Rabu, Maret 19, 2008

Ayat-ayat Cinta & Tuhan sebagai Komoditas


Esei A. Qorib Hidayatullah*

*penikmat sastra, kerani Komunitas Sandal Jepit


Stok tema soal cinta tak bakal habis diulas. Tema yang satu ini memiliki daya aktual kuat yang didesain khusus mampu berkompromi dengan setiap limit waktu dan ruang. Sifat kekekalan cinta memberi peninggalan ‘rasa’ yang bersemayam di lubuk hati terdalam. Tak dinafi’kan, rasa mencintai merupakan fitrah alamiah tiap-tiap orang.


Kelenturan rasa cinta yang kerap menjadi ‘bunglon’ atas apapun, menyeretnya berubah ‘barang’ dagangan yang bebas dikonsumsi ramai-ramai oleh publik. Kiranya betul bila penyanyi tersohor tanah air ini mengalegori ‘cinta tak kenal logika’, menyebabkan tema cinta mudah menghipnotis para penghambanya. Tema cinta berhasil mengebiri kecanggihan rasio takluk akan buaian romantisme alpa. Tema cinta kini telah dikosmetika secantik mungkin menjadi budaya massa.


Tak dapat ditampik bila para penghamba cinta sekaligus penjilat kapital, tak ambil pusing untuk menyiasati komoditasnya laku keras di pasar, cukup dibumbui dengan kekuatan rasa cinta. Misalnya Habiburrahman El-Shirazy, lewat novel Ayat-Ayat Cinta-nya sejak 2004 hingga akhir 2007 mencapai rating penjualan 400.000 eksemplar. Novel ini mengalahkan angka penjualan karya Asma Nadia (Catatan Hati Seorang Istri), Langit Kresna Hariadi (Gajah Mada), Muammar Emka (Jakarta Undercover), Andrea Hirata (Laskar Pelangi dan Edensor). Bayangkan, saban sebulan alumnus Universitas Al-Azhar Mesir itu menerima royalti sekitar Rp 100 juta. Gila! Tak puas dengan itu, tangan serakah kapital yang lain akhirnya menggubah novel tersebut menjadi film. Film Ayat-ayat Cinta (AAC), yang diledakkan pada pengujung Februari silam.


Film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu mencetak fenomena terbaru industri perfilman Indonesia. Dalam pekan pertama pemutarannya di bioskop, AAC mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Disinyalir Harian Kompas (02/03/2008), Manoj Punjabi, produser AAC, memberi kepastian bahwa di gedung-gedung bioskop yang memutar film itu serentak sejak 28 Februari 2008. Pada saat itupun, gedung-gedung bioskop dijubeli penonton mengular hingga kapasitas tempat duduk terisi di atas 95 persen.


Di samping film itu fenomenal, juga memberi pembuktian kesuksesannya yang ditakdirkan sama seperti capaian keberhasilan novel yang mengeruhinya. Ternyata, tenunan sebuah dongeng cinta nuansa religi —yang mengundang derai air mata sehabis menontonnya— mampu menyaingi film berkisah horor serta roman ABG. Selera masyarakat yang keranjingan akan cerita cinta religi gesit dibidik pemain kapital guna meraup keuntungan besar. Untuk tayangan perdana, MD Pictures yang dipimpin Manoj menggandakan pita film itu hingga 100 copy, sebuah angka fantastis sekaliber film nasional. Rata-rata film Indonesia lazim hanya dicetak berkisar 10-20 copy. Bahkan film-film utama Hollywood pun paling banyak dicetak 65-70 copy.


Kesuksesan besar AAC yang mendulang apresiasi hangat dari masyarakat, tak melunasi rasa misteri penasaran akan kisah cinta yang ditawarkan film tersebut. Dongeng kisah cinta klasik yang menjadi nyawa film itu kerapkali membikin diri hendak mual. Alur cinta yang sangat menyehari dan jauh panggang dari api terjadi pada diri seseorang, semakin memperjelas hal klise film garapan sutradara sekaliber Hanung Bramantyo. Hanung kentara betul menyengaja diri siap dicaci-maki perkara mempertaruhkan seorang lelaki yang dicintai empat wanita dan ia harus menentukan pilihannya. Di lanskap inilah kecerdikan Hanung dapat dibilang berhasil mengibuli penonton. Sebuah film yang mampu menyedot penasaran ibu-ibu anggota pengajian.


Lelaki itu adalah Fahri bin Abdillah (diperankan Fedi Nuril), seorang mahasiswa S-2 asal Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Ia anak seorang penjual tapai yang polos, sederhana dan sangat taat beragama. Perihal jatuh cinta, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya dan pacaran adalah sesuatu yang dilarang menurut keyakinan agamanya.


Proses pemanjaan pun terjadi, buru-buru empat wanita malah jatuh cinta kepada Fahri. Mereka adalah Nurul (Melanie Putria), mahasiswa dari Indonesia yang menjadi teman dekat Fahri di kampus. Kemudian ada Maria Girgis (Carrisa Puteri), gadis Mesir tetangga se-apartemen (Flat) dan sekaligus sahabat dekat Fahri, beragama Kristen Koptik, tetapi mempelajari serta mengagumi al-Qur’an. Sosok ketiga adalah Noura (Zaskia Adya Mecca), seorang perempuan Mesir yang terpisah dari orangtuanya dan jatuh ke tangan seorang penjahat (Bahadur) dan suatu hari ditolong Fahri. Terakhir adalah Aisha (Rianti Cartwright), perempuan berdarah Jerman-Turki yang terkesan saat bertemu Fahri kali pertama di sebuah kereta api.


Sementereng apapun film itu, selera pos-modernisme mengajarkan boleh mencicipinya secara bebas. Kalau hasil mencicipi dirasa tak enak, selera pos-modern absah mencemo’oh ataupun memaki habis film tersebut. Misalkan adegan saat Maria mendaras surat Maryam (al-Qur’an) di sebuah bus dengan aksentuasi nada subal. Ditambah saat Fahri mengaji yang dihaturkan kepada gurunya (Syekh Usman), kentara sekali suaranya yang tak asli. Cacat kecil seperti ini mengganggu kenikmatan penonton menonton film yang batal shooting di Mesir karena terbentur biaya rumah produksi lokal yang mahal (mencapai Rp 15 miliar).


Yang paling menarik diamati di balik keberhasilan film bertemakan populer-religi, semisal AAC, menandakan bahwa masyarakat Indonesia kini pada suka —meminjam judul esai Danarto dalam Horison Esai Indonesia, Kitab 2—, “Menjual Tuhan dengan Harga Murah”. Wujud linearitas selera filmis masyarakat Indonesia yang menjadikan Tuhan sebagai komoditas. Sifat mematung-bisunya Tuhan dijadikan lahan eksploitasi tangan serakah kapital guna meraup laba besar. Tuhan tak banyak berontak dalam hal ini…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sejak dulu begitulah cinta...