Minggu, November 08, 2009

Melampaui Ikhtiar Ahmad Wahib


Oleh A Qorib Hidayatullah

“Aku ingin al-Quran itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah salama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimana mengintegrasikan al-Quran itu dalam kepribadianku? Bagaimana?” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib LP3ES: Cet I 1981). Ditulis pada tanggal 11 Maret 1969, hlm 320.

Prolog
Hingga kini, titik keyakinan saya pada wacana keislaman kaitannya dengan HMI, buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), bisa dijadikan pemantik tunggal diskusi keseharian tentang Islam. Jika tak berlebihan, buku itu selalu relavan dengan keadaan zaman. Sebab, Ahmad Wahib pada tahun 70-an mampu mengarsiteki tema-tema diskusi tentang teologi, pembaharuan pemahaman Islam, politik, dan kebudayaan, di mana masalah-masalah yang diusung dalam tiap-tiap tema diskusi tersebut tampak melampaui pemikiran arus utama, Wahib mampu melirik kritis permasalahan-permasalahan keislaman dan keindonesiaan masa depan.

Ahmad Wahib dilahirkan di Sampang, Madura, 9 November 1942. Menapaki pendidikan di perguruan tinggi, UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA). Kendati mahasiswa eksakta, Wahib gemar membaca buku-buku ilmu sosial modern. Wahib bukan tipikal mahasiswa yang mengamalkan prinsip 3 K (kampus, kantin, dan kos-kosan).

Ia sangat gemar membaca dan berdiskusi. Al-hasil, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo serta Djohan Efendi yang bertempat di rumah Prof. Mukti Ali (dosen IAIN Sunan Kalijaga saat itu).
Dalam kehidupan menjadi mahasiswa, Wahib melakoni aktivisme konkret. Ia berorganisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), hingga menjabat pengurus Badko (Badan Koordinator) HMI Jawa Tengah. Kaitannya dengan HMI, Wahib menjadi pengkritik (insider) bagaimana kader-kader HMI mampu memahami sebagai insan akademis, insan pencipta, dan insan pengabdi.

Sayangnya, Wahib lekas tutup umur di usia muda (31 Maret 1973). Ia tertabrak motor saat keluar dari kantor majalah Tempo Jakarta. Meski mati muda, Wahib tak hidup sia-sia. Ada 2 (dua) outsider (peneliti dari luar), Greg Barton dan A. H. John, yang membicarakan Wahib secara bernas. Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djogan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990).

Wahib dan Islam yang belum usai
Dari sekilas kehidupan Ahmad Wahib itu, saya hendak mengajak kawan-kawan mengamalkan geliat intelektualisme keislamannya Wahib. Minimal kawan-kawan membaca buku catatan harian Ahmad Wahib itu. Sehingga, dari situ kawan-kawan mampu mewarisi ide cemerlang dari Wahib.

Wahib pemuda yang berani. Ia tanpa rasa takut sedikitpun mendiskusikan masalah-masalah tauhid (teologi). Keislaman yang hendak dicapai Wahib adalah keislaman yang selalu dan harus terus dicari (proses), yang belum usai. Bagi Wahib, orang yang menganggap bahwa Islam itu sudah final dan universal adalah sesat (sikap berpikir yang salah). Wahib tidak setuju bila Islam dianggap agama yang telah lengkap bekal untuk menjawab masalah-masalah kemanusiaan dan kehidupan. Hal ini, kata Wahib, hanya akan membawa pada kejumudan, kemandekan, statis, dan bekunya Islam.

Lebih jauh, Wahib mengatakan bahwa kebekuan umat Islam disebabkan pada orientasi yang sangat kuat terhadap syariat (fiqh mainded). Orientasi keagamaan yang seperti itu akan memunculkan keberagamaan yang formalistik dan artifisial, lalu menggiring kepada eksklusivisme agama. Fiqh, menurut Wahib tak lain adalah hasil interpretasi ajaran Islam di suatu tempat dan waktu tertentu. Ia tak bisa dianggap dan disikapi secara sama seperti al-Quran maupun hadist. Jika al-Quran dan hadist adalah sumbernya, maka fiqh adalah penafsiran atas kedua sumber tersebut. Sebab, fiqh ialah hasil penafsiran kontekstual, sehingga fiqh tidak mutlak.

Dengan demikian, Wahib bukan penganut agama yang hitam putih (halal-haram). Ia dalam beragama sangat toleran, memperjuangkan nilai-nilai keragaman dalam agama. Di Yogyakarta, Wahib bermukim di asrama Katolik, asrama mahasiswa Realino. Sehingga, ia pun kenal dan kerapkali diskusi dengan pemuka Ordo Jesuit, seperti Bruder Van Zon, Romo Stolk, Romo Willenborg, dan Romo De Biliot. Hal ini wujud inklusivisme (keterbukaan) keberagamaan Wahib.

Dalam memahami Islam, Wahib menjadikan akal sebagai alat. Ia tidak cukup memiliki bekal “studi agama” yang rumit untuk memahami Islam. Penggunaan akal bagi Wahib tidak terbatas pada fungsi akal sebagai salah satu sarana memahami realitas dan hakikat agama. Akal yang dimaksud Wahib adalah akal bebas dan akal sistematis sebagai seperangkat ilmu.

Dengan akal bebas, seseorang akan bisa memahami segala fenomena dari sudut pandang ia sebagai manusia, bukan dari sudut pandang Ilahiah (Tuhan). Sebab hakikatnya, pengetahuan terhadap yang Ilahi mempunyai konsekuensi bagi kehidupan dan kepentingan manusia sendiri, dan bukan kepentingan Tuhan. Serta, manusia itulah yang paling mengetahui keadaannya sendiri. Sedangkan akal sebagai seperangkat ilmu bisa diartikan sebagai metode (cara) untuk memahami realitas secara lebih sistematis (tersusun).

Kepercayaan Wahib yang begitu mengagungkan kemampuan akal menghantarkannya berada pada barisan kaum rasionalis, atau dalam istilah Greg Barton sebagai pemikir liberal. Implikasinya, pemahaman Islam yang dikembangkannya memiliki kekhasan tersendiri yang ditengarai berbeda dengan paham kebanyakan umat Islam lainnya. Islamnya Wahib adalah Islam yang rasional, inklusif, pluralis, dan toleran.

Sejarah Ahmad Wahib adalah sejarah pergulatan, doktrin, dan realitas sosial. Mari ramai-ramai mewarisi semangat Ahmad Wahib. Menahbis diri menjadi Wahibian, pengikut Ahmad Wahib. ***