Senin, April 13, 2009

Kitab Sastra Selebritas


Oleh: A Qorib Hidayatullah

Tatkala kampanye terbuka digelar, sebagian artis-selebritas Indonesia lagi sibuk berkampanye demi mendulang suara pada pemilu legislatif nanti. Kini ditengarai, keranjingan mutakhir artis tanah air pada berduyun-duyun terjun di ranah politik. Untuk menandai hal ini, PAN tak lagi dijuluki Partai Amanat Nasional, tapi Partai Artis Nasional.

Mereka seakan tak puas atas ketenaran dirinya selama ini, yang kerapkali tampil di tv maupun di koran-koran. Mereka malah membikin baliho yang berisikan foto dirinya, partai yang ditungganginya, serta misi dan visi politiknya ketika dia kelak terpilih.

"Kita adalah bangsa yang tidak pernah selesai," tutur Zack Sorga, sutradara pertunjukan teater bertajuk ‘Blangwir Nyelonong ke Priuk’, di akhir pementasannya, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hari Rabu (2 Desember 1998). Pernyataan Zack Sorga tersebut cocok mengalegorikan ketakselesaian proses pencarian manusia.

Geliat selebritas memang gampang ditebak: selalu mengejar kepuasan. Bagai menenggak air laut, dahaga tak pernah bisa dipuaskan. Manusia senantiasa memburu kenikmatan. Sehingga, ada masa di mana artis-selebritas menggemari kawin-cerai.

Di awal tulisan ini dibeberkan, bahwa selebritas, kini, pada ngetren bercebur di bursa caleg, namun ada pula selebritas yang lain menekuni titah panggilan literer dengan membesut karya-karya: puisi maupun prosa. Mereka ini adalah selebritas yang juga menulis dan mengarang.

Di sela-sela kesibukan permanennya, model artis-selebritas yang terakhir itu meluangkan waktunya menulis buku, terlibat mengorganisir problematika sosial, serta mengikuti acara-acara kemanusiaan. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangunsong, Djenar Maesa Ayu, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Trie Utami, Fira Basuki, dan Neno Warisman.

Rieke Dyah Pitaloka misalnya, ia adalah penulis produktif. Ia menulis 2 (dua) antologi puisi: Renungan Kloset (2001) dan Ups!. Renungan Kloset hingga tahun 2005 terjual mendekati 10 ribu eksemplar. Tersebab buku ini, menghantarkan Rieke terpilih mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten di Den Haag, Belanda, Januari 2003. Pada tahun yang sama terbit Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht (April, 2003). Dan juga, tesis master filsafatnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Tela’ah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, oleh Rieke dibesut menjadi sebuah buku dengan judul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (2004).

Begitu juga dengan Neno Warisman. Ia membikin buku Izinkan Aku Bertutur (2004). Buku ini berisi kumpulan karangan mirip puisi, yang ditulisnya dalam kurun waktu 2000-2004. Selain itu, Trie Utami, penyanyi kawakan, turut menggubah buku yang bernuansa Budhis, Karmapala, The Silent Love: Nyanyian Hati Trie Utami (2006).

Trie Utami terbilang kreatif. Bukunya tersebut bukanlah novel biasa, tapi ditulis berbentuk prosa lirik. Terbagi dalam 10 serat (bab) yang terdiri dari: Enigma (dharma karana), Shakuntala (dharma apurva), Dewa Kupinta (dharma shmara), Tarian Rembulan (dharma buddhaya), Kasmaraniku (dharma sembah), Batas Sekat (dharma rindu), The Silent Love (dharma bisu), Lao Gong (dharma kanthi), Klangenan (dharma vidhya), dan Gong Xi Fa Cai (dharma lakcana).

Tamara Garaldine, seorang artis-selebritas papan atas juga turut meramaikan panggung literasi. Pada September 2005, ia meluncurkan antologi cerpen Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkung Kan Sayang? (2005).

Seturut sajak Ziarah Batu --kepada para orator oleh Dorothea Rosa Herliany: “Kupilih bahasa batu buat memecah keangkuhan nuranimu.” Mirip dunia politik, dunia literasi, kini, ditengarai sangat menyehari dalam kehidupan artis-selebritas. Bahkan, ada selebritas yang meminta bantuan penulis profesional untuk menuliskan biografinya.

Semisal Krisdayanti, Lenny Marlina, Titiek Puspa, dan Heidi Yunus. Buku yang berjudul Seribu Satu KD milik Krisdayanti ditulis oleh redaktur senior Femina, Alberthiena Endah. Buku Si Lenny dari Ciateul tentang Lenny Marlina, ditulis oleh novelis Titie Said. Dan, buku Titiek Puspa, Sebuah Biografi, yang memuat biografi Titiek Puspa, ditulis oleh redaktur senior Kompas, Ninok Leksono.

Namun, ada juga artis-selebritas yang telah lama bergumul dengan literasi. Mereka di samping menekuni dunia selebritas, pun pula tidak sonder di jagad literasi. Mereka ini penulis tangguh. Sebut saja misalnya, Dewi Lestari –-yang akrab disapa Dee--, Fira Basuki, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Dee, yang mantan penyanyi Trio RSD (Rita Sita Dewi), didapuk kesuksesan dashyat menulis novel Supernova, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Novel ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu eksemplar dalam waktu kurang dari setahun. Dan, sebagai karya teranyar Dee, Rectoverso (2008).

Pada masanya, Supernova banyak meraup pujian. Supernova sempat diganjar nominasi Katulistiwa Literary Award sejajar dengan karya maestro literer, seperti Danarto (Setangkai Melati di Sayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).

Begitu juga dengan Fira Basuki. Selebritas asal Surabaya ini, jebolan jurusan Komunikasi dan Jurnalisme dari Pattsburg State University, Kansas, Amerika Serikat, menggubah novel Jendela dan Atap. Lalu, Ayu Utami membesut novel fenomenal, Saman, yang memenangi sayembara novel DKJ, dilanjutkan Larung (2001), yang juga best seller dan banyak dibicarakan orang, dan terakhir Bilangan Fu (2008). Tak ketinggalan juga karya Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Aku Monyet ­­--yang kemudian cerpen ini dibesut menjadi film dengan judul serupa--, Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan dan Melukis Jendela di Majalah Horison.

Mereka, artis-selebritas yang gemar menggeluti baca-tulis (karya literer) bukan semata-mata mencari hiburan, seperti sajian entertainment yang lazim ditampilkan ke penonton tanah air. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

Tak melulu selebritas politik saja yang mampu mengusung perubahan. Hakikat dari kitab sastra karya selebritas itu, juga bergelimang daya-nyala perubahan.

Mencegah Anak Ikut Kampanye


Oleh: A Qorib Hidayatullah*

Kampanye terbuka belum lama ini digelar. Masa kampanye menjadi peluang emas bagi partai politik (parpol) guna meraup suara pada pemilu legislatif nanti. Namun, tampak masygul bila kebiasaan kampanye parpol melulu melibatkan anak-anak.

Ditengerai parpol yang melibatkan anak-anak dalam kampanye antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Para pengurus parpol tersebut mengaku telah berupaya dan mengimbau agar peserta kampanye tidak membawa anak-anak (Kompas, 22/03/09).

Kehadiran anak-anak di arena kampanye telah jamak diketahui. Tak ayal, orangtua pun merasa kelimpungan mencegah anak agar tidak ikut kampanye. Para orangtua iba hendak ke mana anak mau dititipkan, sementara dirinya menjadi simpatisan parpol, dan dituntut meramaikan kampanye.

Kendati pun, para orangtua diharap untuk tidak mengikutsertakan putra-putri mereka dalam kegiatan kampanye. Anak harus dijamin perlindungannya meski orangtuanya adalah seorang aktivis yang sangat berpengaruh di partai. 

Dalam kampanye, tak ada yang menjamin tidak terjadi kerusuhan atau kecelakaan lalu lintas saat konvoi digelar. Belum lagi dampak fisik bagi anak seperti terik matahari, asap rokok, atau asap kendaraan yang biasanya mendominasi lingkungan kampanye, yang semua itu berpotensi mengganggu kesehatan anak.

Eksploitasi Anak

Beragam kisah eksploitasi anak terpendar. Seperti yang dinarasikan dalam A Long Way Gone: Memoar Seorang Tentara Anak-anak (Bentang, 2008). Novel ini menyajikan cerita sedih nan nyata penulisnya, Ishmael Beah, semasa menjadi tentara anak-anak di negaranya, Sierra Leone.

Sungguh menyayat hati, saat tersiar kabar dalam kampanye pemilu lima tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada lima orang anak meninggal saat mengikuti kampanye. Salah satu korban terjatuh ketika menaiki kendaraan yang digunakan untuk kampanye.

Hingga saat ini, kerapkali kampanye digelar selalu dijumpai anak-anak mempergunakan atribut partai politik tertentu. Padahal, pelanggaran kampanye yang melibatkan anak antara lain berbentuk pemakaian atribut partai pada anak, seperti baju atau kaus berlogo partai, ikat kepala partai, hingga permainan yang identik dengan salah satu partai.

Beragam cara parpol menggelar hiburan untuk menyemarakkan suasana kampanye, sehingga mengundang keinginan anak-anak untuk datang. Bahkan ada sebagian anak-anak sekolah yang masih menggunakan seragam utuh datang ke lokasi kampanye.

Tampak miris, di Madiun Jawa Timur, saat giliran partai Golkar berkampanye yang menampilkan artis lokal berdaya nyala erotis untuk menghibur massa. Padahal, peserta kampanye tersebut tak sedikit dari anak-anak juga turut hadir. Pun pula tak jarang didapati orangtua membawa balita mereka ke lapangan kampanye.

Keterlibatan anak dalam kampanye tidak hanya wujud eksploitasi anak, tetapi juga menyalahgunakan kebebasan anak untuk kepentingan politik. Banyak pelanggaran terhadap anak ketika kampanye, mulai dari hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, serta hak perlindungan anak.

Wujud Sanksi

Mengikutsertakan anak dalam kampanye bukanlah pendidikan politik. Kegiatan tersebut bukan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak-anak. Pendidikan politik tidak harus melalui kampanye. Pendidikan politik bisa diberikan melalui lingkungan keluarga berupa kesempatan berpendapat, pemilihan ketua kelas, atau melibatkan anak untuk berpendapat dalam sebagian konflik ringan dalam keluarga.

Malah sebaliknya, penyalahgunaan anak dalam aktivitas politik bisa dijerat sanksi berupa kurungan penjara dan denda sejumlah uang. Melibatkan atau menjadikan anak sebagai bintang tamu iklan kampanye parpol ialah bentuk ekploitasi terhadap anak. Dengan begitu, KPAI membuka posko pengaduan dan pemantauan pelanggaran selama kampanye terbuka berlangsung mulai 16 Maret lalu. Posko pengaduan dan pemantauan dilakukan sebagai upaya melindungi anak.

Gerakan KPAI tersebut merupakan wujud advokasi terhadap anak. Hal itu dipayungi Pasal 78 UU No 10/2008, bahwa dalam pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan anak-anak usia di bawah 17 tahun. Hal ini juga diatur dalam UU No 23/2002 Pasal 15 tentang Perlindungan Anak. Di situ disebutkan, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik.

Dalam UU No 10/2008 Pasal 84 ayat (2) huruf k menyebutkan larangan mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Yang menarik dalam ketentuan ayat (6) ditetapkan bahwa pelanggaran terhadap hal itu merupakan tindak pidana pemilu. Para pelanggarnya akan diganjar pidana penjara paling singkat 3 bulan, serta paling lama 12 bulan. Bahkan mereka bisa dikenakan denda paling sedikit Rp 30 juta.

Demi mencegah anak ikut kampanye dan semata menjalankan amanah UU di atas diharap adanya kerjasama yang baik antara Komnas Perlindungan Anak, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dengan menindak tegas pelanggar kampanye. Misalnya, dengan meminta bantuan Kapolri, untuk menegakkan hukum yang berlaku selama masa kampanye.

Selain itu, pentingnya pengertian orangtua niscaya dibutuhkan. Dengan pengertian, ayah dan ibu dapat berganti peran untuk mencegah anak-anaknya turut serta dalam kampanye parpol.

Seturut keterangan Ninik Rahayu, --Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan--, tugas menjaga anak tidak melulu dari pihak ibu. Oleh karena itu, orangtua (ayah dan ibu) harus menyadari bahwa membawa anak-anak dalam lapangan kampanye berarti menimbulkan ancaman bagi kenyamanan dan keamanan putra-putri mereka sendiri.