Kamis, Mei 14, 2009
Buku dan Pergerakan
A Qorib Hidayatullah
Di pelbagai pagelaran seminar, pembicara andal sederhananya bisa dilirik dari kekayaan referensi dalam penyampaiannya. Tampak argumentasi kukuh yang dipancarkan tiap-tiap pembicara, tak luput seberapa lihai ia menyitir referensi. Dan, keampuhan pembicara meramu apa yang disampaikan hingga ia elegan menjawab pertanyaan penanya, pun tak lepas semesta referensi yang ia baca.
Berdaya referensial di pentas ilmiah seakan niscaya. Pertarungan pakar pengetahuan/akademisi demi memenangkan di arena keilmiahan tentu dipersenjatai referensi yang tak sedikit. Referensi dalam hal ini rupa-rupanya ditempatkan laiknya amunisi guna mengukuhkan teori. Dan, teorilah yang nantinya mewujud sebagai dasar pijakan menjalankan hidup di jagad lelaku keilmiahan. Misalnya, melakoni riset, dll.
Namun, amal referensial tak melulu digunakan saat kerja ilmiah. Aktivitas yang sangat menyehari sekalipun, bisa menunggangi referensi. Misalnya, menyitir referensi saat obrolan ringan bersama teman ataupun kawan sembari menyeruput kopi di café, dll. Sehingga, obrolan yang tadinya hanya terkesan biasa-biasa saja dengan referensi bisa memiliki kekuatan. Tentu, perilaku sang pengobrol tak serampangan menyitir referensi. Dengan kata lain, ia pas memilah referensi dalam mempertajam obrolannya.
Referensi dan Pergerakan
Tak sedikit yang alergi dari kawan-teman kita, bila dalam obrolan bersamanya dipijakkan pada referensi. Sebagai mahasiswa –untuk tidak menyebut aktivis mahasiswa— lazim membicarakan centang-perenang bangsa Indonesia pasca reformasi. Dalam presedennya, mahasiswa terbilang idealis saat ditandai dengan kemenangan memakzulkan rezim lalim Soeharto pada 1998. Sehingga, ada istilah khusus untuk menyebutkan hal ini: Gerakan Masif Aktivis 98. Gerakan aktivis 98 jika tidak berlebihan bisa dibilang asketisme idealis yang pernah dimiliki dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab, gerakan tersebut mengusung perubahan agung, reformasi. Mereka –seluruh elemen mahasiswa se-Indonesia— serempak, bersama-sama menyingsingkan lengan baju menangkis dan mengakhiri serangan represifitas Orde Baru. Mereka bergeliat dan bergerak maju membonceng demokratisasi, egalitarianisme, dan humanisme.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar