Rabu, Agustus 13, 2008

Berenergi Sedih
















Esai A Qorib Hidayatullah

Sehabis membaca cerpen (cerita pendek) Mein Dina Oktaviani di Jawa Pos, 29 Juni 2008 membuatku kembali berenergi positif dalam hidup. Hari-hari terakhir ini, aku sangat malas dan dihantui kesuntukan pesimis menjalani hidup. Hidup seakan sangat menjenuhkan sekali dan hanya menambah-nambah masalah saja. Dalam keadaan seperti itu, di mana kondisi psikis sangat tak bisa diajak kompromi, aku sonder seluruh rutinitas kegiatan, semisal membaca dan menulis. Jujur, hal lain yang membuat aku tertarik pada cerpen itu adalah ilustrasi apik (gambar gadis beraut sedih seakan berharap sesuatu) yang akrab dengan warna jiwaku.

Dalam kerinduan selalu ingin hidup stabil, aku berpikir dan merenung, meminjam istilah Pak Guru J. Sumardianta, mengaudit kesibukan-kesibukan guna antisipasi kesadaran palsu. Lazimnya orang sedih, kesedihanku tak jauh beda. Jika orang tatkala sedih beraura murung, aku pun menjalani kesedihan secara sama. Yang membedakannya (pengalaman kesedihan) hanyalah suasana transenden tiap-tiap orang. Aku misalnya, lebih menghadapi kesedihan dengan meninjau masa silam, pertanyaan dalam benak yang senantiasa keluar adalah “Apa yang telah aku lakukan, kok kesedihan sangat mendominasi pada diriku.”

Tak disangka, lambat laun tampil pertanyaan yang dikemukakan telah lama oleh J. Sumardianta, “Kesedihan macam apa yang Qorib rasakan? Anak muda saat ini senantiasa merelikui semangat Bung Karno, mendengus-dengus di kamar kos.” Kesedihan yang merundungku belum ada apa-apanya dibanding kesedihan yang dialami orang lain termasuk J. Sumardianta. Pak Guru, selain memikirkan dirinya, dituntut sibuk memberi nafkah lahir-batin kepada keluarga. Tiap aku tanyakan, kenapa Pak Guru ndak pensiun-pensiun dalam nulis di media. Jawabnya, selain memagari semangat literasi, Pak Guru juga mengais dari honor yang diberikan koran untuk menghidupi keluarga, dan buat biaya anak-anaknya yang sekolah.

Kembali pada permembincangan cerpen Dina Oktaviana, Mein. Mein, tokoh rekaan Oktaviana representatif menggambarkan kesedihan yang dialami olehku. Mein cukup lihai agar kesedihan yang merundungnya tak lekas tampil diwajahnya. Seperti kalimat yang tertera di cerpen tersebut, Mein telah terlatih menghadapi energi kesedihan agar tak langsung diapresiasi oleh raut wajahnya.

Inilah risalah energi kesedihan. Kesedihan hanyalah milik kaum yang spiritualitasnya tinggi. Merayakan hidup sedih dengan rendah hati, tidak sombong kendati berpotensi melakukannya karena memiliki segudang hal, namun tak dilakukannya. Sedih tak harus tampak pada fisik yang nestapa, aku lebih memaknai sedih dengan cukup dialami batin dan jiwa yang paling dalam untuk senantiasa patuh-tunduk pada kekuatan di luar kita.

Tidak ada komentar: