Sabtu, September 29, 2007

Centang Perenang Gaya Hidup Indië






Judul : Resistensi Gaya Hidup: Teori & Realitas
Penulis : Agung Hujatnikajennong (dkk)
Editor : Alfathri Adlin
Penerbit : Jalasutra
Cetakan : Pertama, September 2006
Tebal : xix + 327 hal
Peresensi : A. Qorib. Hidayatullah*


Kulihat orang-orang terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini. Dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi memompa gas, menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci supaya kita bisa membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar kita adalah spiritual. Depresi besar kita adalah hidup. Kita dibesarkan untuk percaya suatu hari jadi jutawan dan bintang rock, tapi sebenarnya tidak. Dan kita mempelajari fakta itu dan kita menjadi sangat marah.” (Sekelumit orasi Tyler Durden)


Zaman sudah berbalik haluan. Manusia-manusia yang menempati zaman memiliki tolok ukur sendiri atas dunia yang ditempatinya. Ikon kejayaan peradaban dahulu seiring rotasinya terindikasi menemui titik kekaburan. Sejarah hanya dijadikan narasi-narasi yang selayaknya terjadi. Tak ada kajian yang lebih kritis terhadapnya. Manusia-manusia dibiarkan untuk merayakan kreativitas penciptaannya. Pengeksplorasian besar-besaran turut terjadi tanpa hasrat menjadi. Kapitalisme! Benar kiranya tesis dari pujangga sufi, anak kelahiran tanah Jawa bernama R. Ngabehi Ronggowarsito, yaitu dengan menyebutnya “Zaman Edan”!.


Hal itulah yang menginspirasi FSK (Forum Studi Kebudayaan) ITB melakukan telaah-telaah terhadap budaya-budaya bangsa maupun dunia. Yang dikemas dengan bentuk kajian-kajian rutin setiap minggu dan bulanan. Hasilnya pun sekarang sudah tampak yaitu berupa kumpulan tulisan-tulisan tentang kebudayaan, kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku: RESISTENSI GAYA HIDUP: Teori dan Realitas. Buku ini menjadi dua elemen besar. Pertama, bagian teori yang memberikan landasan teoritik untuk membedah gaya hidup, budaya, resistensi dan hasrat, habitus, teori meme (gen budaya), imagologi dan tinjauan psikologis. Kedua, bagian realitas yang mengemukakan berbagai realitas resistensi gaya hidup. Mulai dari gerakan New Age dan revitalisasi agama, resistensi seni, metroseksual, feminisme dan posmodernisme, media alternatif dan resistensi gerakan literasi, resistensi di dunia cyberspace, serta gerakan subkultur.


Dari sintesis teoritik dengan realitas (gaya hidup) tersebut, dicari titik resistensinya. Resistensi dari kekreatifan membaca dan menafsirkan sesuai dengan latar belakang individu, yang kemudian diidentikkan pada gaya hidup tertentu. Misalnya, kelompok computer underground, resistensi merupakan hasil pembacaannya atas hegemoni komersialisasi pengetahuan komputer oleh sekolompok produsen. Hal ini juga dilakukan oleh kelompok literasi. Bagi kelompok literasi, kondisi saat ini dibaca sebagai minimnya minat baca karena kecenderungan hura-hura dikalangan mahasiswa yang seharusnya menjadi golongan terpelajar dan akademisi tulen. Lanjut kelompok literasi, “dalam transaksi jual beli buku banyak toko buku besar yang memasang harga mahal, harus melakukan resistensi dengan memberikan harga diskon, layanan bersahabat dengan membangun kultur yang berbeda yaitu kultur literasi.”


Mengenai gaya hidup kelompok literasi, diawal abad kesembilan belas, di bagian Eropa dan Amerika mulai menarik perhatian dan berkonflik dengan gaya hidup lainnya. Melalui gaya hidup alternatifnya, mereka suka dan enjoy hidup dibagian kota-kota miskin, menyesaki waktu dengan membaca, berkarakter milankolik, dan bersekutu dengan seni. Kemudian dengan lambat laun, mereka pun dijuluki Bohemian, sebuah nama yang diambil dari karya Henri Murger, Scenes de la vie de Boheme (1851) yang menggambarkan gaya hidup intelektual bebas dikafe-kafe Paris (hal 24).


Gaya hidup Bohemian tersebut bertolak belakang dengan gaya hidup Borjuasi yang meletakkan materi sebagai hal utama atau skala prioritas. Perbincangan kaum Borjuasi hanya seputar dimanakah pesta yang paling bergengsi malam ini dan gaun apa yang pas dan paling cocok dipakai. Manusia oleh kaum Borjuasi diukur berdasarkan kesuksesan material dan reputasi sosialnya saja.


Tak dapat dipungkiri, dalam realitas masyarakat banyak tebaran gaya hidup yang niscaya beragam. Hal ini disebabkan, gaya merupakan sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakkan kepribadian atau pandangan umum suatu kelompok (hal 166). Selain itu, gaya juga merupakan wahana ekspresi masyarakat yang mencampurkan nilai-nilai tertentu dari agama, sosial, dan kehidupan moral melalui bentuk yang mencerminkan perasaan.


Resistensi Simbol Keagamaan

Kita sering melihat diwilayah nyata masyarakat yang menggunakan atribut yang berupa simbol keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan dibawa ke ruang yang lebih luas. Entah berupa kalung, cincin, pakaian, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi unik adalah ketika dari atribut atau simbol tersebut diyakininya atau dipercaya dapat mendatangkan kekuatan, keberuntungan atau kesucian bagi yang memakainya.


Bentuk resistensi mengenai atribut atau simbol keagamaan tersebut, Yasraf Amir Piliang membangun lima pembacaan. Pertama, pembacaan denotatif atas teks kitab suci yang biasanya melahirkan bentuk-bentuk sikap yang harfiah dalam menampilkan agama secara gaya hidup maupun visual. Misalnya, seorang penganut agama harus memperlihatkan secara visual mulai dari ujung kepala hingga kaki, segala atribut keagamaan. Dengan pembacaan akan berujung pada sikap-sikap fundamentalistik.


Kedua, pembacaan konotatif atas kitab suci umumnya dapat melahirkan sikap-sikap yang lebih moderat dari kalangan agama. Suatu fenomena tidak serta-merta dihukumi secara harfiah begitu saja melalui sebuah teks. Ketiga, pembacaan dekontekstual biasanya dikemukakan oleh kalangan yang secara serampangan, dapat dikatakan memiliki sikap ambivalen, yaitu spiritual-enggan-sekuler tak mau.


Keempat, pembacaan fetisistik yaitu pembacaan yang umumnya paling sering berkembang dinegara-negara dunia ketiga. Pembacaan ini memiliki potensi resis terhadap berbagai hal rasional yang mementahkan tafsir yang dihasilkan. Kelima, pembacaan dekonstruktif adalah pembacaan yang paling lazim muncul dalam komunitas budaya pop. Pembacaan ini lebih banyak didasarkan pada segala hal yang bersifat popular, seperti imajinasi, cara berpikir dan argumen yang dangkal (hal 172).


Pertanyaannya kemudian, apakah kita cukup senang dengan gaya hidup yang kita miliki sekarang? Adakah unsur-unsur mutasi yang terkemas dalam memetis (meniru gaya hidup orang lain)? Dengan membaca dan memahami buku inilah, kita sedikit-banyak akan menemukan khazanah-khazanah budaya dan sedikit mengerti budaya-budaya kelompok manusia ataupun budaya-budaya pop. Mungkin, menurut pembaca biasa seperti saya, sulit menemukan tebaran kesalahan dalam buku ini. Begitu juga bagi para pembaca budaya awal, akan sulit menemukan kesalahan. Kalau begitu, awalilah dengan membaca buku ini.

Tidak ada komentar: