Selasa, Februari 19, 2008

Mengenang Soeharto dalam Cerpen Indonesia


Oleh: A. Qorib Hidayatullah



Haji Muhammad Soeharto telah berpulang selamanya, menghadap keharibaan Tuhan Yang Mana Esa. Minggu, 27 Januari 2008 jam 13.10 WIB adalah hembusan nafas terakhir mantan Presiden kedua RI itu meninggalkan seluruh rakyat bumiputra. Kala resonansi medis berhenti, tak bergetar lagi, pertanda nyawa hengkang dari jasad manusia. Tak satupun relikui kehidupan dibawanya menuju liang lahat, tempat persemayaman terakhir.


Ada silogisme (hukum penalaran) yang meniscayakan kematian: “Semua manusia mati. Socrates manusia, Socrates mati.” Kematian! Siapakah yang mampu menampiknya? Tak seorangpun –-juga sang patriarkh yang dielu-elukan oleh begitu banyak manusia itu. Hanya derap serempak ungkap ratap: “Selamat jalan Pak Harto.” Rest in peace…


Pak Harto saking lamanya memimpin bangsa ini, 32 tahun, memagnet pesastra mendedah ihwal “kekuasaannya” dalam cerita pendek. Antologi cerpen yang berjudul “Soeharto dalam Cerpen Indonesia” yang diterbitkan Bentang, 2001, dengan penyunting naskah M Shoim Anwar. Cerpen tersebut merupakan hasil gubahan kolektif dari sastrawan andal tanah air: YB Mangunwijaya, Seno Gumira Ajidarma, Taufiq Ikram Jamil, F Rahardi, Joni Ariadinata, Indra Tranggono, M Fudoli Zaini, Jujur Prananto, Agus Noor, Sunaryono Basuki KS, Bonari Nabonenar, Moes Loindong, dan Troyanto Triwikromo.


Di cover muka buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia itu, terilustrasi bahwa Soeharto adalah seorang raja Jawa, yang sarat dengan atribut kebesarannya, duduk diatas singgasana, berpose stereotip yang memancarkan kekuasaan.


Secara jujur, Soeharto tergolong tokoh yang sangat penting dalam preseden sejarah Indonesia. Ia mampu mempersatukan sekian ratus kelompok etnik dan kebudayaan menjadi suatu republik yang disegani, pastilah tak lepas dari strategi pengaturan kekuasaan yang hebat dari seorang Jendral Besar tersebut. Kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang terbentuk selama pemerintahan Soeharto tidak hanya terasa dilapisan atas, tetapi sampai ke lapisan masyarakat yang paling bawah (grass root).


Situasi yang diciptakannya itu pasti saja menimbulkan korban, sebab tidak pernah ada keadaan yang tidak memakan korban. Dalam zaman-zaman sebelumnya dinegeri kita ini juga banyak yang dikorbankan demi berlangsungnya kekuasaan. Jika yang menjadi korban itu mampu menyusun kekuatan, dan jumlahnya semakin besar, kecenderungan yang kemudian timbul adalah penumbangan kekuasaan.


Sejarah, konon, akan terus berulang sehingga ada baiknya jika kita belajar dari sejarah. Sejarah, kata para sejarawan, ditulis oleh pihak yang menang. Dan sastrawan ternyata bukan sejarawan yang mengikuti keyakinan itu. Sastrawan “hanya” memberikan tanggapan terhadap apa yang terjadi disekitarnya, sekaligus memberikan penilaian pribadinya.


Soeharto, seorang Jawa yang menjadi “raja Jawa” di Indonesia, yang sekaligus juga memberi konotasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Sikap kepemimpinannya yang terakhir itu (“sewenang-sewenang”), membikin semakin banyak yang tertindas dan semakin luas kekuatan yang menentangnya.


Dalam masyarakat dimanapun, sastra mempunyai fungsi yang tidak pernah tunggal. Jika pantun bisa menjadi sarana menghubungkan manusia dengan intelegensia abadi dalam hati, sastra boleh dipergunakan untuk menyebarluaskan agama, menggambarkan cinta kasih, mengungkapkan perasaan remaja, menggoda kita untuk tertawa, bahkan sekadar mengajak kita bermain-main. Dan tentu saja, sastra juga untuk menyampaikan kritik dan kemarahan terhadap segala sesuatu yang terjadi disekeliling kita.


Nada cerita Soeharto dalam Cerpen Indonesia, memotret “kekuasaan” Soeharto dari satu sisi, yang pada taraf tertentu seragam. Antara lain tentu karena keyakinan bahwa sastra memiliki fungsi untuk membela kaum miskin tabah tuna daya (tertindas). Atau bisa juga dikatakan bahwa strategi Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya berhasil, antara lain dengan cara memaksakan cara berpikir seragam kepada rakyat.


Itulah menurut keyakinan sementara orang tentang hakikat kesusastraan. Kita tahu, dalam banyak karya sastra klasik para sastrawan bahkan menggubah fiksi mengenai asal-usul raja yang kemudian oleh rakyat banyak dianggap sebagai fakta. Mungkin sekali para penulis cerpen dibuku itu tidak secara langsung menciptakan fiksi tentang Soeharto. Apa yang diciptakan oleh para penulis cerpen tersebut tentu saja bisa ditujukan terhadap rezim jenis apa saja, disini maupun negeri lain.


Setidaknya dalam kumpulan cerpen itu muncul kesan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Indonesia ini, meminjam kata pengantar editornya (M Shoim Anwar), “Soeharto-lah yang harus bertanggung jawab.” Kemudian muncul kecenderungan dikalangan para sastrawan untuk membela para korban kekuasaan. Selama kekuasaan itu masih belum tergoyahkan, para sastrawan mencari berbagai cara untuk menyiratkan atau “menyembunyikan” kemarahan dan kejengkelannya dalam berbagai bentuk, simbolik maupun metaforik. Sastra dijadikan mesiu perlawanan.


Dalam sejumlah cerpen yang umumnya sudah mencapai taraf komposisi yang menarik, kita menyaksikan proses pengabadian suatu rezim, dan karena hakikat sastra, Soeharto pun menjadi sosok kekal. Meski, di cerpen itu kita tidak mendapati nama mantan Presiden kedua RI itu. Yang ada hanya simbolisasi “kekuasaan” Soeharto yang memberi ruh besar dalam karya cerpen tersebut.


Kendati pun, kita (rakyat Indonesia) memiliki kesan beragam cara mengenang Bapak Pembangunan yang telah tiada itu. Bagi para aktivis gerakan demokrasi yang menjadi korban kebijakan represif di era Orde Baru, Soeharto dikenang sebagai tokoh diktator. Namun, bagi sejumlah pejabat di era kepemimpinannya, Soeharto adalah pejuang dengan jasa besar.


Alangkah baiknya kita menyimak garitan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono, “Ziarah”, 1969: dengan kaki telanjang; kita berziarah/ke kubur orang-orang yang/telah melahirkan kita//Jangan sampai mereka terjaga!/Kita tak membawa apa-apa//Kita tak membawa kemenyan atau pun bunga-bunga;/kecuali seberkas rencana-rencana kecil (yang senantiasa tertunda-tunda) untuk/kita sombongkan kepada mereka.


Pada akhirnya, tidak pernah ada malaikat diantara kita. Kini pemimpin itu telah pergi meninggalkan kita semua. Bagaimana bangsa ini mengubah persepsi menjadi visi. Mengatasi keduniawian dengan kesejatian. Menggeser hadirin dari kepala ke nurani mereka. Kekurangan yang dimiliki Pak Harto tak harus menghapuskan kelebihannya.


Sabtu, Februari 02, 2008

Mengakrabkan Sastra Kepada Tuhannya


Judul Buku : Nabi Tanpa Wahyu
(Esei-esei Sastra Perlawanan)
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : Pustaka Pujangga Lamongan
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : xii + 218 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*



Bertumpu pada kesadaran tertingginya, manusia akan mewujud melebur kedalam huruf, kata, hingga kalimat-kalimat. Manusia dapat bebas tentukan langgam tema karya sastra yang ia hasilkan. Menembus kanon sastra menjadikannya lentur. Memagnet pesastra pemula asyik-masyuk bergelut dengan dunia sastra yang tak lagi garang penuh aturan. Sehingga, terengkuh energi kreatifitas yang tak melulu membincang ihwal “langit” dari sumber tunggal (simbol agama). Serasa gawat, bila ada pemasungan kompleksitas dunia pada satu ruang agama formal.


“Bila Tuhan menubuh pada dunia, dan ruh menubuh pada badan manusia, maka kesadaranlah menubuh pada kata-kata.” Begitulah garitan kalimat mukaddimah gubahan Hudan Hidayat (HH) “Kredo Seni di Atas Kredo Puisi” dalam buku ini. Kata-kata adalah ruang bagi kesadaran untuk berdiam mengeram. Karena itu kata-kata memang alat untuk menampung kesadaran.


Nabi Tanpa Wahyu HH memuat 26 esai sastra perlawanan. HH mengajak kita (utamanya penulis sastra pemula) agar bebas temukan kemandirian genre sastra yang mengeruhi karya sastra kita kelak. Garis bernas esai HH menyiratkan bahwa beragam rute jalan mengakrabkan sastra kepada Tuhannya. HH berani berpolemik panjang nan meletihkan, demi perjuangkan kemerdekaan ekspresi tuangkan imaji.


Tamsil menggugah HH: “Dengan mengabarkan kesyahduan dan kegilaan, sisi kemanusiaan menjadi lengkap, orang bisa berkaca padanya untuk menggenapkan kehidupan. Orang bisa berkaca padanya untuk sampai pada kebajikan.” Disini HH berusaha tidak menutup sebelah mata dalam melihat realitas keduniawian. Hidup seseorang dipandang HH secara fair, mesti mutlak mengandung nilai baik dan buruk. Sastra, diharap HH tak hanya menampilkan yang baik-baik saja dari manusia. Sastra tak hanya berkutat pada wilayah estetis an-sich, berbalik jauh melampaui, sastra sebagai mesiu mengetuk hati nurani, mengakui kemunafikan.


Bermula dari Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail didepan Akademi Jakarta (2006), yang menyuarakan moral agama dalam sastra. HH menganggap pidato tersebut bukan hanya menyerang sastra dan seni, tapi lebih memporak-porandakan hidup itu sendiri. Taufiq Ismail melancarkan serangan stigmatik sastra: sastra SMS --sastra mazhab selangkangan-- atau sastra FAK --Fiksi Alat Kelamin—(Jawa Pos, 17 Juni 2007).


Itulah pemantik polemik HH dengan tuan Taufiq. Hingga esai ini digubah, tak lain adalah wujud dialog sehat tentang “nasib sastra”. HH hendak mendedah kredo sastra yang dikunci rapat-rapat oleh tuan Taufiq. “Terasa bagi saya serangan balik tuan Taufiq sangat mematikan. Dengan semangat anti-dialog dan anti-wacana, Taufiq seolah petinju yang memukul lawannya secara ‘kalang-kabut’. Dalam SMS-nya pada saya, Taufiq menyebut tentang ‘kebakaran budaya’, yang penyebabnya antara lain sastra SMS atau sastra FAK.”


Basis tuduhan Taufiq Ismail membikin kategori sastra SMS atau sastra FAK, langsung membidik jantung karya sastra dari beberapa pesastra, sebut misalkan: Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fadjroel Rachman, Muhidin M. Dahlan, Hudan Hidayat, serta Mariana Amiruddin. Karya Ayu Utami ‘Saman’, cerpen Djenar Maesa Ayu ‘Menyusu Ayah’ di Jurnal Perempuan atau ‘Melukis Jendela’ di Majalah Horison, cerpen Mariana Amiruddin ‘Kota Kelamin’ di Jawa Pos, dsb.


Bak seamsal seorang hakim, Taufiq Ismail langsung memvonis karya-karya sastra tersebut sebagai ‘sastra cabul’ atau sastra yang membincang ‘daun surga’. Padahal kalau ditilik mendalam, menyibak makna dibalik pesan tersurat, karya sastra yang tertera diatas jauh dari klaim sepihak Taufiq Ismail.


“Membaca kedua cerpen Djenar itu memang menyebutkan alat kelamin, tapi alat kelamin itu sekadar pintu masuk untuk makna lain. Yakni, penderitaan sang anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Darinya menyembul simpati akan korban kekerasan. Bukan nafsu seks dalam konteks ‘sastra mazhab selangkangan’ yang dimaskud Taufiq,” ujar HH.


Begitu juga, bila membaca cerpen Mariana di Jawa Pos, Kota Kelamin. Spirit yang dibangun Mariana malah bukan hasrat seks, melainkan simpati akan manusia modern yang lelah mengatasi hipokrisi, melulu menutup rapat seolah kelamin terbalut pada tubuh manusia. Sehingga ungkap HH: “daging luar gagrak sastra seperti inilah yang ‘memfitnah’ kami sebagai motor penggerak ‘Gerakan Syahwat Merdeka’. Padahal sastra yang ditulis itu bukanlah semata ‘syahwat merdeka’. Tetapi ‘syahwat’ sebagai sampiran untuk kemerdekaan manusia (hal 11).


Dalam buku kumpulan esai ini, HH getol betul menggawangi kekebasan sastra dengan mutu argumentasi yang kokoh. Senjata ampuh HH yang dibidikkan kepada Taufiq Ismail ialah apakah ketelanjangan disana bukan sebuah ancang-ancang, untuk meraih makna kesepian atau ketuhanan? HH yakin bahwa Taufiq tidak bisa menghindar dari filsafat penciptaan dan ideologi penciptaan.


Michel Foucault (1926-1984) telah mengingatkan bahwa persepsi tentang tubuh adalah efek dari jaringan struktural kekuasaan dan pengetahuan. Tubuh mengandung metafor tempat kekuasaan memancangkan nafsu kekuasaannya sehingga melalui tubuh dapat dibaca konsekuensi perubahan-perubahan sosial sepanjang sejarah yang panjang.


Dalam ayat dari surat-Nya (QS. 7:22). Tuhan Yang Maha Imajinatif menggambarkan Adam dan Hawa telanjang, setelah melanggar. Akankah kita mengatakan Kitab Suci sebagai teks yang porno? Ketelanjangan Adam dan Hawa, ditempatkan Sang Kreator dalam bingkai sesuatu yang mengatasinya; sebagai sampiran, untuk menerobos kenyataan yang lebih tinggi. “Ketelanjangan”, dalam upaya meraih makna lebih luas, Tuhan membikin lewat peristiwa dan kata-Nya.


Nah, dari situ sastrawan dituntut melakukan tafsir dunia dan menemukan makna untuk kekayaan batin manusia. Seperti seorang ilmuwan melakukan tafsir dunia dan menemukan benda untuk kemudahan manusia. Puisi Simone Honecker “Sich Entssheiden atau Mengambil Keputusan”: Setuju tidak setuju/panas atau dingin/terserah, asal janganlah/setengah-setengah//Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak.


Berkat kerisauan Taufiq Ismail dan kelompok Saut Situmorang akan neo-liberalisme yang mewujud dalam dugaan adanya “sastra seksual”, memaksa HH membuat argumen “teologis” dalam esai ini. Menjangkau Tuhan dengan lambang dan sampiran, sehingga sastra menjadi dunia metafora yang sedap untuk dibaca. Mencerahkan manusia. HH malah khawatir, bila sastra hendak menjauh dari Tuhannya. Oh, aih aih.