Minggu, September 14, 2008
Menuju Bangsa Nestapa, Indonesia Bisa
Oleh: A Qorib Hidayatullah
Seruan tiap-tiap manusia tampak sama. Yaitu berharap terjadi/terkabulkan apa yang bergelantungan di angan. Hal itu ihwal lazim. Hidup tidak berpengharapan seperti menanam benih tapi tidak tumbuh.
Saat aku masih kanak-kanak, guruku merisalahkan kepada setiap siswa agar memiliki ekspektasi/cita-cita. Beliau gemar menginterogasi para siswanya dengan pertanyaan: “Apa cita-cita kamu?” Guruku seakan memiliki kekhawatiran apabila siswanya tidak memiliki harapan dan cita-cita. Lebih lanjut guruku menjelaskan pentingnya hidup bercita-cita akan membikin hidup tetap bertahan penuh semangat, tidak mandul orientasi.
Ekspektasi adalah tolok ukur capaian apa nanti yang akan diraih. Beragam harapan muncul dari setiap manusia di bumi ini. Semuanya berseru serupa ingin lebih baik dari apa yang sudah terjadi. Hidup tanpa ekspektasi seakan memubazirkan karunia Tuhan. Cita-cita merupakan karunia terbesar dari Tuhan. Tuhan memperkenankan diri-Nya selalu mendengar nafas terlemah seruan hamba-Nya.
Rakyat Indonesia memiliki beragam ekspektasi kepada elite birokrasi pemerintahan. Bahkan penuhnya berpengharapan, rakyat hingga lesu berharap kepada petinggi bangsa ini. Hanya genggaman tangan kosong yang dibawa pulang rakyat setelah selesai dikibuli saat suaranya dieksploitasi dalam momen pesta demokrasi.
Semasa kampanye berlangsung digelar, rakyat diiming-imingi sejuta janji. Program yang diusung masing-masing kandidat semuanya berpihak kepada rakyat (pro rakyat). Rakyat waktu kampanye berlangsung serasa sangat diistiwewakan. Semua kandidat apabila terpilih nantinya akan menjuntrungkan arah kebijakan publiknya pro membela rakyat.
Tribune kampanye kini menjadi wahana munafik. Hanya tebar janji, namun tak ditepati. Kampanye para kandidat hanya permainan akal bulus. Program yang pro rakyat hanya selesai di atas mimbar kampanye. Tersiar kabar, kalau rakyat saat ini terkesan membendung pendengarannya dari janji-janji manis kandidat saat kampanye. Rakyat mengalami krisis keperyaan terhadap janji kandidat. Rakyat memilih jalan simplistis, yaitu siapa pun kandidat yang banyak modal, itulah yang memberi magnet kepada rakyat. “Memilih siapa nanti di TPS, itu soal nurani”, ujar salah satu rakyat.
Kini, peta politik pemilihan birokrasi kita tidak memakai politik “What is” tapi lebih pada “Who is”. Rakyat tidak hirau lagi program apa yang diusung kandidat, tapi rakyat lebih acuh siapa kandidat itu. Untuk masyarakat Jatim, rakyat lebih suka memilih kandidat dari basis kaum biru, kyai, maupun ulama’.
Tampaknya, Indonesia saat ini telah mengalami di mana Ronggowarsita menamainya dengan zaman Kalatidha, yaitu zaman yang sedemikian gila, dengan berharap butuh manusia-manusia sahaja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar