Jumat, Januari 11, 2008

Mengasah Genius Keprigelan Membaca Ekologis



Oleh: A. Qorib Hidayatullah*


Sejarah ibarat gelombang pasang yang siap menggulung siapa saja. Manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat dengan mudah dihempaskan ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Sejarah tentang unggulnya harapan di zaman bergelimang daya-dera yang menggilas. Sejarah yang gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.


Membaca adalah aktivitas niscaya. Agar masyarakat tak melulu dihantam dan dirundung masalah tanpa jeda, kegiatan membaca merupakan investasi mental. Yaitu, mental genius keprigelan masyarakat menggubah bahasa sekaligus mendalami refleksi (muhasabah) dengan bersikeras hendak mengubah tragika nasib hidup ini. Reading and writing is a basic tool in living of a good life (Membaca dan menulis merupakan salah satu piranti dasar kehidupan yang berkualitas), ujar Mortimer J. Adler.


Ayat suci yang kali pertama lahir dari rahim kitab universal, al-Qur’an, adalah kata Iqra’ (anjuran membaca). “Anjuran” Ilahi tersebut mengandung prinsip transformasi dari setiap makhluk bumi. Transformasi yang menggugah pesona diri bersama semesta hikmah agar arif pijaki alam (baca: arif ekologis). Kompleksitas sikap: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing visi dan nilai, berjiwa holistik, kepedulian, menghormati keragaman, independen terhadap lingkungan, berpikir mendasar, pembingkaian ulang, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, dan keterpanggilan, adalah muatan sikap transformasi, ketika seseorang menjadi pendengar setia “anjuran” Ilahi itu.


Lebih jauh lagi, adalah perihal penting bagi seseorang meninggikan antena kepekaan membaca kondisi alam-ekologis saat ini. Ada tamsil indah-menggugah yang diukir oleh Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”


Wujud kearifan dan sikap bijak dari masyarakat pembaca (reading society) pada zaman ini, mengapresiasi secara kontekstual serta menangkap tanda-tanda zaman yang akan terjadi dan telah telanjur terjadi. Bangsa Indonesia memang bangsa yang hidup dinegeri yang kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung pun, tak lepas disatroni lindu, serta banyak rekaman-rekaman terbaru lainnya potret bencana kekinian yang tak tersebut disini.


Membaca dan Memaknai
Alam bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak tidak semakin parah. Didalam kesedihan, ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketidakpastian yang harus dijalani oleh para masyarakat korban. Proses penyelaman ke dalam diri jangan sampai membuat tenggelam dan terputus dengan dunia nyata.


Yang perlu ditekankan dalam membaca untuk memaknai ialah garis tegas introspeksi perihal nilai dan makna interaksi dengan orang lain. Membuat keputusan strategis saat kondisi mental sedang buruk, capek, dan tertekan, perlu dihindari sejak dini. Contoh baik yang dapat ditampilkan, “pada minggu pertama setelah gempa, sebelum dapur umum menyala dan persediaan bahan mentah masih langka, operasi nasi bungkus sangat membantu. Bila tidak, kelaparan bakal meluas dan anak-anak kekurangan gizi.” Kemafhuman membaca atas suatu kondisi tertentu masyarakat, sangat menjadi perihal prioritas. Sebab, salah satu manfaat membaca ialah mengaktifkan learning connection, dan mengolahragakan pikiran.


Bencana itu musibah sekaligus berkah. Kepedulian terhadap kemanusiaan bisa dilatarbelakangi kepentingan politik, bisnis bantuan, dan berbagai semangat filantropis berlumuran pamrih. Misalnya, kepedulian merancang perumahan di Aceh pascatsunami dan rumah tahan gempa yang menutup mata terhadap kearifan lokal. Kepedulian semacam ini tak ubahnya burung gagak hendak berpesta pora memangsa bangkai yang terkapar dizona bencana.


Aparatus pemerintah, aktivis LSM, dan donatur internasional semua bergerak atas nama kemanusiaan. Mereka bisa berperan sebagai iblis, perusak bumi, dan pendewa materi. Membonceng ideologi kemanusiaan untuk melakukan kejahatan yang ujung-ujungnya mencederai kemanusiaan. Bisa juga berperan ganda, sebagai malaikat, pemelihara lingkungan, dan pengayom korban.


Membaca dan Keagungan
Solidaritas adalah harta karun bangsa Indonesia yang terancam punah. Berkah bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam yang kemarin dibanggakan kini diratapi karena dikuras habis persekongkolan elite dan ekonomi lebih cepat dibandingkan eksploitasi penjajahan Belanda dan Jepang.


Keunggulan komparatif bangsa yang bertengger di jalur gebalau alam dahsyat tak lain masih adanya manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang serakah mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.


Dengan menertawakan nasib tragis para penyintas bertahan dalam kesulitan dan tabah dalam penderitaan. Dostoyevsky pernah berujar, ”Jika Anda berharap untuk melihat sekilas ke dalam jiwa manusia dan ingin mengenal seorang manusia, pandanglah saat dia tertawa. Jika dia tertawa dengan lepas, dia orang bijak.”


Manajemen yang perlu dipegang dan dilakukan oleh masyarakat pembaca ekologis yang telah menyaksikan langsung maupun tidak akan potret peristiwa-peristiwa getir seperti diatas, bagaimana ia mampu menarasikan alur kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir yang akan menutup cerita sedih menyayat hati, berbalik menjadi pemantik kesadaran tuna daya lewat keprigelan membaca baru dari masyarakat korban maupun masyarakat saksi. Sebab, ada juga tuduhan umum yang membidik jantung pertahanan bahwa peristiwa kejadian bencana maupun musibah, juga tak lepas dari ulah tangan manusia, tak melulu murni ujian dari Tuhan. Entah mana yang benar?


Tidak ada komentar: