Senin, April 13, 2009
Mencegah Anak Ikut Kampanye
Oleh: A Qorib Hidayatullah*
Kampanye terbuka belum lama ini digelar. Masa kampanye menjadi peluang emas bagi partai politik (parpol) guna meraup suara pada pemilu legislatif nanti. Namun, tampak masygul bila kebiasaan kampanye parpol melulu melibatkan anak-anak.
Ditengerai parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Para pengurus parpol tersebut mengaku telah berupaya dan mengimbau agar peserta kampanye tidak membawa anak-anak (Kompas, 22/03/09).
Kehadiran anak-anak di arena kampanye telah jamak diketahui. Tak ayal, orangtua pun merasa kelimpungan mencegah anak agar tidak ikut kampanye. Para orangtua iba hendak ke mana anak mau dititipkan, sementara dirinya menjadi simpatisan parpol, dan dituntut meramaikan kampanye.
Kendati pun, para orangtua diharap untuk tidak mengikutsertakan putra-putri mereka dalam kegiatan kampanye. Anak harus dijamin perlindungannya meski orangtuanya adalah seorang aktivis yang sangat berpengaruh di partai.
Dalam kampanye, tak ada yang menjamin tidak terjadi kerusuhan atau kecelakaan lalu lintas saat konvoi digelar. Belum lagi dampak fisik bagi anak seperti terik matahari, asap rokok, atau asap kendaraan yang biasanya mendominasi lingkungan kampanye, yang semua itu berpotensi mengganggu kesehatan anak.
Eksploitasi Anak
Beragam kisah eksploitasi anak terpendar. Seperti yang dinarasikan dalam A Long Way Gone: Memoar Seorang Tentara Anak-anak (Bentang, 2008). Novel ini menyajikan cerita sedih nan nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone.
Sungguh menyayat hati, saat tersiar kabar dalam kampanye pemilu lima tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada lima orang anak meninggal saat mengikuti kampanye. Salah satu korban terjatuh ketika menaiki kendaraan yang digunakan untuk kampanye.
Hingga saat ini, kerapkali kampanye digelar selalu dijumpai anak-anak mempergunakan atribut partai politik tertentu. Padahal, pelanggaran kampanye yang melibatkan anak antara lain berbentuk pemakaian atribut partai pada anak, seperti baju atau kaus berlogo partai, ikat kepala partai, hingga permainan yang identik dengan salah satu partai.
Beragam cara parpol menggelar hiburan untuk menyemarakkan suasana kampanye, sehingga mengundang keinginan anak-anak untuk datang. Bahkan ada sebagian anak-anak sekolah yang masih menggunakan seragam utuh datang ke lokasi kampanye.
Tampak miris, di Madiun Jawa Timur, saat giliran partai Golkar berkampanye yang menampilkan artis lokal berdaya nyala erotis untuk menghibur massa. Padahal, peserta kampanye tersebut tak sedikit dari anak-anak juga turut hadir. Pun pula tak jarang didapati orangtua membawa balita mereka ke lapangan kampanye.
Keterlibatan anak dalam kampanye tidak hanya wujud eksploitasi anak, tetapi juga menyalahgunakan kebebasan anak untuk kepentingan politik. Banyak pelanggaran terhadap anak ketika kampanye, mulai dari hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, serta hak perlindungan anak.
Wujud Sanksi
Mengikutsertakan anak dalam kampanye bukanlah pendidikan politik. Kegiatan tersebut bukan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak-anak. Pendidikan politik tidak harus melalui kampanye. Pendidikan politik bisa diberikan melalui lingkungan keluarga berupa kesempatan berpendapat, pemilihan ketua kelas, atau melibatkan anak untuk berpendapat dalam sebagian konflik ringan dalam keluarga.
Malah sebaliknya, penyalahgunaan anak dalam aktivitas politik bisa dijerat sanksi berupa kurungan penjara dan denda sejumlah uang. Melibatkan atau menjadikan anak sebagai bintang tamu iklan kampanye parpol ialah bentuk ekploitasi terhadap anak. Dengan begitu, KPAI membuka posko pengaduan dan pemantauan pelanggaran selama kampanye terbuka berlangsung mulai 16 Maret lalu. Posko pengaduan dan pemantauan dilakukan sebagai upaya melindungi anak.
Gerakan KPAI tersebut merupakan wujud advokasi terhadap anak. Hal itu dipayungi Pasal 78 UU No 10/2008, bahwa dalam pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan anak-anak usia di bawah 17 tahun. Hal ini juga diatur dalam UU No 23/2002 Pasal 15 tentang Perlindungan Anak. Di situ disebutkan, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik.
Dalam UU No 10/2008 Pasal 84 ayat (2) huruf k menyebutkan larangan mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Yang menarik dalam ketentuan ayat (6) ditetapkan bahwa pelanggaran terhadap hal itu merupakan tindak pidana pemilu. Para pelanggarnya akan diganjar pidana penjara paling singkat 3 bulan, serta paling lama 12 bulan. Bahkan mereka bisa dikenakan denda paling sedikit Rp 30 juta.
Demi mencegah anak ikut kampanye dan semata menjalankan amanah UU di atas diharap adanya kerjasama yang baik antara Komnas Perlindungan Anak, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dengan menindak tegas pelanggar kampanye. Misalnya, dengan meminta bantuan Kapolri, untuk menegakkan hukum yang berlaku selama masa kampanye.
Selain itu, pentingnya pengertian orangtua niscaya dibutuhkan. Dengan pengertian, ayah dan ibu dapat berganti peran untuk mencegah anak-anaknya turut serta dalam kampanye parpol.
Seturut keterangan Ninik Rahayu, --Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan--, tugas menjaga anak tidak melulu dari pihak ibu. Oleh karena itu, orangtua (ayah dan ibu) harus menyadari bahwa membawa anak-anak dalam lapangan kampanye berarti menimbulkan ancaman bagi kenyamanan dan keamanan putra-putri mereka sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar