Jumat, Oktober 05, 2007

Beribadah ala Cak Nun





Judul Buku : Tidak. Jibril Tidak Pensiun
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 244 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*








Esai-esai gubahan Cak Nun panggilan akrab Emha Ainun Nadjib ini, masih survival-eksis membincang praktik ibadah keseharian umat Islam. Urat pena energi kreatif Cak Nun membenahi wilayah eksoteris (ibadah tampak) dan esoteris (ibadah tak tampak) ubudiyah keumatan. Ia bidik kinerja pendakwah atau muballig yang seharusnya (kata Cak Nun) benar-benar memiliki emban tanggungan terhadap kualitas kesalehan umat Islam.



Cak Nun, budayawan merakyat. "Banyak kita temui dikampung-kampung aneka ragam pengajian, yang pada dasarnya mempunyai seruan terhadap amar ma’ruf nahi munkar, namun terlepas daripada itu esensi pengajian belum teraih dan masih berkutat mandek pada tataran ritual-seremoni sesaat", ujarnya. Bak menegakkan benang basah, acara pengajian tidak betul-betul memberikan tausiyah hakiki, menghantarkan umat Islam menuju amal saleh dan kemapanan spiritualitas yang bermuara pada pemahaman urgensi ibadah sosial.



Di salah judul esainya: "Mauidhah Dakwah Kita Kurang Hasanah", Cak Nun mempertegas bahwa dakwah itu diselenggarakan terutama untuk proses perubahan munuju kondisi salih, dari kondisi yang tidak atau belum salih. Ia skeptik, apakah frekuensi dakwah tidak berbanding terbalik dengan kondisi kesalihan kita semua? Bukankah semakin ‘kosong’ semakin diperlukan pengisian? Sehingga peningkatan kapasitas pengisian justru menunjukkan tingkat kekosongan?



Cak Nun tidak bermaksud menuduh, sekadar mengajak berhati-hati dan menyadari selalu perlunya ishlah diri. Lebih jauh, Cak Nun menghimbau muballig agar apa yang diucapkan atau kalimat-kalimat dakwah yang disampaikan juga mempertimbangkan determinasi psikologis para pendengar. Banyak muballig tak pintar merayu pendengar, melainkan menekan. Bukan mencuri hatinya, tapi membuat ngeri, dan orang yang merasa ngeri tidak banyak kecenderungan lain kecuali melarikan diri.



Himbauan Cak Nun itu berbasis pada pengalamannya. Ia sangat kaya pengalaman mengisi dakwah di tempat-tempat pengajian yang dibikin bersama jama’ahnya. Beragam wahana transformasi dakwah yang dimiliki Cak Nun: Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang). Selain itu, bersama Kiai Kanjeng, terhitung dari tahun ke-6 berdirinya (Juni 1998) hingga Desember 2006, Cak Nun telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1430 kecamatan, dan 1850 desa di seluruh pelosok Indonesia. Pernah pula, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng diundang ke berbagai belahan manca Negara.



Beserah
Betapa hebatnya manusia, tingginya kadar intelektualitas, bahkan mapan dalam sisi karir, tak pantas bersombong atau takabbur. Semuanya berpuncak pada kekuasaan Allah. Allah yang menentukan semuanya, manusia hanya berikhtiar dan berseru. Sebagian lain esai Cak Nun, "Tidak. Jibril Tidak Pensiun", sekaligus menjadi judul buku ini, bernada profetik yang bermuara pada ketawakkalan seseorang.



Apabila manusia telah merasa mampu menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada, menciptakan sesuatu, dan berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik atau sarjana kehidupan, maka karya-karyanya, kata-katanya, lukisannya, musiknya, tak bisa disebut semuanya adalah miliknya (hamba) melainkan berkat kasih karya Allah semata. Kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran lukisannya, hakikatnya kita nonton lukisan Allah.



Meneroka keakar teologisnya, menghasilkan rincian titian pemahaman demikian: Allah bisa cukup bilang Kun (fa-yakuun) demi kepentingan apapun saja. Takaran dibawah wahyu tak diperlukan Jibril (malaikat). Pekerjaan-pekerjaan kecil begitu Allah tak memerlukan organisasi birokrasi, tukang-tukang pos, dan ahli-ahli agen penyalur, hanya cukup saja Allah berkata Kun (fa-yakuun), maka terealisasilah.



Buku ini dihadirkan dengan pewajahan yang sangat kental suasana esoteris, sehingga mencerminkan gejala-gejala batin manusia. Pembaca dibantu dengan tulisan esai, pembahasan berat beralih ringan, dan juga hal ini tak lepas dari gaya tutur bahasa Cak Nun yang renyah.



(Me) Revolusi Pendidikan Lewat Perlawanan


Judul Buku : Guru: Mendidik Itu Melawan!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : Pertama, Mei 2006
Tebal : xii + 206 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Sepertinya tak dapat dipungkiri, kemajuan pesat sebuah bangsa atau negara disebabkan kemapanan bingkai sistem pendidikannya. Kedewasan berpolitik, majunya perekonomian, hidup berkesadaran sosial, dan budaya masyarakat - sangat sulit dilepaskan dari peran agung pendidikan. Satu contoh, mencuatnya kasus korupsi yang menyebabkan bangsa ini tertorehkan tinta hitam dunia sebagai koruptor rangking wahid. Serasanya, tak dapat dipisahkan dengan keberadaan pendidikan bangsa ini yang menggambarkan kegagalannya.

Kegagalan-kegagalan dalam bidang pendidikan, oleh Eko Prasetyo penulis buku ini, Guru: Mendidik Itu Melawan, cukup lihai dipotretnya. Meliputi, kebijakan kurikulum, pengelolaan guru, dan managemen pendidikan tidak luput dari amatannya . Dengan gaya eksplorasi ulasan yang mendalam dan ketajaman isi, buku ini memberikan angin segera dan mengundang para aktivis pendidikan guna mendiskusikannya. Dan sebaliknya, menjadi tamparan telak bagi birokrasi elit pendidikan yang hanya enak-enak duduk santai dietalase gedung-gedung Diknas.

Tentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, Eko Prasetyo merangkum penjelasan-penjelasannya dalam gambar tabel. Misalnya, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kurikulum. Penulis kemudian mencari problemnya: ‘pergantian (kurikulum) yang berulang-ulang tanpa pernah dievaluasi’. Terakhir, dicarilah solusi dari kebijakan kurikulum dengan problemnya yang akan mengahasilkan dampak: ‘peserta didik terbebani baik karena perubahan yang terlalu cepat maupun konsekuensi biaya yang ditanggung’ (hal 43).

Terbantu dari tabel itulah, akan mempermudah pembacaan kita dengan ghirah kultur kritis terhadap proses dan berlangsungnya pendidikan di Indonesia. Kalau dilihat dari sumbangsih pemikiran, yang ia tuangkan lewat buku-bukunya sangatlah besar sekali. Ia sangat getol memotret keberlangsungan dan keberadaan pendidikan Indonesia. Ia sepertinya tak takut, apalagi sungkan-sungkan berhadap-hadapan dengan birokrasi pemerintah, utamanya birokrat pendidikan. Itu terlihat dari karya-karyanya yang mengurai dan mengkritisi habis pendidikan di Indonesia. Seperti dalam karya lainnya, yang juga berbicara tentang dunia pendidikan, Orang Miskin Dilarang Sekolah, dan Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah dll.

Bahkan, mengenai anggaran pendidikan pun tidak lepas dari bidikannya. Misalkan, angaran pendidikan yang semestinya harus sesuai dengan undang-undang sebesar 20%, tapi praktik dilapangan-anggaran pendidikan yang disetujui pemerintah pada tahun 2006 hanya 8,4%. Presentase sebesar ini yang membuat sektor pendidikan hanya mendapat jatah sekitar Rp 36 triliun dari total anggaran yang mestinya dialokasikan sebesar Rp 425 triliun. Lain lagi, dana tersebut yang masih dipotong oleh Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 12 triliun (hal 24).

Menyoal dana BOS, yang kerap diskriminasi dalam praktiknya, yaitu tidak mengindahkan kesenjangan pendidikan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya (Kompas, 02/01/2007). Yang seharusnya, ada penyikapan serius pemerintah melalui kebijakan pembiayaan yang kian berpihak kepada kalangan miskin. Sehingga pada prinsipnya, BOS yang menjamin siswa miskin bisa tetap bersekolah dengan membebaskan mereka dari seluruh iuran sekolah dan penyediaan bantuan transportasi dapat terlaksana.

Bentuk Perlawanan
“Toyib, guru dari Tangerang, masih menyimpan kesal. Sebagai guru honor daerah di Kabupaten Tangerang, dia digaji Rp 200.000 per bulan. Honor itu seharusnya diterima setiap tiga bulan. Tiga bulan pertama, beres. Namun, selama sembilan bulan kemudian honor itu tidak kunjung datang. Setelah demonstrasi oleh para guru, baru uang yang menjadi haknya itu turun. Bagi Toyib, honor bulanannya itu sangat berharga untuk menopang kehidupan sehari-hari.” (Kompas, 02/01/2007)

Sekelumit gambaran keadaan guru honorer diatas, si Toyib, menjadi ulu persoalan dalam buku ini. Secara khusus, Eko Prasetyo dengan karyanya ini mutlak diperuntukkan kepada seluruh guru-guru honorer di Indonesia. Permasalahannya sekarang, di satu sisi perlunya menisbatkan ucapan-ucapan sakral yang sudah ada semenjak dulu, seperti: Guru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan Guru, sebuah profesi yang mulia dan terhormat. Kalimat-kalimat itu sah-sah saja didaulatkan kepada semua guru Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepadanya, yang telah mengajarkan anak-anak kita tentang kebajikan dan nilai-nilai universal kehidupan. Namun disisi lain, kita juga harus bertanya bagaimana cara membalas jasa-jasa guru? Kata Victor Hugo, sang maestro dan seorang sastrawan besar, hanya dua orang yang menyumbang besar bagi peradaban sebuah bangsa yakni seorang guru dan seorang perawat.

Dalam bab terakhir, Guruku: Jangan Takut Melawan dalam buku ini, penulis memberikan ruang khusus untuk hal ihwal perlawanan sosok guru. Sudah saatnyalah kita memberikan balasan jasa yang setimpal kepada guru, dengan memberikan gaji kesejahteraan yang layak. Melihat fenomena dimasyarakat pada umumnya, profesi guru hanya dijadikan profesi sampingan. Pendikotomian itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi sudah bisa disangka, karena gaji atau uang kesejahteraan guru sangatlah minim. Meski, telah ada UU Guru dan Dosen serta Rancangan peraturan pemerintah tentang Guru dan Dosen masih tetap ada rasa kekahawatiran ketiadaan jaminan terhadap perlindungan profesi guru.

Kalau melihat dari full dedication sosok guru, utamanya guru yang ada dipedalaman sangatlah memprihatinkan keberadaaanya. Ia masih betah-betah duduk mengajar, meskipun gaji kesejahteraannya minim. Ia bergairah mendidik, meskipun tinggal dipedalaman dengan fasilitas apa adanya. Pengorbanannya tak dapat diukur dan ditukar sebatas nominal. Hanya satu komitmennya, ia khawatir nanti bangsa ini akan hancur karena generasinya bodoh-bodoh.

Guru sering kali mendidik dan mengajari murid atau generasi muda untuk berpikir besar tentang bangsa ini, mengingat bangsa ini dulu didirikan oleh para pemikir besar. Ia memberitahu dan memaparkan tentang Nasionalisme Soekarno, Ekonomi Rakyat Hatta, Sosialisme Tan Malaka, dan prinsip etika Haji Agus Salim (hal 196-198). Sementara bangsa Indonesia tahun-tahun ini, dirundung musibah atau bencana yang beraneka rupa silih berganti kerap terjadi tanpa jeda, membuat hati sakit dan prihatin - sepertinya lebih menyakitkan dan memprihatinkan, ketika engkau dan profesimu (guru) sudah tidak dihargai lagi. Apakah memang itu, bentuk takdir perlawananmu untuk merevolusi pendidikan Indonesia?