Kamis, April 10, 2008

Wajah Timur Tengah di Indonesia


Judul Buku : Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia
Penulis : Greg Fealy dan Anthony Bubalo
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : 202 hal
Peresensi : A Qorib Hidayatullah


Islam yang sejatinya berwajah lembut serta penuh sentuhan kasih sayang berubah garang kerap menampilkan kekerasan. Islam kini ditengarai pelepas pelatuk terorisme. Beragam kampanye menyeru perlunya curiga pada aktivisme muslim. Benarkah Islam demikian?


Islam adalah agama berisalahkan perdamaian serta cinta kasih. Pun Islam —juga agama lainnya—, terlahir sebagai agama rahmat bagi semua telah teruji kesahihannya. Hanya keterlibatan faktor lain yang begitu kompleks menjadi penentu terjadinya itu semua. Di Indonesia misalnya, di mana segala biang radikalisasi tertuju pada Islam patut diklarifikasi secepat mungkin.


Buku ini, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, memberi kesaksian lewat argumentasi kuat atas tindak kekerasan yang belatar belakang aktivis muslim Indonesia. Dalam Islam, gerak gagasan ber-amar ma’ruf nahi munkar ialah Islamisme. Islamisme semacam paham diskursus yang berkembang tentang hubungan antara Islam, politik, dan masyarakat. Penting dipahami, bahwa Islamisme tak sekadar ihwal ide-ide yang berkembang dan berubah sepanjang masa, tapi juga momen-momen historis bilamana ide-ide itu bekerja.


Menguak akar semangat Islamisme dilahirkan, yaitu bertujuan demi kebangkitan atau pembaruan Islam. Islamisme sebagai pemantik ide sentral yang mengilhami Dunia Islam saat tengah berada dalam kemunduran dan bagaimana harus dibenahi. Ruh paham itulah, oleh kelompok besar Islamis diserap langsung dari Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai inspirasi dengan menjadikan warisan tradisi revivalis-reformis yang berniat menggerakkan perkembangan sejarah Islam.


Tengok misalkan, dua gerakan revivalis yang khususnya menyediakan konteks bagi perkembangan Islamisme kontemporer di Timur Tengah (TT). Suatu gerakan yang berawal pada abad ke-18 dari Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-1787) di Arabia Tengah; dan gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang dipimpin tiga jawara pemikir Islam: Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), serta Rasyid Ridha (1865-1935).


Perubahan konkret yang diusung Ibn Abd Wahab, hendak menggerus tradisi pra-Islam dan praktik lokal suku-suku Badui di Arabia Tengah yang “menodai” kemurnian Islam (hal 30). Begitu pun perubahan al-Afghani, Abduh, dan Ridha, yang saat itu berhadapan dengan disparitas kekuatan tajam antara Eropa dan TT. Mereka dirundung kekhawatiran hebat, pesimis temukan solusi cemerlang bagaimana Dunia Islam yang mundur dapat terus melawan menyerap kemajuan Barat dalam hukum, industri, serta teknologi militer. Bagi al-Afghani, kuncinya tidak dengan mengadopsi ide-ide Barat secara membebek (epigon).


Dalam benak para jurnalis dan pejabat pemerintah Barat yang bekerja di Indonesia, merebaknya terorisme adalah bukti “efek domino” Islam TT ke Nusantara. Keberadaan kelompok teroris (yang berbasis di Indonesia) sudah terbukti. Pelopor yang memopulerkan terorisme di antara mereka adalah Jama’ah Islamiyah (JI). Tak diragukan lagi, secara idelogis, ada pengaruh TT terhadap JI. Dalam dokumen-dokumen resmi JI, figur-figur TT —baik figur kontemporer maupun figur lampau— memiliki tempat terhormat dalam organisasi ini.


Pengaruh Politik TT

Orang Indonesia kerap mencari pengetahuan dan inspirasi dari TT, lalu mereka mengetrapkan pengetahuan itu dalam cara “lokal” yang otomatis berbeda dengan “sumbernya”. Pengkaji memandang fenomena ini sebagai kecerdasan adaptif orang-orang Indonesia, terampil meracik yang lama dengan yang baru guna mencipta sintesis keagamaan supaya kaya.


Ada dua hal yang menjadi gamblang saat mempertimbangkan transmisi ide-ide Islamis dari TT ke Indonesia. Pertama, transmisi ide-ide tersebut sebagian besar berlangsung satu arah: dari TT ke Indonesia. Orang Indonesia mencari audiens bagi karya mereka di TT, namun kenyataannya, sebagian besar orang Arab menganggap Asia Tenggara sebagai pinggiran intelektual Dunia Islam.


Kedua, transmisi Islamisme ke Indonesia memiliki beberapa faktor penarik maupun faktor pendorong. Banyak muslim Indonesia aktif menuntut ilmu ke TT, baik sebagai pelajar atau mahasiswa. Tercatat lebih dari 20.000 orang Indonesia tinggal di TT. Mayoritas mereka adalah pekerja, meskipun proporsi signifikannya adalah mahasiswa.


Janji buku ini hendak membuktikan, seberapa pengaruh gerakan Islam Indonesia oleh TT. Penulis buku ini memberi satu bab khusus membincang soal itu, “Setiap Benih yang Kau (Timur Tengah) Tanam di Indonesia Pastilah Tumbuh” (hal 105). Bab ini mengeksplorasi mendalam soal ekspresi utama pemikiran Ikhwanul Muslimin yang dilandasi gerakan Tarbiyah. Gerakan Tarbiyah mencuat pada awal 1980-an saat praktik penindasan Orde Baru terhadap Islam dan politik mahasiswa sedang gencar-gencarnya (hal 108).


Orde Baru pada 1998 mengalami masa tumbang akibat badai krisis finansial di Asia. Di saat itulah aktivis Tarbiyah membentuk organisasi mahasiswa bernama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Melihat ada peluang bagus saat Soeharto makzul, pemimpin Tarbiyah berduyun-duyun mendirikan partai bernama Parta Keadilan (PK). Partai inilah yang pada pemilu 1999, mendulang 1,4 persen suara dengan tujuh kursi di parlemen pusat.


Seiring merayakan pesta demokrasi, PK berekspansi mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perubahan nama itu dilakukan karena PK gagal memenuhi threshold sebesar 2 persen yang dibutuhkan untuk bisa berkontestasi di panggung pemilu 2004. PKS adalah satu-satunya partai yang menjadi kontestan pemilu 1999 dan mengalami keberhasilan luar biasa pada pemilu 2004. Memberi kesan bahwa, pemilih partai ini pada pemilu 2004 lebih tertarik pesan politik menyangkut pemerintahan yang bersih dan keadilan sosial dibanding seruan Islamnya (hal 111).


Berkat bantuan Greg Fealy dan Anthony Bubalo menggubah buku ini, membuka pemahaman pentingnya melacak jejak yang melatari tiap-tiap gerakan Islam saat ini. Yudi Latif (penulis buku, Inteligensia Muslim dan Kuasa), mengapresiasi kehadiran buku ini sebagai arus besar yang cenderung melukiskan Islamisme berwajah tunggal berdimensi transnasional. Sebuah buku yang hendak merobohkan pencitraan naif, dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari presentasi Islamisme dalam ruang sejarah

Buku Ajar Agar Menarik di Baca


Oleh: A Qorib Hidayatullah

Tajamnya daya saing jagad perbukuan, menuntut penulis sekaligus penerbit cakap menyajikan buku agar menggiurkan serta menyolok mata. Buku yang menarik (eye catching) langsung dikerubuti pembeli buku ditiap-tiap book store.


Buku-buku yang tampak kaku, misalnya buku ajar, terancam ditinggalkan oleh pembeli. Buku ajar, kini perlu gesit berbenah strategi agar buku itu tak tampil “garang” lagi. Mengosmetika buku ajar secantik mungkin dan memiliki daya menyala.


Buku ajar, kerap kita temui di sekolah-sekolah ataupun di perguruan tinggi. Buku tersebut sengaja ditulis khusus menjadi pedoman siswa dan mahasiswa. Buku ajar dihadirkan bertujuan mempermudah proses belajar-mengajar guru pada siswa, atau dosen terhadap mahasiswanya. Tak ayal, buku ajar yang awalnya diharap mampu membantu proses belajar-mengajar, malah dijauhi oleh pembaca. Tentu, hal ini tak luput dari karakter lazim buku ajar —meliputi pewajahan buku dan artistik buku serta isi buku— yang tak lentur.


Seturut Joseph Brodsky, “Membakar buku sebuah kejahatan, tetapi ada yang lebih jahat dibanding membakar buku, yakni tidak membaca buku.” Untuk ihwal buku ajar, pendapat Brodsky belumlah tentu tepat. Tak semua orang malas membaca buku teridentifikasi jahat. Beragam alasan manusia memilih enggan membaca buku ajar, salah satunya dikarenakan buku tersebut tidak memiliki daya magnet ketertarikan sehingga sukar membangkitkan selera pembaca membacanya.


Berdasar pengalaman pribadi, saya pun merasa malas berkunjung ke toko buku merogoh kocek sendiri membeli buku-buku ajar anjuran dosen. Tapi apa boleh buat, jika tak membeli buku itu dosen pun enggan memberi nilai A pada mahasiswanya. Padahal, perkara beli buku ajar atau tidak, bagi saya, itu tergantung pada menarik tidaknya kemasan buku itu. Buku ajar, sungguh membuat saya tutup mata membacanya. Melotot judul bukunya saja terbayang kalau buku ajar itu berat, tak mudah dicerna. Ditambah dengan gaya bahasa tulis yang linear tak dikemas populer yang kering sisipan cerita-cerita inspiring.


Hakikatnya, membaca bukanlah amal mengerutkan kening. Demi mewujudkan buku ajar yang menyenangkan, mudah, serta asyik dibaca, Depag (Departemen Agama) RI mengadakan lomba membuat “Buku Pelajaran yang Mencerdaskan”. Buku yang mencerdaskan tersebut khusus diperlombakan yang ditujukan kepada siswa Madrasah Aliyah (MA). Sebuah langkah terobosan baru kategori buku ajar agar siswa betah berjam-jam saat membacanya.


Prof Yohanes Surya, Ph D —juri lomba penulisan buku ajar bidang fisika—, saat diwawancara di Tabloid Republika “Dialog Jum’at” (01/02/2008) mengenai lomba yang diselenggarakan Depag RI itu, ia pun merespon baik. “Buku pelajaran yang mencerdaskan ialah buku yang dapat membuat anak-anak belajar jadi asyik, mudah, dan menyenangkan. Sehingga belajar tidak lagi menjadi sangat sulit. Contoh saja fisika, ketika orang mengatakan fisika maka yang terbayang di kepala mereka adalah rumus. Hal ini yang seharusnya kita ubah.”


Sebagai ilmuwan pakar fisika, Prof Yahanes Surya pun paparkan cara penyusunan buku-buku fisika agar tak melulu memuat rumus. Ia menitik pentingkan ulasan ilmu fisika bukan tergantung pada rumus, melainkan konsep. Karena itu, peran rumus dapat diganti dengan logika. Ia mencontohkan: “misal ada suatu benda dengan kecepatan lima meter per detik. Berapa jaraknya dalam lima detik. Untuk menjawab ini, cukup dengan logika. Lima meter per detik berarti dalam satu detik benda tersebut bergerak sejauh lima meter. Kalau lima detik, tinggal dikali saja dengan lima. Tidak perlu rumus apapun.”


Menulis buku tak segampang yang diterka oleh banyak orang, utamanya buku ajar. Orang sukses menulis buku hingga meraup keuntungan besar, mesti dibarengi dengan proses membaca yang sangat meletihkan. Namun, sepelik apapun persoalan bila ditangani serius segera temukan penyelesaian.


Tilik misalkan pada tahun 1962, sebuah buku yang berjudul Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi) berhasil mengguncang dunia. Dalam waktu singkat buku itu laku 500.000 eksemplar. Sedangkan penulisnya, Rachel Carson ditentang oleh para industri pestisida. Mengapa? Sebab buku itu melukiskan betapa sunyi bumi ini bila semua unggas dan serangga mati akibat disemprotkannya racun di lahan-lahan pertanian. Masyarakat tergugah. Tetapi pabrik-pabrik insektisida, pestisida, serta racun-racun lainnya marah. Beribu dolar dihabiskan guna melancarkan kampanye bahwa, Rachel Carson keliru. Penulis itu dianggap orang histeris yang dungu. Tapi hasilnya, ia malah mendapat berbagai macam hadiah. Kini kita mengenal Rachel Carson sebagai pahlawan yang menyulut maraknya gerakan pelestarian lingkungan.

Buku ajar tak hanya memberikan kebijaksanaan, tapi juga mendorong dilakukannya kebajikan. Dalam perbuatan baik inilah termuat keterampilan, kemampuan dan kemauan untuk melakukan tindakan nyata. Buku ajar tentang laut dan gunung, membuat pembacanya tergerak untuk menyatakan cintanya pada alam. Buku pelajaran ekonomi menolong pembacanya mempraktikkan sistem manajemen, kesadaran akan pentingnya pembiayaan dan pertumbuhan. Termasuk juga untuk buku budi-pekerti, pelajaran agama, petunjuk olahraga, memasak, dan ilmu komputer. Idealnya, buku ajar mampu meletakkan pembacanya ditengah konstelasi dan konfigurasi dunia yang terus menerus berubah.