Minggu, Februari 01, 2009
Rute Pejalan Jauh (Bagian I)
Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup
Oleh A Qorib Hidayatullah
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang, tiap kali memberanjakkan diri dari hamparan menuju ke hamparan yang lain, membutuhkan acuan rute jalan supaya tak sesat. Lazimnya manusia kebingungan, berbekal acuan rute jalan mampu memandu agar manusia itu tetap berada di jalur linear sesuai hendak ke mana ia pergi. Tanpa rute jalan, manusia acap dibikin kelimpungan, sebab kesesatan sudah tampak di pelupuk mata. Rute jalan pada titik ini seolah Tuhan kecil yang senantiasa dijadikan rujukan manusia untuk berlabuh.
Namun, terkesan miris tatkala manusia melulu menggantungkan dirinya pada jasa rute jalan. Ke mana pun ia mau pergi, sementara rute jalannya tidak ada, maka orang itu akan pasti mengurungkan kepergiannya. Menurut saya, rute jalan semacam tafsir mikro yang sangat praktis. Rute jalan tak ubahnya dalam kunjungan seorang ekspatriat yang terdesak membutuhkan seorang tour guide untuk dijadikan teman pendamping selama dia berkunjung pada sebuah tempat.
Sedangkan pada tafsir makro dari ketergantungan pada rute jalan ialah tersebab manusia tak tahu arah hendak ke mana ia mau pergi. Namun, kehidupan yang serba tak linear ini, manusia oleh Tuhan dibekali agar meniscayakan ijtihad kreatif dalam menentukan arah pijak melabuhkan kehidupan. Kedua dari tafsir mikro dan makro atas rute jalan tersebut, semua itu memusat pada satu landasan yang mendesak agar manusia selalu berspekulasi dalam hidupnya.
Tuntutan manusia spekulatif dikarenakan hidup ini amat kelam. Kekelaman hidup menggiring pada aras ketakjelasan kompas hidup. Robert Holden dalam Timeless Wisdom for Manic Society mempetuahi kehidupan dengan alegori demikian, “Ada masa jeda manusia secara terus-menurus dirundung kebuntuan. Bergerak ke depan tampak buntu, mundur ke balakang buntu, menengok ke arah kanan dan kiri dari kehidupan pun buntu semuanya. Tapi lanjut Holden, manusia dalam suasana yand demikian itu tak ada ruang mengeluh dengan berkata: Aku Menyerah.”
Bertolak dari tausiah Robert Holden di atas kita diharap mampu menjadi hamba manusia yang selalu spekulatif. Berspekulasi dalam hidup manjadikan manusia berinsan progresif. Insan progresif adalah manusia dalam tiap sejengkal hidupnya dimaknai dengan jihad dalam pangkuan kebebasan serta kebenaran. Tersebab spekulasi adalah niscaya menghadapi kebuntuan hidup, maka rute jalan malah sebaliknya, ia tak mampu menjadi acuan menelusuri lorong kehidupan yang justru kerap buntu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar