Jumat, Desember 12, 2008

De Winst, Kesaksian Novel Poskolonial


Oleh A Qorib Hidayatullah
[pekerja kreatif, gemar ngopi]


Sebagai salah satu novel sejarah, De Winst merupakan salah satu karya sastra yang laik diziarahi. Novel setebal 336 halaman ini, menenun kisahnya ihwal jama’ah pelajar Indonesia di negeri Belanda, Indonesische Vereniging (IV), atau di Hindia lebih familiar dengan sebutan Perhimpunan Indonesia (PI).

Afifah Afra, novelis muda jebolan jurusan biologi kampus negeri di Solo, yang juga merupakan anggota dari forum komunitas penulis FLP yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia tersebut, senang bergelut dengan cerita berlatar sejarah. Di tengah gemerlap hajatan sastra Islami yang digeluti komunitasnya, ia kadang setia bertahan dengan sajian cerita-cerita sejarahnya yang kental, menggugah inspirasi. Terlebih, dengan bubuhan gambar di setiap lekuk badan novel ini, membuat pembaca makin termanjakan.

Sedikit beda dengan karya jamak penulis FLP lainnya. Karya ini mengingatkan kita pada sebuah jejak-rekam kesengsaraan inlander oleh sistem tanam paksa yang dinarasikan oleh H. Moekti dalam roman klasik, “Hikajat Siti Mariah”. Roman ini juga menyibak tuntas ihwal kesengsaraan inlander; praktik penindasan masyarakat gula di Jawa Tengah oleh rezim kapitalis Belanda.

Dalam Prelude to Revolution, George D. Larson pernah mengungkap, perkembangan politik bumi putra pada era kolonial di daerah seperti Surakarta (Solo), banyak didominasi kaum pedagang dari pada golongan priyayi. Kemajuan ekonomi itu bertumpu pada sektor perdagangan seperti batik, tekstil dan sejenisnya. Perkumpulan kaum pedagang ini menurut Larson, mula-mula punya andil menandingi hegemoni perdagangan kawasan Hindia oleh etnis China dan golongan Eropa, termasuk Belanda. Namun perkumpulan ini lambat laun tidak sebatas mengurusi soal perdagangan, melainkan (dengan perlahan juga) menjadi ajang bagi tumbuh kembangnya rasa kebangsaan & semangat pergerakan. Perkumpulan semacam ini semisal Sarikat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin oleh H. Samanhudi dari daerah laweyan. Fenomena inilah (kalau boleh saya tebak) yang mengilhami Afifah Afra untuk mengangkatnya dalam sebuah novel, yang diyakini penulis, mampu membangunkan jiwa idealisme kita yang saat ini lagi kendur.

Konflik novel ini bermula dari krisis ekonomi yang menyerang dunia awal abad 20, menghantam dunia Timur dan merambat ke wilayah Hindia Belanda. Kita mafhum, bahwa negeri kita yang beratus-ratus tahun menjadi tempat bercokolnya kolonial Belanda, adalah ladang surga bagi suplai tumbuh-kembangnya perekonomian negeri tersebut. Namun semakmur-makmurnya Hindia, tak ketinggalan ikut terkena imbas krisis dunia saat itu. Novel ini menggambarkan kekelaman penduduk pribumi atas arogansi penduduk golongan kelas satu penumpuk modal (Belanda), yang gemar mengeruk kekayaan negeri Hindia yang melimpah. Namun ironis, di tengah kemewahan negeri pecahan surga nan elok, bumi putra sebatas menjadi jongos di negeri sendiri. Mereka menjadi penduduk kelas tiga yang selalu ditindas dan diperbudak oleh syahwat kapitalisme.

Akibat dari krisis tersebut, berpuluh-puluh industri komoditas utama negeri ini banyak yang gulung tikar. Salah satunya adalah industri gula. Industri yang bahan bakunya disuplai dari perkebunan tebu ini, terancam bangkrut. Harga gula di pasaran terus melorot. Imbasnya, harga sewa tanah dan gaji pekerja buruh, yang mayoritas ditekuni inlander turun pada level yang mencekik. Tragedi ini menjadi pemantik semakin menguatnya gairah revolusi kaum pribumi menuju tata perekonomian yang lebih kondusif. Seperti yang dikoar-koarkan oleh kaum pergerakan, perihal rencana & cita-cita agung memerdekakan negerinya.

Salah seorang priyayi mantan asisten administratur De Winst (nama sebuah perusahaan gula swasta milik Belanda), bangsawan aristokrat keturunan raja mataram, lulusan Leiden University, Rangga Paruhita, ingin melepaskan bangsanya dari belenggu & penindasan antek-antek kolonial. Ia membidani lahirnya sebuah gerakan. Gerakan ini berusaha memonopoli perusahaan-perusahaan swasta yang nota bene dikelola kaum penjajah. Gerakan dalam sektor ekonomi tersebut ia namai gerakan ekonomi kerakyatan. Usaha ini bertumpu pada pengembangan sektor industri tekstil, di mana kapas menjadi komoditas utamanya. Namun tak beberapa lama, sebuah tragedi mencuat. Geger dan eksodus besar-besaran buruh De Winst ke pabrik tekstil yang dikelolanya, menyeret R.M Rangga Paruhita ke muka pengadilan dengan tuduhan memberontak pada pemerintah. Tak ayal, serangkaian fitnah dan konspirasi keji yang dilimpahkan pengadilan, menyeretnya dalam internering ke Endeh.

De Winst begitu memesona. Tak berbeda jauh dari novelnya terdahulu, “Bulan Mati di Javasche Orange”, Afifah Afra menyelipkan kisah asmara tragis tapi menarik. Cerita percintaan ini terajut dari pertemuan Rangga yang studi ekonomi di Leiden sepulangnya dari negeri Belanda dengan Everdine Kareen Spinoza yang sarjana hukum Universitas Rotterdam di geladak kapal menuju Hindia. Kelebihan novel ini adalah ketangkasan penulisnya mempertemukan tradisi lokal keraton Jawa yang kental aroma feodalismenya dengan gaya hidup Eropa yang aristokratik dalam nampan cerita yang memikat. Ia menyembulkan cerita yang mengetengahkan geger kebudayaan antara harus melanggengkan sistem feodalisme Jawa atau mentradisikan sistem demokrasi ala cendekiawan Bumi Putera. Seperti yang telah dijalankan Soekarno, Shahrir, Hatta maupun Cipto Mangunkusomo.

Novel ini ingin menegaskan kembali, bahwa dengan terbenamnya sejarah oleh waktu, apa yang diusung kolonialis, yaitu misi penjajahan itu sendiri, belumlah benar-benar hengkang. Praktik kapitalis dengan wujud imperialisme yang mendera bangsa kita sekitar 3,5 abad itu walau sekarat, tetapi belum benar-benar mati. Zaman sekarang pemilik modallah (baca: investasi asing) yang berkuasa & menguasai sektor-sektor penting di negeri ini. Bahkan, pemerintah dibuat seakan tak berkutik. Praktik kapitalisme itu, kendati pengaruhnya secara umum seringkali laten, namun tetaplah harus diwaspadai. Novel ini menjadi senjata ampuh untuk menyentil kesadaran kita akan bahaya praktik kapitalisme yang kini dengan amat terselubung dan ditunggangi berbagai kepentingan aktif menyemburkan praktik-praktik kapitalisme gaya baru.

Data Buku:
Judul buku : De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Afra Publishing, Surakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 336 halaman

Mahasiswa, Demonstran Seksi


Oleh Misbahus Surur
[penulis tamu, kawan nongkrong di kedai kopi]

Catatan:
--Mas Surur, thanks tulisannya. Gemarlah ngajak ngopi bareng bila honor tulisan cair. Luv U.--


Tonggak sejarah berdirinya republik ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari peran mahasiswa di dalamnya. Perlawanan terhadap kolonialisme setelah tahun 1900-an banyak dipelopori oleh gerakan kaum muda (baca: mahasiswa). Lahirnya Boedi Oetomo (1908), sebagai pelopor perjuangan bangsa ini dalam melawan kolonialisme juga di dominasi oleh kaum muda. Boedi Oetomo menjadi tempat persemaian bibit-bibit pergerakan nasional. Dengan watak perjuangan yang terorganisir kaum muda ingin meninggalkan model perjuangan lama, yakni sebelum tahun 1900 yang masih bersifat kedaerahan. Semenjak diterapkannya sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang menyebabkan penindasan dan eksploitasi kekayaan negeri ini, gelagat perjuangan kaum muda mulai berkobar.

Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi penindasan bangsa tersebut. Akar gerakan kaum muda mempunyai orientasi yang cukup panjang. Dimulai sejak depresi ekonomi tahun 1878 yang menyebabkan munculnya kebijakan Cultuur Stelsel hingga lahirnya penentangan terhadap kebijakan tersebut dari Social Democratische Arbeider Partij (SDAP) yang kemudian melahirkan kebijakan baru, ”Politik Etis” tahun 1895 (hlm. 76-77).

Dalam menentang kebijakan penguasa yang tak memihak rakyat, mahasiswa punya sejumlah nostalgia sejarah yang kisahnya tak bisa dilupakan begitu saja. Perjuangan tersebut bisa direkam lewat beberapa insiden antara lain; peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974, sebuah protes dan penentangan mahasiswa atas kebijakan pemerintah terhadap pemodal/ investor asing (Jepang & Amerika) yang dinilai merugikan bangsa. Kemudian tragedi Trisakti 1998 hingga Semanggi I & Semanggi II. Seluruh tragedi tersebut merupakan akumulasi dari kekecewaan mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang cenderung tidak memihak rakyat. Walau harus mengorbankan nyawa, nyatanya mahasiswa selalu menjadi yang terdepan dalam menentang kebijakan & represi negara.

Namun apa yang terjadi sungguh menjadi suatu ironi. Gaya hidup mahasiswa sekarang banyak terperosok ke arah prinsip hidup hedonisme yang kalau boleh dibilang, justru menjerumuskan diri mereka pada jurang kapitalisme. Dalam budaya kapitalisme, tubuh direduksi sebagi komoditas yang terus dieksploitasi. Semua itu dengan tujuan bagaimana bisa menarik dan menciptakan massa supaya hanya bisa beli dan beli. Akhirnya semuanya digiring pada obsesi yang sulit untuk dipenuhi. Karena pada dasarnya libido manusia memang tidak akan pernah mengalami rasa puas.

Sifat acuh terhadap realitas sosial, pergaulan yang serba permisif dan gaya hidup glamour yang mengikuti trend masa kini membuat mahasiswa menjadi apatis, menggadaikan idealisme demi kesenangan & hasrat untuk melampiaskannya. Maka lakon yang dibawakan hanya sebatas berburu lawan jenis, pacaran dan seterusnya. Begitu pula sistem pendidikan di sekolah maupun di kampus dinilai tidaklah mendidik, tetapi malah menjauhkan pelajar & mahasiswa dari permasalahan sosial dan membuat mereka menjadi produk-produk statis dan tidak punya integritas sosial.

Mahasiswa dengan kungkungan sistem pendidikan kapitalis seperti sekarang, aktivitas mereka cenderung ke arah mencari kesenangan & foya-foya dari pada menekuni teori yang mengantarkan pada penemuan yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, atau menggagas perubahan menuju tatanan sosial yang lebih adil & memihak rakyat. Di era kapitalisme yang menyelimuti mereka, mahasiswa seharusnya bangun dari mimpi buruk ini dan menengok sejarah guna mengambil sebuah pelajaran berharga.

Dalam konteks kekinian gerakan mahasiswa semestinya diarahkan pada proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Karena di samping sebagai insan akademik, mahasiswa juga menjadi motor utama dalam mengawal setiap perubahan yang terjadi di negeri ini. Dengan memikul tugas besar sebagai pengontrol kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Baik melalui kritik sosial semisal aksi demonstrasi maupun dalam ranah pemikiran. Dalam pemikiran mereka bisa meningkatkan kapasitas dirinya dengan kegiatan intelektual yang kreatif dan produktif. Apalagi saat ini, di tengah keadaan negeri yang dipenuhi oleh beragam bencana tanah longsor dan banjir yang tak berputus-putus, sangat diharapkan sekali peran mahasiswa. Tugas besar inilah yang mengilhami Nurani Soyomukti menulis buku ini.

Ketika gerakan & tuntutan rakyat ditumpulkan oleh penguasa, dan wakil rakyat yang seharusnya membela hak rakyat ternyata hanya bisa duduk dikursi empuk dan enak-enakan tidur ketika sedang diajak membicarakan masalah rakyat (tidak dapat berbuat banyak untuk rakyat), maka mahasiswalah yang selalu tampil sebagai penyambung lidah rakyat.

Buku ini ditulis bukan karena hajatan untuk merayakan pornografi layaknya ”Jakarta Undercover” dan sejenisnya, juga bukan dengan niat menghakimi mahasiswa sebagai pelaku secara hitam putih, justru sebaliknya adanya buku ini mengajak mereka sadar dan kritis terhadap kuasa kapitalisme yang terus menghimpit kehidupan mereka sehari-hari. Buku ini meletakkan mahasiswa sebagai obyek (korban) kapitalisme dan hedonisme. Dalam industri budaya kapitalisme kontemporer memang secara besar-besaran mahasiswa menjadi korban empuknya. Dan ironis, mahasiswa tidak cepat-cepat menyadarinya.

Untuk itu, sebagai seorang anak muda yang punya keprihatinan tinggi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, penulis buku ini bermaksud mengingatkan kembali peran penting mahasiswa di tengah masyarakatnya. Mahasiswa perlu menyadari akan jati diri mereka, bukan terlalu muluk adalah sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai subjek perubahan (agent of change). Mahasiswa harus kembali ke hakikatnya sebagai manusia normal. Mahasiswa bukan benda yang statis dan tidak pula mengutamakan pemuasan hasrat libido seksual layaknya binatang. Jika kita memandang sekitar kita dan segalanya sesuatu terjadi secara alami dan mengalir seperti biasa, maka sejatinya daya kritis mahasiswa telah mati.

Hadirnya buku ini juga sekaligus akan melengkapi sederet buku-buku yang memfokuskan pada hal yang sama. Diantaranya, ”Bangsa Yang Belum selesai: Indonesia Sebelum dan Setelah Orde Baru” karya jurnalis peneliti Australia, Max Lane dan ”Penakluk Rezim Orde Baru; Gerakan Mahasiswa ’98” yang diedit oleh Muridan S. Widjojo. Sekilas pertama melihat buku ini, saya mengira adalah sebuah novel remaja, karena tampilan cover yang menurut saya tidak terlalu cocok untuk buku yang mengetengahkan serial mahasiswa. Terlepas dari itu, di tengah zaman yang serba pragmatis ini, jika berfikir kritis, bertindak produktif dan bijaksana jarang mereka lakukan, maka hakikat mahasiswa akan terus menjadi paradoks. Atau mahasiswa memang perlu, meminjam istilah Nurani, ”menerapi diri sendiri” untuk mengembalikan kenormalan ini. Jawabannya akan kita temukan di sekujur buku ini.

Data Buku:
Judul Buku: Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas; Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi, Jogjakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 182 Halaman