Sabtu, Mei 01, 2010

Soe Hok-gie, Inspirator Kaum Muda


DATA BUKU:
Judul Buku : SOE HOK-GIE…Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : A Qorib Hidayatullah

Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama.

Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.

Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, “Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.”

Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.

Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama.

Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).

Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka.

Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan.

Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.

Meremajakan Komunitas Kebudayaan di Malang


Oleh: A Qorib Hidayatullah

Di tengah geliat proyek pembangunan di Malang yang tampak menggila, masyarakat (juga termasuk mahasiswa) digiring akrab dengan mal, dan ritel modern lainnya. Masygul, sejalan dengan itu, komunitas kebudayaan di Malang perlahan-lahan ditinggalkan masyarakat dan absen pengunjung.

Sejatinya, komunitas kebudayaan menjadi pilar saling tukar pikiran dan ajang tegur sapa antar masyarakat di Malang. Namun, tampak tragis, di awal tahun 2009 komunitas Poestaka Rakjat yang bertempat di jalan MT. Haryono sudah gulung tikar. Poestaka Rakjat populer dengan komunitas 28-an (baca: komunitas wolu likuran) yang menjembatani masyarakat konsisten merawat tradisi-tradisi lokal Malang lewat diskusi-diskusi tentang kebudayaan. Seingat penulis, Poestaka Rakjat di pengujung 2007 sempat bekerjasama dengan DKM (Dewan Kesenian Malang) menggelar pentas amal untuk mbah Gimun (tokoh Topeng Malangan) saat sakit.

Di samping mengecer diskusi kebudayaan, Poestaka Rakjat juga membuka transaksi jual beli buku-buku klasik. Sehingga, gerai yang ditempati Poestaka Rakjat dibilangan MT. Haryono terdiri dari dua lantai. Lantai satu tempat menjajakan dan menjual buku-buku klasik, di lantai dua disulap menjadi ruang diskusi yang sangat asyik-masyuk.
Selain Poestaka Rakjat, di jalan Bogor ada komunitas Kedai Sinau. Kedai Sinau merupakan tempat diskusi-diskusi kritis renyah mengalir yang dihadiri para aktivis-aktivis gerakan mahasiswa dan masyarakat. Di Kedai Sinau juga menjajakan buku-buku dengan beragam tema.

Di Perpustakaan Kota Malang, ada Forum Penulis Kota Malang (FPKM) yang lazim menggelar diskusi tiap Minggu siang di areal lantai satu. Forum ini lebih mengarah pada kajian-kajian penulisan kreatif, fiksi maupun non fiksi. Fokus pada tulisan-tulisan fiksi, di jalan Diponegoro ada Forum Pelangi ampuan mbak Ratna Indraswari Ibrahim membidani bagi siapa pun yang cinta akan sastra, karangan prosa (novel, cerpen, cerbung, novellet, dll) serta puisi.

Dalam rangka menyemarakkan tradisi literasi (budaya baca-tulis), aktivis MCW (Malang Corruption Watch) menyediakan tempat bagi penulis-penulis muda Malang di jalan Kali Metro. Sehingga, pertengahan 2009, lahirlah komunitas Lembah Ibarat yang sekaligus ditandai dengan launching antologi puisi Doa Akasyah.

Dari sekian komunitas kebudayaan di Malang, yang masih aktif beroperasi hanya beberapa gelintir saja. Misalnya, Rumah Baca Cerdas (RBC) di areal Perumahan Permata Jingga yang hendak meluncurkan buku rampai, tulisan-tulisan hasil dari diskusi saban hari Jumat. RBC didirikan oleh mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) era Megawati Soekarnoputri, Bapak Malik Fadjar. Selain menjadi wahana diskusi, RBC juga perpustakaan buku yang bisa diakses oleh masyarakat umum.

Di wilayah Tumpang, Kabupaten Malang, ada pula Perpustakaan Anak Bangsa ampuan Eko Cahyono. Perpustakaan Anak Bangsa berada di wilayah pedesaan. Perpustakaan yang berdiri telah lama itu, saat ini memiliki puluhan ribu koleksi buku dengan anggota lebih dari dua ribu orang. Namun, nasib miris melanda eksistensi perpustakaan yang dikelola Eko Cahyono tersebut. Pasalnya, Perpustakaan Anak Bangsa terancam ditutup, tak lagi melayani masyarakat ihwal membaca disebabkan pengelola tak kuat lagi membayar uang sewa bangunan.

Dari kejadian yang menimpa Perpustakaan Anak Bangsa tersebut, diharap bagi pihak pemerintah Kabupaten Malang dan pihak siapa pun yang ikhlas menyalakan filantropinya membantu perpustakaan pelosok itu agar urung ditutup.

Keberadaan beragam komunitas kebudayaan merupakan aset berharga bagi masyarakat Malang. Dengan begitu, pasang surutnya komunitas kebudayaan di Malang adalah tanggungjawab kita semua, terlebih bagi generasi muda seperti mahasiswa. Membangkitkan mesin komunitas kebudayaan memerlukan kesadaran lebih dan mendalam serta aksi yang konkret dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan.

Mengaktifkan komunitas kebudayaan memang tak mudah. Dalam gerakan kebudayaan yang diimplementasikan pada komunitas-komunitas, pun juga membutuhkan mufakat kebudayaan. Budayawan Radhar Panca Dahana menjadikan mufakat kebudayaan sebagai medium tempat seniman, cendekiawan, budayawan, dan masyarakat berkumpul, mencoba menjalankan fungsi dan peran strategis serta historisnya dalam menemukan beberapa kesimpulan yang penuh visi terhadap berbagai persoalan kebudayaan (Kompas, 26/12/2009).

Medio tahun 1973, profesor Koentjaraningrat yang pakar bidang kebudayaan dihubungi wartawan Kompas untuk menulis masalah mentalitas dan pembangunan (Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cet ke 19, Tahun 2000). Pembangunan juga menyumbang problem bagi kebudayaan. Koentjaraningrat berbicara mengenai kesiapan mentalitas kita menghadapi pembangunan. Misalnya, kematangan konsepsi (pandangan), dan sikap mental terhadap lingkungan di tengah semaraknya proyek pembangunan.

Merujuk profesor Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai hasil kreasi/cipta, rasa dan karsa. Komunitas kebudayaan bukanlah semata tempat berekspresi yang hampa. Dari komunitas kebudayaan, masyarakat Malang bisa memelihara tradisi kuna dan mampu mencipta kebudayaan masa depan yang bergelimang nilai dan makna.

Ekspektasi paling besar akan eksistensi komunitas kebudayaan di Malang ialah lahirnya seniman, budayawan, dan cendekiawan baru seperti Agus Sunyoto dan Ratna Indraswari Ibrahim, dll. Lewat komunitas kebudayaan semangat mereka bisa kita warisi.

Cinta pada komunitas kebudayaan itu niscaya. Sehingga, Goethe menulis simponi kelima Beethoven, “Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, maka planet bumi ini akan lepas dari porosnya.” Di tahun yang baru ini, 2010, mari berjemaah meremajakan komunitas kebudayaan di Malang.

Kecerdasan Yahudi yang Menginspirasi


DATA BUKU:
Judul Buku : Jerome Becomes A Genius (Mengungkap Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi)
Penulis : Eran Katz
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2009
Tebal : 442 Halaman
Peresensi : A Qorib Hidayatullah

Di tengah semarak perbukuan, tema-tema buku “Melejitkan Kemampuan Otak”, acap dilirik khalayak pembaca. Harapannya, masyarakat pembaca dapat berlomba dan berikhtiar gigih mengasah kecerdasan otak masing-masing.

Hernowo, CEO Mizan Learning Center, membesut serial Quatum Reading dan Quantum Writing. Memasuki gerbang quantum Hernowo, pembaca dibimbing mampu mengubah potensi diri menjadi cahaya dengan merawat emosi positif. Emosi positif berkelindan dengan semangat, gairah, dan ketakjuban. Sedangkan quantum adalah interaksi yang mengubah potensi menjadi radiasi dengan ledakan-ledakan gairah yang menyala-nyala.

Kecerdasan tak datang tiba-tiba. Otak niscaya berkembang apabila kita hidup dalam lingkungan yang penuh tantangan. Mempelajari hal-hal baru, memecahkan masalah-masalah baru, hidup dalam lingkungan baru, hingga cerdas dalam pengayaan.

Seperti Eran Katz tulis dalam buku ini, kecerdasan bangsa Yahudi memiliki kekhasan tertentu. Buku Jerome Becomes A Genius ini memperlihatkan orang-orang Yahudi tekun mengamalkan prinsip-prinsip kecerdasan yang mereka yakini. Sejatinya, “Mereka tidak lebih cerdas, namun yang pasti mereka berhasil menggunakan kecerdasan mereka dengan sebuah cara yang berbeda.” (hlm. 45)

Beragam prinsip yang dipegang orang Yahudi. Salah satunya, mereka memanjakan imajinasi ramalan, dengan mewujudkan yang tidak mungkin dengan cara-cara yang mungkin. Sehingga dalam kehidupan yang sangat menyehari, mereka gemar dalam penyelidikan, argumentasi, serta penelitian yang luas dan mendalam mengenai berbagai hal.

Testimoni kecerdasan bangsa Yahudi telah jamak diketahui publik dunia. Albert Einstein, Alan Greenspan, Rupert Murdoch, hingga George Soros adalah orang-orang Yahudi yang hebat dan berintelektualisme tinggi. Bahkan, Charlie Chaplin di film The Great Dictator menukil, “Orang Yahudi adalah manusia luar biasa cerdas, sukses, indah, kuat, dan sangat maju.”

Kemajuan orang Yahudi juga dibuktikan dalam merajai media. Ada tiga jaringan televisi besar, ABC, NBC, dan CBS, yang dikelola orang Yahudi. Di media cetak, bangsa Yahudi menguasai Time, The Washington Post, The New York Time, dan The Wall Street Journal.

Ketertarikan Eran Katz menulis buku ini berdasar pada hasil obrolan di kafe Ladino. Eran ditemani profesor cerdas Itamar Forman dan Jerome Zomer, mahasiswa Seni dan Sains Universitas Hebrew yang bertalenta tinggi di bisnis pakaian, serta pemilik kafe Ladino, Fabio. Mereka melacak kecerdasan-kecerdasan khas para rabi (tokoh-tokoh Yahudi).

Diskusi di kafe Ladino semakin mendalam tatkala dihadiri rabi Dahari, seorang rabi pakar bahasa Ibrani, dan Joseph Hayim Schneiderman, seorang Yahudi saleh bermukim di Yeshiva. Yeshiva adalah lembaga pendidikan Yahudi. Di tempat ini mengamalkan konsep belajar dengan hevrutah (mitra belajar), belajar dengan membaca bersuara lantang sembari bergerak riang.

Prinsip keagungan bagi pelajar Yahudi diwajibkan untuk senantiasa bahagia. Mereka dianjurkan memagari kebijaksanaan dengan keheningan. Sehingga, suasana-suasana belajar didekat sebuah sungai akan memberikan ketentraman tertentu dan membuat daya ingat pelajar Yahudi menguat.

Misalnya, Solomon Shershevsky. Ia orang Yahudi berkebangsaan Rusia yang mampu mengingat segala hal dengan menggunakan teknik asosiatif berdasarkan imajinasinya yang gila. Shershevsky dapat mengingat daftar kata-kata tak bermakna yang pernah ia dengar hanya dalam sekali baca dan mengulangi keseluruhan daftar dari awal hingga akhir. Delapan tahun kemudian, saat ditanya psikolog A. L. Luria, apakah dia masih ingat pada daftar itu, Shershevsky mampu menyebut kembali seluruhnya dengan sempurna.

Kehebatan Shershevsky, pada tahun 1920, membuat para psikolog Soviet mulai mempelajari ingatannya yang luar biasa itu. Al-hasil, mereka mampu memecahkan rahasianya atas dasar olah teknik yang sama sesuai anjuran Joseph Jangkung, yaitu mengintensifkan aplikasi dari semua pancaindra. Shershevsky melihat ada warna-warna saat dia mendengar musik. Ia dapat mencium suara-suara, dan hal-hal yang cukup aneh lainnya. Misalnya, ketika berbicara dengan Vigotsky, psikolog yang pernah dikenalnya, Shershevsky menyela, “Betapa renyahnya warna kuning suara Anda!.” (hlm. 61)

Eran Katz di buku setebal 442 halaman ini memberikan dua bab khusus (bab 11 dan bab 12) menceritakan seminar daya ingat Jerome Zomer. Jerome pembelajar energik bermental bisnis, dan juga seorang Yahudi sekuler yang disebut-sebut Eran sebagai master pikiran-raksasa Yahudi.

Antusiasme konkret Jerome di bidang penguatan daya ingat menuntutnya memiliki hevrutah khusus, Itzik Ben-David. Kendati Jerome menahbis dirinya sebagai pembelajar dengan perjuangan tak mengenal kata akhir, ia juga diselimuti renik-renik romantisme. Dipengujung kehebatan dirinya, ia menyunting Lisa Goldman, seorang Yahudi religius, mahasiswi jurusan Pendidikan Yahudi Universitas Hebrew. Dan akhirnya, B’ezrat Hashem (dengan pertolongan Tuhan) pesta pernikahan mereka digelar di kafe Ladino yang khas.

Kecerdasan bangsa Yahudi sungguh menginspirasi. Prinsip inspirasi bangsa Yahudi, “Temukanlah seorang teladan untuk kau tiru, berjalanlah tepat dalam langkah-langkahnya, dan tambahkan inovasi kreatifmu sepanjang jalan itu.” (hlm. 434)

Menguak rahasia berabad-abad bagaimana tokoh bangsa Yahudi memaksimalkan fungsi otak mereka bukanlah ikhtiar yang ringan. Di buku ini, Eran Katz cukup detil menulis kecerdasan Yahudi. Hal ini tentu tak lepas dari kompetensi Eran sebagai orang yang mampu mengingat banyak hal dengan kecepatan super tinggi, hingga ia diganjar Guinness Book of World Record.

Membaca buku ini diharap mampu mengilhami kita mencicil mengamalkan teknik-teknik kecerdasan bangsa Yahudi yang inspiratif.

Buku Di Balik Penjara


Oleh: A Qorib Hidayatullah

Rupa-rupanya, penjara tak melulu sebagai tempat para pesakitan yang terpatologi secara sosial hingga akhirnya mereka tak produktif.

Banyak karya literasi bertengger dahsyat di balik terali penjara. Pada masa kolonial, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain-lain membesut pemikiran-pemikirannya di ruang tahanan. Bung Hatta menulis, “Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!.”

Berbeda dengan temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum saat sidak (inspeksi mendadak) ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Satgas mendapati ruang Lembaga Pemasyarakatan yang dihuni Artalyta Suryani (Ayin) dan Limarita (Aling) sangatlah megah. Kehidupan penjara yang ditempati mereka alegori hotel prodeo bintang lima.

Dengan ungkapannya di atas, Bung Hatta memiliki tafsir kenyamanan sendiri untuk mengusir kesumpekan dan kekejian penjara. Tentu, berbeda dengan Ayin dan Aling. Bung Hatta menjadikan buku sebagai alat kemerdekaan kreatifitas dan kronik berkarya untuk publik kendati di penjara. Bukan malah memperkaya fasilitas ruang tahanan dengan penyejuk ruangan, kulkas, TV layar datar, hingga ruang khusus karaoke seperti yang dilakoni Ayin dan Aling.

Prinsip tersebut Hatta buktikan secara konkret. Saat pengasingan dirinya oleh pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua Selatan, Bung Hatta ditemani buku sebanyak 16 peti. Di tempat pembuangan itulah Bung Hatta membesut Alam Pikiran Yunani yang pada akhirnya buku itu dijadikan mahar (mas kawin) saat menikahi Rahmi Hatta. Dan di Digul pulalah Hatta tekun menurunkan tulisan-tulisannya di surat kabar Adil, Pandji Islam, dan Pedoman Masjarakat.

Di Boven Digul yang masygul, Hatta tak sendirian. Ia ditemani pemikir kritis Sutan Sjahrir. Mereka berdua dikirim ke pembuangan di Digul pada Februari 1934. Di tengah keganasan Digul, Sjahrir juga tekun mengarsiteki tulisan-tulisannya. Tulisan terpenting Sjahrir saat di pengasingan adalah Perjuangan Kita. Tulisan ini yang dikirim langsung oleh Sjahrir dari Digul ke surat kabar Daulat Rakjat.

Sebelum di Digul, Hatta pada 23 September 1927 juga pernah mencicipi penjara di Belanda sebab aktivitas politik di PI (Perhimpunan Indonesia). Selama di ruang tahanan, Hatta merancang pledoi (pidato pembelaan) yang siap disampaikan saat persidangan. Hatta memberi judul pledoinya dengan Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).

Tak melulu Bung Hatta yang menggubah pledoi. Bung Karno saat di penjara pun juga merancang pledoi yang ampuh dengan judul Indonesia Menggugat. Pledoi itu Bung Karno sampaikan di gedung landraad (pengadilan rendah) pemerintah kolonial Hindia Belanda di Bandung. Sebab pledoi itulah, di hari kemudian gedung pengadilan tersebut diberi nama Gedung Indonesia Menggugat (GIM).

Saat Soekarno menjadi presiden dan kekuasaannya menguat, ada anak negeri ini menjadi pelahap buku yang gila dan kemudian dipenjarakan. Ia adalah Sutan Ibrahim atau lazim disebut Tan Malaka. Tan Malaka dipenjarakan karena kekukuhan mengritik kekuasan Soekarno. Dari balik pengurungan dirinya di penjara, Tan Malaka membuat buku Dari Penjara ke Penjara. Buku itu terdiri dari tiga jilid yang menjadi buku penting menjelaskan kehidupan Tan Malaka. Buku autobiografinya itu merupakan buku terakhir yang ditulis Tan Malaka sebelum ditembak oleh tentara pada 21 Februari 1949. Kendati demikian, banyak orang menjuluki Tan Malaka sebagai Bapak Republik yang terlupakan.

Di tengah asumsi masyarakat jamak, penjara sebagai tempat sangat keji, hina, dan kejam. Namun, dalam potret kelam penjara itu banyak tokoh-tokoh bangsa ini menurunkan karya-karya hebatnya di penjara. Penjara lambat laun oleh para pesakitan yang kreatif dimaknai sebagai jalan sunyi seorang penulis.

Pramoedya Ananta Toer misalnya. Pram mengamalkan perilaku prolifik saat dirinya menghabiskan separuh hidupnya di penjara. Ia kerapkali keluar-masuk penjara. Bahkan Pram sendiri pernah mengaku bahwa sejarah hidupnya adalah sejarah perampasan. Tak sedikit dari karya literer Pram dirampas sipir bahkan tentara.

Meski kebebasan dan kreatifitas Pram terenggut, ia pun telaten menyampaikan cerita-cerita kepada sesama tahanan. Pram sering bercerita saat sore hari setelah letih bekerja seharian di ladang sekitar penjara. Cerita-cerita Pram sangat inspiratif dan mampu menyalakan semangat hidup kawan-kawan sebarak.

Wilson Nadaek pernah bertutur, “Ketika seseorang telah beradaptasi dengan kondisi penjara, ia akan terbiasa hidup dalam keadaan yang tak menyenangkan. Perlahan ia mulai mengerti cara membunuh sepi dan penatnya ruang penjara, baik dengan main kartu, berbincang-bincang sesama tahanan, atau menulis.”

Alhasil, sejak di penjara di Pulau Buru, Maluku, Pram mengembrio karya agungnya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel sang maestro Pram itu acap disebut tetralogi Buru. Kesunyian penjara mampu membuat Pram meledakkan kreatifitas yang mencengangkan.

Tak salah bila Michel Foucault di bagian akhir buku Discipline and Punish mengurai genealogi penjara. Foucault berfatwa, “Dengan memasukkan narapidana ke dalam mekanismenya, penjara melatih kembali narapidana, membuatnya patuh, dan menjadikan mereka individu yang berguna.”

Di tengah cengkraman rezim pembredelan buku kembali mengemuka, selayaknya penulis-penulis kritis mencicipi kesunyian penjara sebelum bukunya dilarang dan dipenjarakan.

Diskusi RBC untuk Indonesia



DATA BUKU
Judul Buku : Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih
Penulis : Nazaruddin Malik, dkk.
Penerbit : UMM Press
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xii + 131 Halaman
Peresensi : A Qorib Hidayatullah

Buku ini diikhtiarkan sebagai kado buat Bapak Malik Fadjar di usia 70 tahun. Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) era Megawati Soekarnoputri itu adalah penggagas dan pendiri Forum Rumah Baca Cerdas yang lazim disebut RBC, bertempat di areal Perumahan Permata Jingga. RBC merupakan tempat diskusi dan perpustakaan yang bebas diakses masyarakat luas.

Sebagai tempat diskusi para pakar dan aktivis, RBC lambat laun mampu membikin notulenisasi dari hasil diskusi tahun 2009 yang acap digelar saban hari Rabu dan Jumat. Tujuan dari pembukuan hasil diskusi ini ialah merawat budaya literasi dan menggawangi pilar intelektualisme.

Di Malang tak jauh beda dengan tradisi intelektualisme di Yogyakarta. Daya intelektualisme di kota Malang kini ditengarai menggeliat gesit. Banyak komunitas seperti RBC bertebaran di mana-mana. Alangkah baik bila komunitas yang serupa dengan RBC juga turut tertular semangat membukukan hasil-hasil diskusinya.

Buku Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih memuat tumpukan tulisan beragam tema aktual sepanjang tahun 2009. Tema kebangsaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan menghiasi sekujur tubuh buku rampai ini. Tentu, tema-tema yang tampak general tersebut dikemas oleh para penulis relevan dengan fenomena-fenomena keseharian publik saat itu. Dan, para kontributor tulisan yang menulis untuk buku ini berdasar disiplin ilmu masing-masing.

Misalnya, Nazaruddin Malik yang berlatar belakang bidang ekonomi menulis Menelusuri Jalan Terjal Ekonomi dan Pendidikan dalam Kesungguhan Cita Bangsa (hlm. 77). Nazaruddin yang tiap harinya bergelut dalam pengkajian ekonomi menyoal masalah pelik Indonesia tentang kemiskinan dan pendidikan.

Jika problem pendidikan dibiarkan carut marut, tentu akan mendongkrak angka pengangguran masyarakat (kemiskinan). Beda lagi masalah pendidikan yang kini sengaja didesain komodifikasi, di mana pendidikan menjadi obyek transaksi. Mengenai hal ini, Pradana Boy ZTF, intelektual muda Muhammadiyah mengarsiteki tulisan Mencemaskan Industrialisasi Pendidikan (hlm. 103).
Pradana Boy ZTF menyoroti persoalan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan yang tampak mengindustrialisasi. Pendidikan saat ini menjelma barang mahal yang sulit dijangkau dan dibeli masyarakat. Sehingga, sekadar mencicipi pendidikan wajib sembilan tahun, masyarakat harus membayar ongkos yang mahal.

Persoalan seputar ekonomi dan pendidikan di Indonesia membutuhkan pemerintah yang mampu memantulkan aspirasi rakyat di tiap-tiap kebijakannya. Tatkala masyarakat di dua bidang ini —pendidikan dan ekonomi—tampak sengsara bagaimana dengan bidang-bidang yang lain. Alih-alih menyangsikan nasib kemakmuran rakyat, Luthfi J. Kurniawan menulis Benarkah Indonesia Negara Kesejahteraan? (hlm. 41 ).

Sebagai aktivis di Yayasan Malang Corruption Watch (MCW), Luthfi J. Kurniawan lihai membeberkan data ihwal pelayanan publik yang tak optimal. Sejatinya, lembaga-lembaga pelayanan publik mampu mengimplentasikan negara kesejahteraan. Sehingga, di negara ini dituntut adanya reformasi pelayanan publik untuk mengubah pandangan dan mental aparat birokrasi yang masih melihat pelayanan publik sebagai “pekerjaan yang dilayani” bukan “pekerjaan untuk melayani.” (hlm. 47).

Dengan kata lain, aparat birokrasi di negeri ini gemar dimanja, bukan malah memanjakan rakyatnya. Saat hanya menjadi kandidat —pilbub, pilwali, pilgub, maupun pilpres—mereka senantiasa mengumbar janji pada rakyat. Tak kalah hebatnya, wujud bahwa birokrat suka dimanja ialah saat bursa pemilihan di mana mereka berebut memasang foto-foto dirinya di sepanjang trotoar dan jalan raya. Mereka menempel foto dirinya di banner agar disanjung dan dimanja.

Fenomena politik citra tersebut dilirik kritis oleh Wahyudi Winarjo, Dekan Fisip UMM, yang menulis Menggugat Fungsionalitas Iklan Politik Caleg (hlm. 23). Wahyudi Winarjo menyitir teori simulakra Jean Baudrillard di buku The Mirror of Production (1975). Lewat teori simulakra kritis Baudrillard, para kandidat yang tampak tebar pesona dengan foto diri dan visi serta misinya saat terpilih ialah hanya simulasi-simulasi palsu yang berpotensi mengelabui kesadaran asli masyarakat. Pemilih (masyarakat) hanya disuguhi janji palsu dengan politik citra.

Di panggung politik tak melulu ada politik citra. Husnun N. Djuraid, Redaktur Malang Post menulis Pelajaran dari Okezone: Cacatan Hubungan Pers dan Pemilu 2009 (hlm. 35). Husnun N. Djuraid mengurai keruwetan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum (Pemilu), mulai ketakberesan soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) hingga masalah penghitungan kertas suara. Lebih dari itu, Cak Nun (panggilan akrab Husnun N. Djuraid) mengaitkan peran pers (media) dalam hajatan politik: Pileg ataupun Pemilu. Yang menarik, Cak Nun juga membahas kasus Okezone yang mencabut pelansiran berita mengenai money politics yang dilakukan Eddy Baskoro Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kasus Okezone tersebut sempat menghentak jagat pers.

Tulisan-tulisan yang terhimpun di buku ini memiliki ketajaman analisis masing-masing. Pembaca sedikit terganggu dengan prosesi penyuntingan yang tak total. Banyak di tiap-tiap tulisan dijumpai salah ketik dan penggunaan bahasa yang tak baku. Kendati pun, buku ini memperkaya khasanah intelektualisme di Malang, hingga buku ini layak dibaca.

Jumat, Januari 08, 2010

Menyoal Idealisme Mahasiswa di Jatim


Oleh A Qorib Hidayatullah

Ruh perjuangan mahasiswa adalah kejujuran dan keberanian, bukan ABS (Asal Bapak Senang), miminjam istilah Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (2001).

Peta perubahan yang diinisiasi mahasiswa di Jatim saat ini sangatlah miris. Aksi-aksi demonstrasi yang dibidani mahasiswa saat ini hanya menunggu lemparan isu dari media. Tak ada pembacaan independen dari mahasiswa mengawal melakukan kontrol publik atas pemerintah.

Pertanyaan yang kerap kali muncul, ke mana gerakan mahasiswa pasca reformasi? Saat ini, mahasiswa ditengarai tumpul kekritisannya. Sangat sulit bagi mahasiswa memantik critical consciousness (kesadaran kritis). Tak ayal, idealisme mahasiswa acap disuap untuk sikap bungkam tatkala dibenturkan kebobrokan penguasa.

Arief Budiman dalam Mahasiswa Menggugat, mendefinisikan mahasiswa sebagai agent of social change (agen perubahan sosial), dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Ketika dibenturkan dengan fenomena mahasiswa saat ini, tesis Arief Budiman itu seolah tidak relevan lagi. Mungkin, pandangan Arief Budiman itu lebih pas bila merepresentasikan kehidupan mahasiswa era 1998 yang mengamalkan aktivisme konkret memakzulkan rezim lalim Orde Baru, hingga terbukalah kran reformasi dan demokrasi.

Tak banyak yang bisa diharapkan dari mahasiswa era sekarang. Sejatinya, mahasiswa menekuni lahan-lahan riset akademis dan mengadvokasi rakyat lemah, malah mahasiswa saat ini lebih memilih merayakan geliat hedonisme dan konsumerisme. Hal ini ditengarai dengan intensitas mahasiswa yang lebih banyak mengunjungi mal dibanding perpustakaan dan toko buku.

Nurani Soyomukti di buku Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme (Garasi: 2008), menggambarkan secara bernas praktik peran ganda mahasiswa. Mahasiswa dalam temuan Soyomukti itu tak hanya tercitra sebagai agen perubahan dan intelektualisme, tapi pula tergurus arus seks bebas. Mahasiswa telah terjerumus pada lubang hitam hedonisme, melayani hasrat libidinal.

Pergeseran tradisi mahasiswa yang seperti itu sudah sangat menyehari. Bila dulu mahasiswa gemar diskusi, kini mahasiswa keranjingan ngerumpi. Tentu, ini wujud implikasi dari tradisi mahasiswa yang selalu istikamah berlama-lama menahan diri di depan televisi. Rupa-rupanya, media (televisi) sangat aji mumpung membikin simulasi-simulasi sosial baru bagi kehidupan mahasiswa.

Fenomena yang tragis lainnya ialah mahasiswa ditengarai absen berorganisasi. Pengalaman penulis dalam prosesi rekrutmen di organisasi sangat kesukaran mencari kader. Padahal, dengan berorganisasi mampu mengasah soft skill tentang kepemimpinan, teknik manajerial, hingga manajemen konflik.

Dibenturkan lagi dengan beban akademik, yang membikin persepsi baru mahasiswa, di mana kuliah hanya diorientasikan pada bagaimana cara lekas mendapat kerja atau karier an-sich. Sehingga, tesis Arief Budiman di atas seakan tak mengena untuk mendefinisikan secara utuh mahasiswa saat ini, di mana mahasiswa dicitakan sebagai agen pelopor.

Beda lagi, di kampus, mahasiswa kerapkali dibanyang-banyangi ketelatan dalam semester. Kampus memberlakukan pola punishment bagi mahasiswa yang tak menyegerakan dirinya untuk lulus, yaitu DO (drop out). Sungguh mengerikan! Hal itulah yang berdaya-nyala menyumbat kekritisan, dan tumpulnya kekuatan idealisme mahasiswa saat ini.

Ahmad Wahib merupakan ikon mahasiswa yang konsisten menggawangi idealisme. Sejak menapaki kuliah di FIPA (Fakultas Ilmu Pasti dan Alam) UGM Yogyakarta, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo, dan Djohan Efendi yang bertempat di rumah Mukti Ali. Diskusi digelar tiap Jumat sore dengan beragam tema yang diusung, mulai Keislaman, Politik Keindonesiaan, Sosial Kebudayaan hingga Pergerakan Mahasiswa.

Dalam menjalani hidup menjadi mahasiswa, Wahib bergelut di dunia literasi (baca-tulis). Lewat catatan hariannya yang dibukukan menjadi Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib: Cacatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), Wahib menulis beragam tema. Mulai Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan; Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air; Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuwan; hingga Pribadi yang Selalu Gelisah.
Kendati Wahib tutup umur di usia muda, ia banyak dibaca orang, semisal Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990).

Dalam cacatan harian itu, Wahib menulis khusus masalah kemahasiswaan dan keilmuwan. Misalnya Wahib menulis perbedaan antara social scientist, applied natural scientist, dan pure natural scientist. Social scientist mempelajari masyarakat dan selalu mencari metode-metode baru untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat. Mereka melakukan dan menemukan sesuatu yang belum ada sebelumnya (inovasi). Applied natural scientist berusaha mengubah apa yang diciptakan Tuhan menjadi bentuk-bentuk yang bisa lebih berguna bagi manusia. Mereka mengubah yang alami menjadi sesuatu yang belum dibuat manusia. Dan pure natural scientist berusaha mencari dan menemukan apa yang telah diciptakan Tuhan terutama hukum-hukumnya yang berlaku abadi. Mereka mempelajari yang ada, mengerti dan menemukan sesuatu asas atau hukum di dalamnya (hlm. 278-279).

Misi idealisme mahasiswa itu niscaya. Mahasiswa diharap mampu membikin rekayasa sosial baru, sebagai agen intelektual (keilmuwan) yang bertanggung jawab atas proses perubahan sosial di masyarakat. Memegang teguh pijakan-pijakan kepentingan kemanusiaan dibanding kepentingan politis.

Sehingga, Goethe menulis simponi kelima Beethoven, “Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, maka planet bumi ini akan lepas dari porosnya.” Aksi dan perjuangan memang harus diprakarsai dengan berjemaah, bersama-sama, demi meneguhkan semangat luhur idealisme mahasiswa.

Jumat, Desember 04, 2009

Kurban Buku ala John Wood


oleh A Qorib Hidayatullah
[Digunting dr Jawa Pos, 29 November 2009]

BERKAT Microsoft, John Wood bergelimang harta dan materi. Namun, dia kemudian memilih banting setir, menjadi seorang filantropi untuk masyarakat negara-negara miskin. Dia sedang membangun 7.000 per­p­us­takaan di pelosok dunia.

***

Ada benarnya petuah buku-buku how to (bu­­ku serial motivasi) bahwa hidup mapan tak menjamin kebahagiaan seseorang. Se­per­ti yang dijalani John Wood, mantan bos Mi­crosoft. Profesi, gaji, dan saham menjadi per­taruhan John Wood yang kemudian memi­lih tenggelam dalam arus kemanusiaan.

Sejak kecil, John Wood memang gemar mem­baca. Menurut pengakuannya, saat ma­sih SMP, dia kerap menambah stok pinjaman bu­kunya di perpustakaan sekolah. Dia sering me­rayu pihak manajemen perpustakaan seko­lah agar bisa meminjam buku lebih banyak. Dia pun akhirnya diperbolehkan meminjam buku lebih banyak daripada siswa-siswa lain.

Keranjingan baca John Wood berjalan hing­ga dia dewasa. Dia lalu menggagas ber­di­rinya lembaga nirlaba Room to Read pa­da 1999. Lembaga itu bergerak di bidang pembangunan sekolah-sekolah serta penyediaan buku-buku untuk anak-anak di negara miskin.

Keteguhan cintanya pada dunia literasi (ba­ca-tulis) dibuktikan John Wood dengan se­penuh hati. Dia amat rajin mengisi jurnal ha­riannya. Misalnya, catatan perjalanan saat dia berekspedisi menaklukkan keangkuhan pun­cak Himalaya. Dalam perjalanannya itu, John Wood menyaksikan langsung kemela­ra­tan dunia ketiga (Nepal) yang kesulitan men­dapatkan akses pendidikan. Mayoritas ma­s­yarakatnya mengalami buta huruf. Ba­nyak sekolah yang dikelola apa adanya. Se­kolah-sekolah di wilayah Kathmandu, ibu kota Nepal, yang dikunjungi John Wood, tak memiliki banyak buku di perpus­takaannya. Pihak sekolah pun tidak tahu ke­pada siapa mereka harus miminta bantuan. Akhirnya, pengelola sekolah berinisia­tif mengetuk hati para pendaki pegunungan Hi­malaya, termasuk John Wood, agar mau mem­bantu mereka.

Potret kelam itulah yang memantik sema­ngat John Wood menjadi filantropi untuk pro­gram pemberantasan buta huruf, mem­bangun gedung sekolah, dan mengasah gai­rah membaca warga dunia ketiga (Nepal, India, Vietnam, Kamboja, dan lain-lain). Sepulang dari pendakian di pegunu­ngan Himalaya, John Wood langsung me­la­yangkan surat elektronik (e-mail) kepada te­man, kerabat, dan para donasi di seluruh du­nia. Dia mengabarkan kesaksiannya di Ne­pal. Pengalaman menjadi direktur bidang pemasaran Microsoft di wilayah Asia Pa­sifik menjadikan John Wood tak kesulitan untuk menarik simpati dunia dalam aksi voluntirnya itu.

Personifikasi John Wood memang sangat me­narik. Dia tak tergilas oleh mesin hitam-pu­tih bisnis kapitalisme Microsoft. Kenda­ti bekerja cukup lama di Microsoft, dia te­tap meluangkan waktu untuk kegemarannya membaca dan menulis buku. John Wood bercita-cita mewarisi semangat man­tan Presiden AS Jimmy Carter yang dia a­le­­gorikan sebagai ''Si Pengasih Manusia''. Dalam buku The Unfinished Presiden­cy (1998), dia menceritakan kisah perjalanan Jimmy Carter di luar Gedung Putih. Car­ter menahbiskan dirinya sebagai peker­ja sosial yang membangun tempat tinggal bersama Habitat for Humanity dan memantau pemilihan umum di seluruh dunia untuk mem­berikan aspirasinya.

Pada awal 1990, Carter memimpin gerakan sosial memberantas penyakit cacing guinea. Parasit mikroskopis itu telah menyengsarakan jutaan orang di Afrika dan Asia. Carter bersama William Foege, mantan kepala Centers for Disease Control (Pusat Pengendalian Penyakit di AS), perlu meyakinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memilih penyakit cacing guinea sebagai penyakit kedua yang harus diberantas dari muka bumi, setelah cacar.

Berkat kegigihannya melayani kemaslahatan manusia, John Wood bersama Room to Read berhasil menyita simpati masyarakat internasional. Dia pun layak mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya anugerah Time Asia's Heroes Award 2004.

Dalam setiap aksi amalnya tersebut, John Wood tak pernah menampilkan sisi kelam ma­nusia, malapetaka, dan kesuraman. Se­ba­­liknya, dia selalu menunjukkan optimis­me penuh harapan di daerah garapannya. Dalam lembar-lembar proposal yang dikirim­kan ke para donatur, dia tak pernah me­lampirkan foto-foto anak yang dikerubu­ngi lalat atau potret keluarga kurang gizi yang berbaring dalam debu. Dia tak me­nga­mal­kan idiom ''Tangisan Panjang Sally Struthers''.

Ada lima prinsip yang dipegang John Wood untuk meyakinkan para donatur. Sa­lah satunya dengan mengatakan, ''Orang-orang sedang mencari lebih banyak makna da­lam hidup mereka. Mendanai pendidikan akan memberikan suatu perasaan yang he­bat bahwa Anda telah membantu mengubah dunia menuju lebih baik.''

Kini, Room to Read berkembang pesat di ba­nyak negara. John Wood tak lagi sendiri. Dia didukung para pahlawan yang berlomba-lomba membantu mengembangkan Ro­om to Read.

Di Tumpang, Kabupaten Malang, ada Per­pustakaan Anak Bangsa ampuan Eko Cah­yono yang gerakannya mirip seperti di­lakukan John Wood dengan Room to Re­ad-nya. Namun, untuk mengembangkannya, dia butuh support dari berbagai kala­ngan, termasuk pemerintah. Hal itu dilakukan agar perpustakaan yang kini memiliki pu­luhan ribu koleksi buku dan beranggota lebih dari dua ribu orang itu mati setelah pengelolanya tak kuat lagi membayar uang sewa bangunan. (*)

Minggu, November 08, 2009

Melampaui Ikhtiar Ahmad Wahib


Oleh A Qorib Hidayatullah

“Aku ingin al-Quran itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah salama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimana mengintegrasikan al-Quran itu dalam kepribadianku? Bagaimana?” (Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib LP3ES: Cet I 1981). Ditulis pada tanggal 11 Maret 1969, hlm 320.

Prolog
Hingga kini, titik keyakinan saya pada wacana keislaman kaitannya dengan HMI, buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), bisa dijadikan pemantik tunggal diskusi keseharian tentang Islam. Jika tak berlebihan, buku itu selalu relavan dengan keadaan zaman. Sebab, Ahmad Wahib pada tahun 70-an mampu mengarsiteki tema-tema diskusi tentang teologi, pembaharuan pemahaman Islam, politik, dan kebudayaan, di mana masalah-masalah yang diusung dalam tiap-tiap tema diskusi tersebut tampak melampaui pemikiran arus utama, Wahib mampu melirik kritis permasalahan-permasalahan keislaman dan keindonesiaan masa depan.

Ahmad Wahib dilahirkan di Sampang, Madura, 9 November 1942. Menapaki pendidikan di perguruan tinggi, UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA). Kendati mahasiswa eksakta, Wahib gemar membaca buku-buku ilmu sosial modern. Wahib bukan tipikal mahasiswa yang mengamalkan prinsip 3 K (kampus, kantin, dan kos-kosan).

Ia sangat gemar membaca dan berdiskusi. Al-hasil, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo serta Djohan Efendi yang bertempat di rumah Prof. Mukti Ali (dosen IAIN Sunan Kalijaga saat itu).
Dalam kehidupan menjadi mahasiswa, Wahib melakoni aktivisme konkret. Ia berorganisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), hingga menjabat pengurus Badko (Badan Koordinator) HMI Jawa Tengah. Kaitannya dengan HMI, Wahib menjadi pengkritik (insider) bagaimana kader-kader HMI mampu memahami sebagai insan akademis, insan pencipta, dan insan pengabdi.

Sayangnya, Wahib lekas tutup umur di usia muda (31 Maret 1973). Ia tertabrak motor saat keluar dari kantor majalah Tempo Jakarta. Meski mati muda, Wahib tak hidup sia-sia. Ada 2 (dua) outsider (peneliti dari luar), Greg Barton dan A. H. John, yang membicarakan Wahib secara bernas. Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djogan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990).

Wahib dan Islam yang belum usai
Dari sekilas kehidupan Ahmad Wahib itu, saya hendak mengajak kawan-kawan mengamalkan geliat intelektualisme keislamannya Wahib. Minimal kawan-kawan membaca buku catatan harian Ahmad Wahib itu. Sehingga, dari situ kawan-kawan mampu mewarisi ide cemerlang dari Wahib.

Wahib pemuda yang berani. Ia tanpa rasa takut sedikitpun mendiskusikan masalah-masalah tauhid (teologi). Keislaman yang hendak dicapai Wahib adalah keislaman yang selalu dan harus terus dicari (proses), yang belum usai. Bagi Wahib, orang yang menganggap bahwa Islam itu sudah final dan universal adalah sesat (sikap berpikir yang salah). Wahib tidak setuju bila Islam dianggap agama yang telah lengkap bekal untuk menjawab masalah-masalah kemanusiaan dan kehidupan. Hal ini, kata Wahib, hanya akan membawa pada kejumudan, kemandekan, statis, dan bekunya Islam.

Lebih jauh, Wahib mengatakan bahwa kebekuan umat Islam disebabkan pada orientasi yang sangat kuat terhadap syariat (fiqh mainded). Orientasi keagamaan yang seperti itu akan memunculkan keberagamaan yang formalistik dan artifisial, lalu menggiring kepada eksklusivisme agama. Fiqh, menurut Wahib tak lain adalah hasil interpretasi ajaran Islam di suatu tempat dan waktu tertentu. Ia tak bisa dianggap dan disikapi secara sama seperti al-Quran maupun hadist. Jika al-Quran dan hadist adalah sumbernya, maka fiqh adalah penafsiran atas kedua sumber tersebut. Sebab, fiqh ialah hasil penafsiran kontekstual, sehingga fiqh tidak mutlak.

Dengan demikian, Wahib bukan penganut agama yang hitam putih (halal-haram). Ia dalam beragama sangat toleran, memperjuangkan nilai-nilai keragaman dalam agama. Di Yogyakarta, Wahib bermukim di asrama Katolik, asrama mahasiswa Realino. Sehingga, ia pun kenal dan kerapkali diskusi dengan pemuka Ordo Jesuit, seperti Bruder Van Zon, Romo Stolk, Romo Willenborg, dan Romo De Biliot. Hal ini wujud inklusivisme (keterbukaan) keberagamaan Wahib.

Dalam memahami Islam, Wahib menjadikan akal sebagai alat. Ia tidak cukup memiliki bekal “studi agama” yang rumit untuk memahami Islam. Penggunaan akal bagi Wahib tidak terbatas pada fungsi akal sebagai salah satu sarana memahami realitas dan hakikat agama. Akal yang dimaksud Wahib adalah akal bebas dan akal sistematis sebagai seperangkat ilmu.

Dengan akal bebas, seseorang akan bisa memahami segala fenomena dari sudut pandang ia sebagai manusia, bukan dari sudut pandang Ilahiah (Tuhan). Sebab hakikatnya, pengetahuan terhadap yang Ilahi mempunyai konsekuensi bagi kehidupan dan kepentingan manusia sendiri, dan bukan kepentingan Tuhan. Serta, manusia itulah yang paling mengetahui keadaannya sendiri. Sedangkan akal sebagai seperangkat ilmu bisa diartikan sebagai metode (cara) untuk memahami realitas secara lebih sistematis (tersusun).

Kepercayaan Wahib yang begitu mengagungkan kemampuan akal menghantarkannya berada pada barisan kaum rasionalis, atau dalam istilah Greg Barton sebagai pemikir liberal. Implikasinya, pemahaman Islam yang dikembangkannya memiliki kekhasan tersendiri yang ditengarai berbeda dengan paham kebanyakan umat Islam lainnya. Islamnya Wahib adalah Islam yang rasional, inklusif, pluralis, dan toleran.

Sejarah Ahmad Wahib adalah sejarah pergulatan, doktrin, dan realitas sosial. Mari ramai-ramai mewarisi semangat Ahmad Wahib. Menahbis diri menjadi Wahibian, pengikut Ahmad Wahib. ***

Minggu, Oktober 25, 2009

Kebajikan Khas Manusia Unggul (Ulul Albab)


Oleh A Qorib Hidayatullah

Syahdan, John Wood, dewan eksekutif Microsoft melakoni tradisi hidup unggul. Lewat proyek raksasa di bidang humaniora (Room to Read) yang mengarsiteki 7.000 perpustakaan di seluruh pelosok dunia, John –sapaan akrab John Wood– rela menanggalkan karir cemerlang di Microsoft lalu dia tapaki hidup mendengar jerit lirih panggilan kemanusiaan, yaitu meminimalisir angka buta huruf warga dunia ketiga, Nepal.

Jika jamak dipahami bahwa ulul albab sebagai representasi dari orang-orang yang memiliki daya intelektual tinggi dan keteguhan hati, maka sangat membanggakan bila UIN Maulana Malik Ibrahim terus menggawangi mahasiswanya dengan laboratorium ulul albab. Sebuah laboratorium kebajikan hidup yang hendak menyutradarai manusia-manusia unggul dengan 4 (empat) kekuatan khas: Kedalaman Spiritual, Keagungan Akhlak, Keluasan Ilmu, dan Kematangan Profesional.

“Pikiran picik membicarakan orang lain. Pikiran biasa membicarakan kejadian. Pikiran besar membicarakan ide-ide.” (Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness: 2008). Manusia unggul diharap mampu membicarakan tentang ide-ide besar. Ia berada pada bayang-bayang kebesaran (shades of greatness). Buku Universitas Islam Unggul; Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam (UIN Malang Press: 2009), Prof. Dr. Imam Suprayogo menjadikan mimpi (ide) sebagai signature strength berkembang dan besarnya kampus UIN yang beliau pimpin. Intelektualisme kampus ulul albab lahir dari tradisi keilmuwan yang mapan (sintesis agama dan sains).

Teori Manusia Unggul

Jalaluddin Rakhmat –akrab disapa Kang Jalal–, pemikir modern Islam di Indonesia memberi alegori khusus bagi manusia unggul, yaitu manusia besar (Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar: 1999). Kang Jalal merujuk teori-teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarah). Thomas Carlyle, misalnya, adalah penulis buku Heroes and Hero Worshipers (Para Pahlawan dan Pemujaan). Menurut Carlyle, sejarah adalah biografi manusia besar “history of the world is the biography of the great man.” Pada salah satu bagian dalam bukunya, Carlyle menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, Pahlawan sebagai Nabi.

Lebih lanjut, Thomas Carlyle, filosof dan sejarawan Skotlandia itu, membesut aforisme seperti ini, “Pada seluruh babakan sejarah dunia, kita akan menemukan manusia besar (unggul) sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya; sebagai sambaran kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah dunia… hanyalah biografi manusia besar.”

Dalam teori Carlyle, seorang manusia unggul adalah intelektual universal. Ia berpijak pada nilai-nilai universal dan mengubah manusia sejagat. Perubahan yang dilakukan bukan semata-mata karena kemampuan intelektualnya, melainkan lebih banyak karena kemampuan bertindaknya. Manusia unggul adalah “man of actions”, lebih dari “man of thoughts.” Ketika manusia unggul itu bertindak, ia ditanggapi, dibalas, dan disambut oleh masyarakat luas, atau massa yang besar dan setia. “Kita semua mencintai, menghormati dan merunduk pasrah pada manusia di hadapan manusia unggul. Masyarakat ditegakkan di atas pemujaan pahlawan, hero-worship.

Berbeda dengan Ali Syariati dalam memahami manusia unggul. Pemikir asal Iran itu mengidentikkan manusia unggul dengan manusia yang berkapasitas intelektual canggih. Namun, Ali Syariati lebih rinci lagi membagi 2 (dua) kategorisasi orang pintar: ilmuwan dan intelektual. Ilmuwan bersifat universal. Ia diterima di mana pun. Newton adalah ilmuwan di Inggris, Jerman, Jepang, hingga di Indonesia, dll. Sedangkan intelektual lebih bersifat lokal. Ia adalah orang yang berhasil menangkap dan memahami realitas bangsanya. Ia memengaruhi bangsanya dengan berpijak pada nilai-nilai yang dianut bangsanya. Sebab itu, Jean Paul Sartre, hanya bisa menjadi intelektual Perancis. Ia tidak cocok di negara lain.

Tak semua orang bisa ditahbis sebagai manusia unggul. Mungkinkah terjadi perubahan besar dalam sejarah umat manusia sekiranya Muhammad SAW tidak lahir? Hanya orang yang memungkinkan dirinya saja bakal menjadi pemimpin tangguh, yang lahir dari rahim manusia unggul (ulul albab). Sebab, mereka memberi bekas yang abadi di dalam jejak-jejak sejarah, lasting imprint in history.

Keunggulan manusia ialah kesahajaan dan kemuliaan (isy kariman au mut syahidan). Mampu memperjuangkan hidup secara mulia, bukan malah takut hidup dan mengakhiri hidup dengan mimpi buruk mati bunuh diri (terorisme). Meraih derajat manusia unggul merupakan avonturisme pencarian hidup. Manusia unggul hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mau mengupayakan, dan orang yang gemar membicarakan hal-hal yang mungkin.

Dalam tradisi masyarakat Timur, sebagai homo simbolakum, manusia unggul bukan pada status sosialnya yang mentereng (self glory). Kajian teori kritis memaparkan, status sosial manusia modern (Barat) diditerminasi oleh pola konsumsinya. Dalam perspektif Baudrillard, konsumsi berkaitan dengan tanda. Dalam mengonsumsi, sesungguhnya pribadi manusia menentukan diri mereka sendiri. Woodward meyakinkan, manusia dinyatakan berbeda antara satu dengan yang lain menurut barang yang mereka beli. Semakin tinggi tingkat konsumsi (akses modal) manusia modern Barat, maka status sosialnya makin terangkat dan menjadi manusia unggul.

Manusia unggul (kader ulul albab) bukan sebuah identitas sosial yang berkaitan dengan labelik konsumtif-material (akses modal). Manusia unggul ulul albab ialah manusia yang memiliki kebajikan khas (seperti tokoh-tokoh yang penulis sitir di atas), progresif-transformatif, nyaman bergelut dengan pengetahuan dan berani bertarung di pentas akademis-ilmiah. Dengan kata lain, manusia unggul ulul albab berada pada titik genius keprigelan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridhai Allah SWT.

Selasa, September 15, 2009


MOHON MAAF LAHIR BATHIN.

SALAM TAKZIM,
A Qorib Hidayatullah & Tri Wahyuni
Sekeluarga...