Senin, Oktober 20, 2008

Dosa pada Masyarakat Literer


Esai A Qorib Hidayatullah

Rubrik Bentara Kompas awal bulan Juni 2008 silam menayangkan tulisan polemik seputar plagiarisme. Muasal tulisan itu diturunkan pada Bentara Kompas lantaran ulah dosen UI menulis di media nasional tentang sejarah fotografi secara plagiat. Dengan begitu, prilaku dosen UI yang tak kerkeadaban di lapangan dunia tulis-menulis itu ditanggapi oleh oknum yang mengaku penggubah naskah asli sejarah fotografi tersebut. Al-hasil, aksi tuntut-menuntut pun terjadi. Dilayangkanlah tulisan ke surat pembaca Kompas oleh si penggugat guna menggugat aksi plagiat kepada plagiator yang sekaligus dosen UI. Disinilah titik runyam jagat kepengarangan kita diuji. Mirisnya, di Indonesia belum ada sebentuk lembaga peradilan yang menangani khusus kasus plagiat. Padahal di Barat tindak plagiarisme disikapi secara serius.

Dalam helat panggung tulis-menulis, si empu (penulis) dituntut memiliki jiwa integrasi. Tulisan oplosan dari orang lain sama sekali tak diperkenankan dipublikasi dengan memakai nama plagiat, tidak menerakan penulis asli sang pembikin naskah. Problemnya saat ini, masyarakat kini kian tapaki kecanggihan teknologi di mana informasi gampang dan cepat diraih hanya berbekal kepiawaian menguasai dunia maya lewat fasilitas internet. Sehingga, aksi jiplak dan plagiat berpotensi dilakukan oleh siapa pun. Tak diharap pun, wacana dosa pada masyarakat literer menarik didiskusikan.

Di lingkungan saya sendiri, laku epigon ditingkat penulisan makalah kuliah marak dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa dengan mudahnya comot sana-sini dari tulisan yang dirujukan tanpa menuliskan referensi/sumbernya dari mana. Dan dosen pun tak memiliki kemampuan atau ilmu memonitoring kebiasaan mahasiswa plagiat dalam penulisan makalah. Nah, di sinilah kata salah satu penulis di rubrik Bentara Kompas dengan menyebutnya, “Aksi Pembajak yang Bertoga.”

Kalau dilacak bermulanya aksi mulus plagiat, hemat saya, berawal kebiasaaan mahasiswa di kampus saat kuliah yang menulis makalah dengan plagiat, namun dosen/pengajar membiarkan dan tak adanya kepakeman aturan dari kampus yang menindak serius aksi mahasiswa tersebut. Tak ayal, tradisi busuk itu pun terus dilanjutkan mahasiswa tak hanya saat kuliah, ironis, ia pun mewarisinya hingga akhir hayatnya.

Kawan saya menjabarkan ihwal dosa literer ini yang tak memiliki sedikit pun ruang ampun. Dosa literer dapat terhapus bila plagiator mengemis ma’af dan berjanji tak akan mengulangi kembali tindak kejinya itu kepada masyarakat literer, dan lebih khusus pada pemilik tulisan yang dioplosnya.

Karya tulis merupakan karya agung yang jauh dari manipulatif. Karya tulis bersemangatkan demi tumbuh-kembangnya pengetahuan lewat asahan ide, riset mutakhir, dan eksperimen. Dengan begitu keotentikan karya dan temuan menjadi penting sebagai wujud tanggung jawab uji pengetahuan. Masyarakat literer Indonesia, saya pikir, patut mengutuk riset palsu Djoko Suprapto yang merekayasa blue energy di UMY (Universitas Muhammadiya Yogyakarta) demi sebuah kucuran dana besar, namun usahanya terprediksi gagal. Disinilah pentingnya integrasi moral dan tanggung jawab bagi periset dan penulis (sastrawan, penyair, prosaik, dll). Semoga bermanfaat bagi diriku.

Tidak ada komentar: