Rabu, Juni 11, 2008

Pesona Sang Kandidat Kulit Hitam


Judul Buku : OBAMA: Tentang Israel, Islam, dan Amerika

Penyusun : Taufik Rahman, dkk.

Penerbit : Hikmah

Cetakan : I, April 2008

Tebal : xx + 281 Hal

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*



Barack Obama, akhir-akhir ini popular dibincang publik Indonesia. Kandidat berkulit hitam yang bertanding dalam Pemilu AS 2008 itu disebut-sebut pernah tinggal dan sekolah di Jakarta pada 1967-1971. Hal inilah yang menyuntikkan daya kuat ikatan emosional publik Indonesia dengan Barack Obama.


Di Indonesia, Obama tercatat pernah menuntut ilmu di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Menteng 01 yang terletak di jalan Besuki nomor 4 Jakarta Pusat. Sekolah ini, didirikan oleh Belanda pada 1934 dan diserahterimakan kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1961. Sehingga bila orang Indonesia diperkenankan memilih, maka Barack Obama yang akan menjadi presiden negara adidaya itu. Paling tidak itulah yang terjadi dalam simulasi pemilihan presiden AS di Kedutaan Besar Amerika pada Februari lalu. Simulasi itu melibatkan mahasiswa, pengamat politik dan hubungan internasional, serta aktivis organisasi nonpemerintah Indonesia.


Obama adalah sosok pemimpin penuh daya pikat. Kepribadiannya yang menarik serta lihai beradaptasi dengan siapa pun menjadikan dirinya mudah diterima publik AS hingga menghantarkannya sebagai senator Illinois. Georgey Clooney menyebut Obama, yang lahir di Honolulu, Hawaii, pada 4 Agustus 1961, punya kualitas yang orang tak bisa mengajarkannya dan mempelajarinya. “Dia masuk ke satu ruangan dan kau ingin mengikutinya ke suatu tempat, di mana pun,” kata Clooney.


Sebagian dari bukti daya tarik itu tampak, misalnya, dari terus berderetnya barisan orang-orang ternama, para selebritas, yang tampil menjadi pendukung: Oprah Winfrey (host acara televisi), Edward Norton, Will Smith, George Clooney, Rob Reiner, Matt Damon, dan Ben Afflek (aktor; sutradara), Warren Buffet (investor; orang terkaya di dunia), Steven D. Levitt (penulis buku laris Freakonomics), dan lain-lain.


Komitmen gigih mengabdi kepada negara dan menciptakan perdamaian di AS serta menjunjung tinggi demokrasi, menyebabkan Obama mendulang banyak kepercayaan dari warga AS. Dari apa yang berlangsung dalam rangkaian pemilihan tahap awal, pemilihan untuk menentukan kandidat tunggal di lingkungan Partai Demokrat sendiri, bisa disaksikan betapa Obama bagaikan magnet yang berkekuatan luar biasa besar. Dia membuat saingan terkuatnya, Hillary Clinton, istri mantan presiden Bill Clinton dan senator dari Negara Bagian New York itu, kelimpungan. Pencalonan Obama diyakini mengandung potensi transformatif.


Melirik substansi dan spektrum ide-ide yang ditawarkannya, Rizal Mallarangeng —pengamat politik di Indonesia jebolan Ohio State University AS—menempatkan Obama sebagai politikus moderat dalam tradisi liberal Amerika. Ia merelikui tradisi politik yang dirintis Bill Clinton dan Tony Blair. Hal itu membedakan Obama dengan para politisi kulit hitam yang cenderung memilih garis ekstrim, baik di kiri (Jesse Jackson) maupun di kanan (Alan Keyes).


Obama hendak memberi kesan bahwa dirinya cenderung mempraktikkan politik jalan tengah. Misalnya, di bidang pembangunan ekonomi Amerika, Obama mengakui pentingnya mekanisme pasar, namun tetap ingin mengembangkan peran negara yang sehat dan efektif. Dalam bidang kehidupan keagamaan, ia bersimpati terhadap kaum konservatif, namun ia memahami betul bahwa tradisi sekulerisme Amerika adalah tradisi sakral yang harus terus diperkuat. Atau dalam menjembatani perbedaan kaum Demokrat dan kaum Republikan, ia ingin membangun sebuah konsensus bersama yang mempertemukan secara kreatif pandangan-pandangan yang berbenturan (hlm. 22-23).


Meski Obama secara kasat mata memiliki masa depan karier politik yang cerah, namun rival-rival politiknya tak kalah hebat untuk menjatuhkannya. Lawan politik Obama sering mempersamakan nama lengkapnya —Barack Hussein Obama, dengan dua tokoh yang sangat dimusuhi pemerintahan Amerika, Osama bin Laden dan Saddam Hussein.


Selain itu, enigma keislaman Obama menjadi lahan sasaran empuk musuh politiknya. Seperti yang dilakukan Judy Rose, koordinator relawan kampanye Hillary Clinton, yang mengirim email berantai dengan menyebut Barack Obama adalah seorang Muslim yang ingin menghancurkan Amerika Serikat (AS). Dengan begitu, Obama langsung dan secara tegas menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Kristen dan tidak pernah menjadi Muslim. Dia disumpah di bawah Injil ketika menjadi senator untuk mewakili daerah pemilihan Illinois. Dan sejak awal dia adalah anggota United Church of Christ, sebuah gereja Protestan yang dikenal sangat liberal.


Yang jelas, Obama kini menjadi tumpuan harapan banyak orang, baik warga AS sendiri maupun warga negara lain. Seperti yang ditulis Abdillah Toha —anggota komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI—, dalam kata pengantar untuk buku ini, bahwa Obama dan Hillary Rodham Clinton diharap menjadi alternatif positif karena telah rajin melancarkan kritik kepada kebijakan luar negeri Bush.


Hingga kini masih jadi teka-teki siapa yang nantinya akan menggantikan posisi George W. Bush. Namun, pemilih calon presiden AS mungkin bisa menggunakan penemuan yang dirilis grafolog sebagai bahan pertimbangan. Grafolog adalah ilmu membaca sifat seseorang berdasar tulisan tangan. Beberapa grafolog telah merilis hasil analisis tentang kepribadian Barack Obama, Hillary Clinton, John McCain berdasar tulisan tangan mereka.


Hasilnya, disimpulkan bahwa Hillary adalah orangnya cerdas dan tegas, McCain sombong dan mudah berubah pendirian, sedangkan Obama mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dan situasi. Cukup dengan tanda tangan dari tiga kandidat itu saja, kepribadian mereka dapat disimpulkan.


Meski grafolog bukan merupakan hal yang dianggap serius di AS maupun Eropa, bukan berarti tidak ada yang berminat dengan analisis mereka. Setiap ada pemilihan presiden AS, para grafolog selalu merilis analisis tulisan tangan kandidat calon presiden untuk memuaskan rasa ingin tahu pemilih.


Buku ini, selain memaparkan kisah masa kecil Obama di Jakarta, juga menampilkan sosok Obama dewasa. Penulisnya tak ingin pembaca hanya disuguhi perjalanan hidup Obama, tapi bagaimana Obama agar dikenal luar dalam.

Tidak ada komentar: