Jumat, Januari 08, 2010

Menyoal Idealisme Mahasiswa di Jatim


Oleh A Qorib Hidayatullah

Ruh perjuangan mahasiswa adalah kejujuran dan keberanian, bukan ABS (Asal Bapak Senang), miminjam istilah Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (2001).

Peta perubahan yang diinisiasi mahasiswa di Jatim saat ini sangatlah miris. Aksi-aksi demonstrasi yang dibidani mahasiswa saat ini hanya menunggu lemparan isu dari media. Tak ada pembacaan independen dari mahasiswa mengawal melakukan kontrol publik atas pemerintah.

Pertanyaan yang kerap kali muncul, ke mana gerakan mahasiswa pasca reformasi? Saat ini, mahasiswa ditengarai tumpul kekritisannya. Sangat sulit bagi mahasiswa memantik critical consciousness (kesadaran kritis). Tak ayal, idealisme mahasiswa acap disuap untuk sikap bungkam tatkala dibenturkan kebobrokan penguasa.

Arief Budiman dalam Mahasiswa Menggugat, mendefinisikan mahasiswa sebagai agent of social change (agen perubahan sosial), dan director of change (pengarah perubahan) yang berpihak pada kebenaran dan keadilan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Ketika dibenturkan dengan fenomena mahasiswa saat ini, tesis Arief Budiman itu seolah tidak relevan lagi. Mungkin, pandangan Arief Budiman itu lebih pas bila merepresentasikan kehidupan mahasiswa era 1998 yang mengamalkan aktivisme konkret memakzulkan rezim lalim Orde Baru, hingga terbukalah kran reformasi dan demokrasi.

Tak banyak yang bisa diharapkan dari mahasiswa era sekarang. Sejatinya, mahasiswa menekuni lahan-lahan riset akademis dan mengadvokasi rakyat lemah, malah mahasiswa saat ini lebih memilih merayakan geliat hedonisme dan konsumerisme. Hal ini ditengarai dengan intensitas mahasiswa yang lebih banyak mengunjungi mal dibanding perpustakaan dan toko buku.

Nurani Soyomukti di buku Dari Demonstrasi hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme (Garasi: 2008), menggambarkan secara bernas praktik peran ganda mahasiswa. Mahasiswa dalam temuan Soyomukti itu tak hanya tercitra sebagai agen perubahan dan intelektualisme, tapi pula tergurus arus seks bebas. Mahasiswa telah terjerumus pada lubang hitam hedonisme, melayani hasrat libidinal.

Pergeseran tradisi mahasiswa yang seperti itu sudah sangat menyehari. Bila dulu mahasiswa gemar diskusi, kini mahasiswa keranjingan ngerumpi. Tentu, ini wujud implikasi dari tradisi mahasiswa yang selalu istikamah berlama-lama menahan diri di depan televisi. Rupa-rupanya, media (televisi) sangat aji mumpung membikin simulasi-simulasi sosial baru bagi kehidupan mahasiswa.

Fenomena yang tragis lainnya ialah mahasiswa ditengarai absen berorganisasi. Pengalaman penulis dalam prosesi rekrutmen di organisasi sangat kesukaran mencari kader. Padahal, dengan berorganisasi mampu mengasah soft skill tentang kepemimpinan, teknik manajerial, hingga manajemen konflik.

Dibenturkan lagi dengan beban akademik, yang membikin persepsi baru mahasiswa, di mana kuliah hanya diorientasikan pada bagaimana cara lekas mendapat kerja atau karier an-sich. Sehingga, tesis Arief Budiman di atas seakan tak mengena untuk mendefinisikan secara utuh mahasiswa saat ini, di mana mahasiswa dicitakan sebagai agen pelopor.

Beda lagi, di kampus, mahasiswa kerapkali dibanyang-banyangi ketelatan dalam semester. Kampus memberlakukan pola punishment bagi mahasiswa yang tak menyegerakan dirinya untuk lulus, yaitu DO (drop out). Sungguh mengerikan! Hal itulah yang berdaya-nyala menyumbat kekritisan, dan tumpulnya kekuatan idealisme mahasiswa saat ini.

Ahmad Wahib merupakan ikon mahasiswa yang konsisten menggawangi idealisme. Sejak menapaki kuliah di FIPA (Fakultas Ilmu Pasti dan Alam) UGM Yogyakarta, Wahib membikin limited group (kelompok diskusi) bersama M. Dawam Rahardjo, dan Djohan Efendi yang bertempat di rumah Mukti Ali. Diskusi digelar tiap Jumat sore dengan beragam tema yang diusung, mulai Keislaman, Politik Keindonesiaan, Sosial Kebudayaan hingga Pergerakan Mahasiswa.

Dalam menjalani hidup menjadi mahasiswa, Wahib bergelut di dunia literasi (baca-tulis). Lewat catatan hariannya yang dibukukan menjadi Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib: Cacatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: Cet I 1981), Wahib menulis beragam tema. Mulai Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan; Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air; Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuwan; hingga Pribadi yang Selalu Gelisah.
Kendati Wahib tutup umur di usia muda, ia banyak dibaca orang, semisal Greg Barton membesut Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Pustaka Antara: 1999), dan A.H. John membikin tulisan di jurnal Ulumul Qur’an Vol. III No. 2, Sistem atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Cacatan Harian Ahmad Wahib (1990).

Dalam cacatan harian itu, Wahib menulis khusus masalah kemahasiswaan dan keilmuwan. Misalnya Wahib menulis perbedaan antara social scientist, applied natural scientist, dan pure natural scientist. Social scientist mempelajari masyarakat dan selalu mencari metode-metode baru untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat. Mereka melakukan dan menemukan sesuatu yang belum ada sebelumnya (inovasi). Applied natural scientist berusaha mengubah apa yang diciptakan Tuhan menjadi bentuk-bentuk yang bisa lebih berguna bagi manusia. Mereka mengubah yang alami menjadi sesuatu yang belum dibuat manusia. Dan pure natural scientist berusaha mencari dan menemukan apa yang telah diciptakan Tuhan terutama hukum-hukumnya yang berlaku abadi. Mereka mempelajari yang ada, mengerti dan menemukan sesuatu asas atau hukum di dalamnya (hlm. 278-279).

Misi idealisme mahasiswa itu niscaya. Mahasiswa diharap mampu membikin rekayasa sosial baru, sebagai agen intelektual (keilmuwan) yang bertanggung jawab atas proses perubahan sosial di masyarakat. Memegang teguh pijakan-pijakan kepentingan kemanusiaan dibanding kepentingan politis.

Sehingga, Goethe menulis simponi kelima Beethoven, “Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, maka planet bumi ini akan lepas dari porosnya.” Aksi dan perjuangan memang harus diprakarsai dengan berjemaah, bersama-sama, demi meneguhkan semangat luhur idealisme mahasiswa.