak (Amir) dengan karibnya (Hassan).<br /><br />Persahabatan yang suatu ketika harus retak oleh pengkhianatan Amir atas Hassan yang membiarkannya dirudapaksa preman Kabul. Pengkhianatan yang selanjutnya tumbuh akut jadi rasa bersalah yang mencapai klimaks saat Amir akhirnya tahu bahwa sang sahabat ternyata saudara kandungnya buah perselingkuhan sang ayah.<br /><br />Tidak begitu beda dengan KR, titik kisar rajutan kisah TSS pun masih belum beranjak dari paras kusam orang-orang Afghanistan yang seolah tidak putus diserimpung nasib malang. Masih berkutat pada impak buruk yang lahir dari rahim peperangan, untaian kisah TSS hanya beralih fokus ihwal hubungan seorang ibu (Nana) dengan anak perempuannya (Mariam), di samping kisah permusuhan yang berujung jadi persahabatan antara Mariam dan Laila yang tak lain adalah madunya.<br /><br />Malapetaka yang menimpa Mariam sebenarnya hal lazim di negeri dengan tingkat buta huruf mencapai 80 persen itu. Namun, pentungan kemalangan yang selalu gagal dielakkannya itu memang begitu kompleks: Terlahir sebagai harami ("anak haram"), ditinggal sang ibu yang mati gantung diri, berparas jauh dari kata rupawan, dikelilingi sejumlah ibu tiri yang menampik kehadirannya, dan puncaknya dipaksa kawin dengan lelaki telengas yang pantas jadi kakeknya, tapi memandang poligami sebagai puncak kemuliaan hidup tiap lelaki sejati.<br /><br />Dan, ujung segala kemalangan itu dipungkasinya di tiang gantungan rezim Taliban yang acap gagal membedakan kezaliman dari kebajikan. Syahdan, karena tidak kuasa lagi menanggung siksa membabi buta dari sang suami yang kerap gelap mata, lewat persekongkolan apik dengan madunya (Laila), Mariam akhirnya memaksa sang suami sontoloyo yang menatap perempuan tanpa burkak seolah pengidap kusta itu meregang nyawa.<br /><br />Mengarungi hidup sepeninggal ibunya, hari-hari Mariam memang seolah tudak pernah lengang dari kepungan cerita kepedihan. Suasana perang yang bertali-temali dengan kultur patriarkat pada akhirnya tidak menyisakan apa pun baginya selain kian pekatnya wajah murung kehidupan yang harus dijalani.<br />"Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara," begitu mendiang ibunya kerap berkata, "Telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menunjuk perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam." Pada saat yang lain, perempuan yang diusir sang majikan yang memberinya "benih" Mariam itu juga menujumkan: "Hati pria sangatlah terkutuk, Mariam. Berbeda dengan rahim ibu. Rahim tak akan berdarah atau melar karena harus menampungmu." (2007: 20, 44)<br /><br /><strong>Stereotipe?</strong><br />Pada suatu ketika, membaca novel barangkali tidak lebih dari suatu klangenan biasa layaknya aktivitas "ongkang-ongkang kaki" kaum amtenar atau bahkan serupa "sport mewah" orang-orang borjuis. Terkesan agak berlebihan jika berharap bersua hikmah (atau apa pun namanya) dalam pagina-pagina karya yang dibaca--khususnya saat bertemu dengan karya para pengarang yang konon tidak mengusung pretensi apa pun selain sekadar mewujudkan etos "kepengrajian" (craftsmanship) belaka.<br /><br />Namun, cara pandang seperti itu mungkin tak akan banyak menggemakan makna saat membaca kedua novel Khaled Hosseini. Sebab, keterbukaan pembaca pada kemungkinan sastra menjelma jadi karya yang merayakan memoria passionis justru jadi sebuah imperatif yang tak bisa ditampik. Sastra yang membentangkan misi mulianya untuk menyangkal amnesia, luka, dan memulihkan trauma.<br /><br />Dengan begitu, di tengah banjirnya karya sastra terjemahan, KR dan TSS akan menunjukkan posisinya yang cukup istimewa. Meskipun, sebagaimana kebanyakan karya sastra (tentang, dari) dunia ketiga yang juga tengah menyesaki pasar perbukuan kita, kedua novel Hosseini pun gagal meloloskan diri dari kerumunan stereotipe. Setidaknya jika menoleh pada begitu pekatnya ajektif negatif yang melekat dalam pelbagai karakternya. Atau kesan seakan tidak ada hal lain bagi beragam latar yang membingkainya selain warna buram: Lanskap negeri yang terus-menerus disulut kecamuk perang, kemiskinan, kebodohan, despotisme, patriarkat, dan seterusnya.<br />Alhasil, para pembaca pun boleh jadi bertanya-tanya: Apakah cuma keterbelakangan yang dibalut segala wasangka itu yang layak diangkat karya sastra negara-negara ketiga? Apakah hanya karya sastra yang mendedahkan "eksotisme" seperti itu yang diandaikan mampu memuaskan kuriositas literer pembaca Barat sekaligus bisa "memahamkan" mereka akan liyan-nya?[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1009294533582344733.post-23932170406302466412009-01-05T21:29:00.000+07:002009-01-05T21:44:46.363+07:00Ijtihad Gender dalam Keluarga Muslim<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEij613JDEJ8baCbVG9mz6YKWjpJPaDGn_ckRP5DqzFurz_b9K_mHfoy3PtxdAu-MiQ2A1p1kjXp4TPIg5szsHBL-hCDb9ZYLeam-mw-yZx8BfoLF2dwrczg0CvC732NZce-oklCOtR8aEM/s1600-h/cover+psikologi+keluarga.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 218px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEij613JDEJ8baCbVG9mz6YKWjpJPaDGn_ckRP5DqzFurz_b9K_mHfoy3PtxdAu-MiQ2A1p1kjXp4TPIg5szsHBL-hCDb9ZYLeam-mw-yZx8BfoLF2dwrczg0CvC732NZce-oklCOtR8aEM/s320/cover+psikologi+keluarga.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5287817214904892978" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Oleh A Qorib Hidayatullah</span><br /><br />Tak banyak buku-buku yang menela’ah berkelindannya gender dalam tatanan kehidupan keluarga Muslim. Di tengah tempaan prahara keluarga, misalnya maraknya perceraian, poligami/poligini, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kasus trafficking dll, kajian gender kini lambat laun memiliki ruang keterlibatan guna mendesain terciptanya keluarga sakinah. Sehingga, konseling keluarga berwawasan gender bagi keluarga Muslim menjadi kebutuhan yang niscaya.<br /><br />Dalam kasus poligami misalnya, yang memiliki sejarah sangat panjang dalam kehidupan manusia. Praktik ini sudah ada jauh sebelum Islam datang. Bahkan pada masa sebelum Islam datang, yang lazim disebut masa jahiliyah, bukan hanya laki-laki boleh mengawini perempuan tanpa batas, melainkan juga menjadi simbol status sosial. Semakin banyak istri, maka status sosialnya makin tinggi dan tambah terhormat pula. <br /><br />Namun saat ini, poligami justru menjadi lambang kerakusan, pengkhianatan, tidak bertanggung jawab, dan sebagainya. Perasaan ketidakadilan ini penting untuk direspons Islam, karena keadilan Islam adalah untuk manusia, bukan untuk Islam itu sendiri. Islam datang bukan menghapus secara radikal praktik poligami, tapi membatasi maksimal empat orang. Semangat yang diusung Islam ialah spirit keadilan terhadap perempuan. <br /><br />Buku ini menawarkan empat pilar guna tercipta perkawinan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Pertama, suami istri dicanangkan sama-sama memiliki akses dalam kehidupan rumah tangga. Kedua, memperoleh peran-peran yang seimbang dalam rumah tangga. Ketiga, menerima wewenang dan tanggung jawab yang sama termasuk dalam pengambilan keputusan. Dan yang keempat, sama-sama mendapatkan manfaat dalam kehidupan keluarga (hlm 238). <br /><br />Menyikapi perihal praktik poligami, penulis buku ini cenderung menolak. Dalam terang pemikirannya, perkawinan poligami terasa sulit mewujudkan kesetaraan gender karena kondisi awal membangun rumah tangga posisi suami istri tidak sama. Sehingga berekses pada pembagian peran dan tanggung jawab khususnya dalam pengambilan keputusan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kesakinahan Keluarga </span><br />Disadari maupun tidak, berjuta-juta keluarga mengalami frustasi, kesepian, dan konflik. Di zaman yang serba maju ini, tak dapat ditampik telah banyak memberi pengaruh pada tatanan kehidupan manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif. Sehingga dalam kehidupan keluarga banyak mengalami perubahan dan berada jauh dari nilai-nilai keluarga yang sesungguhnya. Untuk itu diperlukan adanya perhatian dan solusi yang tepat dalam menghindari disharmoni keluarga. <br /> <br />Pembagian peran gender pada dasarnya tidak bermasalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Kentalnya budaya patriarkhi dan matriarkhi dalam sebuah keluarga (masyarakat) menjadi pandangan bias gender yang menyebabkan ketidakadilan baik bagi perempuan maupun laki-laki.<br /><br />Budaya partiarkal (budaya yang mengutamakan laki-laki lebih dibanding perempuan) dan matriakal (budaya yang mengunggulkan perempuan dari pada laki-laki), kini telah tidak relevan lagi di tengah semangat zaman yang asyik membonceng egaliterianisme dan demokrasi. Dalam kehidupan masyarakat urban, tidak lagi tertanam ajaran bahwa perempuan melulu bekerja di ranah domestik, sedangkan laki-laki bebas berkarir di ranah publik.<br /><br />Kesakinahan keluarga kini menjadi impian bersama di setiap tatanan keluarga Muslim. Merujuk pada UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1, Perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. <br /><br />Mewujudkan mimpi keluarga sakinah tak segampang membalikkan telapak tangan. Seakan menjadi batu sandungan bila hak-hak dasar pasangan suami istri dalam posisi tidak setara. Sebab, keadilan gender menghendaki sebuah relasi keluarga yang egaliter, demokratis, dan terbuka. Hal ini ditandai dengan rasa hormat dari yang muda kepada yang lebih tua, rasa kasih sayang dari yang lebih tua kepada yang lebih muda, sehingga mewujud komunitas yang harmonis antara laki-laki maupun perempuan sebagai anggota keluarga. <br /><br />Alquran surat al-Rum: 21, memberi tiga kunci kebahagiaan hidup, yaitu mawaddah, rahmah, dan sakinah. Tiga kata kunci tersebut menjadi keniscayaan pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan berkeluarga.<br /><br />Mawaddah ialah rasa cinta yang disertai penuh keikhlasan dalam menerima keburukan dan kekurangan orang yang dicintai. Dengan mawaddah seseorang akan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya sebagai bagian dari dirinya dan kehidupannya. Selanjutnya rahmah, yang merupakan perasaan saling simpati, menghormati, menghargai antara satu dengan yang lainnya, saling mengagumi, memiliki kebanggaan pada pasangannya. Terakhir sakinah, yaitu puncak kebutuhan pasangan suami istri untuk mendapatkan kedamaian, keharmonisan, dan ketenangan hidup yang dilandasi rasa keadilan, keterbukaan, kejujuran, kekompakan, dan keserasian, serta berserah diri kepada Allah (hlm 49-50).<br /><br />Dengan demikian, amal kesakinahan keluarga nan berwawasan gender merupakan puncak idaman bagi tiap-tiap keluarga. Bertolak dari itu, tujuan perkawinan dapat diraih sesuai harapan bersama dalam membangun rumah tangga bahagia. Keluarga yang memegang erat budaya patriarkhis yang bias gender cenderung melahirkan diskriminasi gender. Sehingga perlu kiranya melakukan adaptasi dan perubahan keluarga yang bias gender dengan berupaya mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membangun keluarga bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Yang terpenting dipraktikkan ialah kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga. <br /><br />Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender karya Mufidah Ch ini, mengarsiteki laku gender dalam keluarga Muslim. Sebagai aktivis perempuan, Mufidah Ch ditengarai sangat getol mengusung tema-tema gender di setiap karyanya. Di karyanya yang lain, Paradigma Gender (2004), memperkuat bahwa penulis buku ini betul-betul all out berijtihad di jagad kajian gender dan keperempuanan. Buku ini sangat layak dibaca guna menghantarkan keluarga Muslim dalam meraih kebahagiaan hidup.<br /><br />Judul Buku : Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender<br />Penulis : Dra. Hj. Mufidah Ch, M. Ag <br />Penerbit : UIN Malang Press<br />Cetakan : I, Oktober 2008<br />Tebal : xii + 401 Halaman<br />Peresensi : A Qorib Hidayatullah*[A Qorib Hidayatullah]http://www.blogger.com/profile/15367290909727515085noreply@blogger.com0