Minggu, Februari 01, 2009

Rute Pejalan Jauh (Bagian II)


Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup
Oleh A Qorib Hidayatullah

Seakan menjadi ketakutan memoria passionis manusia dalam mengimajinasikan terma ‘jalan’. ‘Jalan’ pada era kolonialisme menjadi hantu yang amat mengerikan. Mengapa tidak? Era itu adalah masa kekejaman Daendles, era kolonial sistem kerja paksa (cultuur stelsel) pihak penjajah terhadap masyarakat Jawa (baca buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendles, 2005 ).

Dalam masa pembangunan fisik (berupa jalan Daendles atau lebih keren disebut jalan dengan rute Anyer hingga Penarukan) di wilayah Jawa tersebut, Tuan Daendles memasang rute ampuh, wilayah mana saja yang akan dijadikan rute pembangunan jalan itu.

Masa pembangunan jalan yang amat panjang itu telah memakan korban sekitar 12.000 orang. Sehingga, masyarakat pada masa itu (5 Januari 1808) benar-benar takut mengingat terma ‘jalan’. ‘Jalan’ telah menjelma hantu yang mengerikan. Tak ada satu pun masyarakat yang mau menjadi korban pembuatan rute jalan. Bukankah dalam preseden tersebut telah menjadikan manusia anti akan rute jalan? Manusia pada masa Daendles dituntut untuk berspekulasi agar terselamatkan dari korban kekejian Tuan Daendles.

Berbicara tentang ‘jalan’ hakikatnya tergantung pada pemafhuman manusia. ‘Jalan’ itu bak takdir. Di mana manusia tidak secara utuh mengetahui akan takdir itu. Jadi selain takdir, rahasia Tuhan yang ke nomor sekian adalah ‘jalan’. ‘Jalan’ pun kini mewujud menjadi rahasia Tuhan. ‘Jalan’ manusia bisa saja mapan bahkan bisa jadi ambruk sekali pun. Tergantung pada spekulasi manusia menapaki jalan hidupnya. ‘Jalan’ itu butuh perjuangan. Laiknya pembikinan jalan Daendles membutuhkan daya juang tinggi masyarakat Jawa.

Ketika jalan sudah butuh akan perjuangan, maka rute jalan ternafikan dengan sendirinya. Sebab rute jalan hanya pantulan dari rute jalan hidup orang lain, dan belum tentu rute jalan hidup orang itu benar. Kalau pun kita memaksa diri untuk membonceng semangat menggunakan rute jalan maka hakikatnya kita telah dipermainkan oleh mekanisme kuasa penentu rute jalan tersebut.

Rute jalan hidup sangat beda dengan rute jalan Daendles. Rute jalan hidup itu menuntut keberanian berspekulasi, sedang rute jalan Daendles kudu sesuai dengan mekanika kuasa Tuan Daendles. Dan ironisnya, bila tidak seritme dengan permainan kuasa Tuan Daendles, maka taruhannya adalah nyawa. Sementara jalan hidup yang memiliki semangat spekulatif nan progresif itu hanya membutuhkan kendaraan keberanian. Bermodal berani tapaki jalan hidup spekulatif, sedikit berdaya nyala serampangan, maka pejalan jauh itu tetap berada di arus kreatifitas jalan hidup tanpa ada sekat-sekat rute, melainkan kebebasan dan kebenaran yang bernas. Jangan bingung ihwal kesesatan, wahai pejalan jauh.
Bukan begitu Tuan Daendles? He he he

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Blog Bapak Bagus, salam kenal dari kami, siswa-siswi SMK Negeri 8 Semarang.Kunjungi kami di www.multimediasmknegeri8semarang.blogspot.com. Thank U