Senin, Maret 03, 2008

Membela Kaum Miskin Tabah Bencana


Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia

Penulis : Emha Ainun Nadjib

Penerbit : Progress

Cetakan : I, Januari 2008

Tebal : 56 Halaman

Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*




Meski banyak orang pesemis pada bangsa Indonesia, Emha Ainun Nadjib (akrab di panggil “Cak Nun”) malah merayakan optimisme bergelimang harap. Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menggarit puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sedang Cak Nun pada 2008 menggubah buku “Kagum Pada Orang Indonesia”. Wujud filantropi budayawan, Cak Nun, mengipasi bara ketegaran rakyat saat centang perenang dan banjir problem tiba.


Cak Nun, --budayawan kelahiran Jombang Jatim itu--, terlihat sangat gigih meninggikan anten kepekaannya akan penderitaan masyarakat miskin tabah bencana. Ia menghayati betul tamsil yang diukir Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”


Buku ini, Kagum Pada Orang Indonesia, merupakan kumpulan sembilan esai panjang Cak Nun yang sebelumnya sempat nangkring di beberapa koran. Lewat buku ini pulalah, Cak Nun, membesarkan hati rakyat Indonesia yang kini temukan rona kemurungannya. Betapa rakyat saat ini sukar memiliki zona untuk tentram, damai, serta makmur sejahtera. Rakyat kerap ketiban sial, kiriman bencana atau musibah tak henti-henti menghantam kehidupan rakyat Indonesia baru-baru ini.


Renungan Bencana

Bangsa Indonesia memanglah bangsa yang hidup dinegeri kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo tak usai-usai. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung, tak lepas disatroni lindu. Hingga kawasan Tapal Kuda (pantai utara Jawa), Situbondo dan Bondowoso pun diterjang banjir bandang pekan silam.

Ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketakpastian yang harus dijalani para masyarakat korban, tugas manusia antar sesama, bagaimana ia mampu menarasikan penderitaan yang ditempa oleh masyarakat korban. Memberi wujud narasi penyelesaian sehingga mengurangi kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir. Mengakhiri kesedihan rakyat korban bencana dengan ketegaran dan kebahagiaan.


Alam sendiri bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Tersirat dalam al-Qur’an bahwa, kerusakan alam juga tak lepas sebab ulah tangan jahil manusia. Dengan begitu, manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak ekologi tak semakin parah.


Disinilah pemantik kesadaran Cak Nun, dia langsung terjun mengadvokasi masyarakat korban di lapangan. Lewat mengisi acara pengajian yang diadakan di wilayah-wilayah korban, iapun berseru kepada masyarakat agar tegar hadapi bencana. Cak Nun siap bersama rakyat melawan bila ada pihak-pihak yang mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.


Wujud optimisme Cak Nun: “Kendati Indonesia terus-menerus dihantam bencana (kaya bencana), bangsa inipun memiliki berkah turah kekayaan alam melimpah ruah. Semuanya ada di bumi pertiwi ini. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia.” Hal itu tentu tak lepas, sebab rahmat, kasih sayang, perhatian, dan berkah Tuhanlah yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Tapi untuk saat ini, kekayaan Indonesia dihabisi oleh persekongkolan elite politik dan birokrasi bangsa untuk kepentingan pribadi.


Ironi, bangsa (Indonesia) bergelimang kekayaan, namun rakyat masih didera kemiskinan kritis. Manusia Indonesia sudah miskin, ditambah lagi tak henti-henti digilas oleh bencana dahsyat. Sungguh kompleks derita rakyat Indonesia bila hingga kini masih belum mampu melepaskan kerangkeng tragika hidup miskin yang padat bencana. Ditengarai kesigapan pemerintah dalam penanganan bencana, bila status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Bukankah meski satu korban pun, perlu kita bantu selekas mungkin?


Peluang harap datang, saat kita dapat memaknai aforisma ‘Jasagen’ Nietzsche --filsuf yang membuka pintu gerbang posmodernisme itu--, “Meski hidup bisa menjadi sangat sulit, mengecewakan dan bikin gila, satu-satunya jalan adalah terus mengatakan “ya” kepada apa yang menggerakkan jiwa”. Nietzsche hendak menampik sejarah kegagalan yang membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.


Guna mendapat empati masyarakat luas atas kondisi masyarakat miskin tabah bencana, Cak Nun lewat bukunya ini berseru mirip Rabindranat Tagore: “Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di mana petani meluku tanah yang keras. Di mana pembuat jalan memecah batu. Disitulah Tuhan. Tuhan bersama petani dan kuli berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Beranjaklah dari samadi dan hentikan nyala setanggi. Meski pakaian tuan usang dan kotor. Cari dan tolonglah dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan”.


Buku ini berbasis menggugah ruh filantropi (filos ‘cinta’, antropos ‘kemanusiaan’), berwujud cinta kasih akan kemanusian. Membacanya, membikin nurani terketuk hendak lekas berbuat sesuatu terhadap kaum miskin tabah bencana. Tak cukup hanya meratap sedih bila mendapati kaum miskin tabah tuna daya digempur bencana.


Tidak ada komentar: