Jumat, Januari 11, 2008

Geliat Jagad Potret Penerbitan Jogja


Judul Buku : Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)
Penulis : Adhe
Penerbit : KPJ (Komunitas Penerbit Jogja)
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xxxvi + 341 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*



Bersitan awal saat hendak bertandang-kunjung ke kota Gudeg, Jogja, ialah belanja buku sebanyak mungkin dan menjelajah habis dunia perbukuan disana. Bukannya tanpa alasan, citra Jogja -utamanya bagi mahasiswa Jawa Timuran- kadung populer sebagai tempat jual-beli buku melatas harga (murah meriah, akrab selera mahasiswa).


Apa boleh lacur, membincang Jogja sama halnya bercengkerama didunia perbukuan. Jogja telanjur identik industri buku, pun tentunya tak lepas landas dari suburnya penerbit-penerbit buku yang turut andil hebat menopang keberlangsungannya. Penerbitan buku Jogja, seakan menjadi ruh jiwa dari maraknya buku ditempat tersebut. Alam penerbit dan dunia perbukuan bertali-temali meniup serentak jantung pertahanan pasar pembaca. Musykil bila ada buku, tanpa dunia penerbitan.


Buku gubahan letih Adhe ini, Declare!, merekam panjang kamar kerja penerbit Jogja mulai 1998-2007. Merupakan buku debut utuh, ‘menelanjangi’ kulit hingga biji terdalam sejarah dan perkembangan penerbitan Jogja. Adhe mengungkap penulisan buku ini sempat mogok dikarenakan tak sesuai mood, melainkan provokasi kawan rekan kerjanya. Ditulis berbasis sudut pandang dari dalam (from within) dengan cara melakukan studi literatur dan wawancara mendalam terhadap para pekerja buku yang menjalani kelewat rentang waktu di dunia penerbitan.


Yang menarik disampaikan dari karya Adhe ini, ialah kegelisahan sesama penerbit Jogja yang terancam gulung tikar, disebabkan tuntutan pilihan sadar, tegakkan garis batas idealisme atau terjebak pada talapak kaki pragmatisme pasar. Tarik ulur diantara keduanya itu, terlihat betul dalam wacana perbukuan di Jogja. Asal diketahui, gemuruh semangat para pendiri penerbit di Jogja –yang mana para pendirinya mayoritas berangkat dari kalangan aktivis mahasiswa- ingin menerbitkan buku-buku bertema ‘berat’ dengan menutup mata rapat-rapat terhadap pasar. Sementara, ada penerbit yang menggadaikan idealisme sucinya dengan menerbitkan buku-buku murahan tapi mendapat lahan pasar yang bagus. Kasus dilematik seperti inilah yang selalu menghantui penerbit Jogja saat ini.


Lepas daripada itu, buku inipun menyampaikan analisis sosiologis kenapa penerbit Jogja berpotensi berkembang pesat dan banyak mendapat peneguhan disana-sini, sehingga menarik untuk dibahas. Ternyata alasan mendasar untuk menjawab hal itu, bukanlah terletak pada omzet atau pasarnya. Kalaupun berbicara tentang omzet, banyak penerbit dari kota lain yang lebih menarik dan menggiurkan. Namun, mengenai Jogja sebagai industri buku, seorang pebisnis buku mengaku: “Di Jogja apa saja ada.” Maksudnya, lingkaran industri buku dari pengadaan naskah hingga pemasaran dapat dilakukan di Jogja. Di Jogja, relasi timbal-balik antara industri buku dan industri budaya cukup jelas, masing-masing saling mengadakan, serta saling mengukuhkan.


Pengalaman menarik yang bisa dipetik dari sejarah perbukuan Jogja adalah bahwa menjadi penerbit ternyata tidak harus memproduksi buku-buku teks seperti lazim dilakukan oleh penerbit-penerbit yang sudah ada pada waktu itu. Orang ternyata bisa menjual buku yang selama ini belum ada dipasar. Dengan kata lain, lahirnya penerbitan juga melahirkan pengalaman melihat pasar, pengalaman melihat wacana alternatif, dan tentu saja pengalaman berorganisasi. Pengalaman ini sebagian besar berada diluar jaringan penerbitan yang sudah mapan.


Situasi ini ditunjukkan oleh kemunculan industri buku di Jogja tahun 1990-an. Industri buku di Jogja didukung pertama-tama oleh orang-orang yang ingin menjawab kebutuhan masyarakat akan munculnya wacana yang berbeda dari wacana yang sudah ada. Sebagian besar penerbit mapan kurang sensitif dengan apa yang berkembang dalam kantung-kantung intelektual di Jogja, entah itu dalam bentuk kelompok studi, LSM, dan sebagainya.


Penerbit Jogja, acap pula disebut penerbit kecil, penerbit alternatif, penerbit rumahan, penerbit koboi, dan penerbit gelap; memiliki kontribusi nilai dan yang sangat berharga bagi industri literasi di Indonesia. Penerbit Jogja juga telanjur diberi stigma sebagai penerbit sompral. Gemar melanggar hak cipta terjemahan, cenderung sembrono menerbitkan buku terjemahan, abai terhadap pembayaran honor penerjemah dan penulis lokal, pemilik penerbitan mencitrakan diri sebagai pengusaha makmur sementara karyawannya miskin kecingkrangan, tidak jujur dalam oplah cetakan, dan membikin semrawut tata niaga buku dengan jor-joran rabat besar.


Kendati sontoloyo dalam manajemen pengelolaan dan tuna daya dalam permodalan, penerbit Jogja yang dijuluki Lucky Luke (koboi jago tembak yang sering salah sasaran) yang serentak berkibar mulai 1998 itu boleh dibilang fenomenal. Lahir dari tangan para aktivis dan kaum idealis, penerbit Jogja identik dengan buku-buku wacana serius. Jogja melahirkan legenda buku sekaligus estetika sampul nyaris tak tergantikan: Buldanul Khuri dan Hari Ong Wahyu. Pula memasok para kampiun penulis muda berbakat seperti Moammar Emka, Herlinatin, Muhidin M. Dahlan.


Penerbit Jogja sesungguhnya hikayat kaum tabah yang memiliki distingsi (keunikan) dalam beberapa prinsip transformasi: spontanitas, pembingkaian ulang masalah, dan mengambil manfaat dari kemalangan. Kendati akhirnya rontok dan berguguran, Lucky Luke, si penunggang kuda lamban Jolly Jumper, terbukti mampu mengubah pola pikir dan perilaku pembaca menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman baru (openness to experience) dan penuh dedikasi (conscientiousness).


Buku ini juga membahas fenomena maraknya penerbit sesudah 2004 yang sangat pragmatis, bervisi jangka pendek, dan pro pasar. Dijelaskan pula ekspansi pemodal besar yang kepincut dengan gagrak (langgam) penerbitan Jogja. Tak kalah menarik fenomena merajalelanya event organizer yang getol menggeber pameran buku. Bagaimanapun, kelahiran para penerbit Jogja adalah fenomena luar biasa yang dilakukan dengan cara-cara sederhana.

Tidak ada komentar: