Senin, Maret 03, 2008

Sejarah Media dan Industri Kematian


Oleh: A. Qorib Hidayatullah


Tak banyak yang diharapkan dihari itu. Seluruh sudut terkecil kota lengang, sepi, bercampur getir. Suasana itu konstruk media yang over gembar-gembor kematian H.M. Soeharto, mantan Presiden ke-2 RI. Minggu, 27 Januari 2008, Bapak Pembangunan tersebut mangkat selamanya keharibaan Tuhan. Seluruh media, baik elektronik maupun cetak berebut informasi saling mengup-date berita kematian Soeharto.


Dalam kolom-kolom media cetak tak kosong dari ulasan-ulasan obituari. Di TV beragam program reportase kematian Soeharto ditayangkan. Ada yang wawancara langsung kepada tokoh politik (Amin Rais), budayawan (Cak Nun), hingga aktivis mahasiswa 1998 (Fadjroel Rahman), dan banyak lainnya.


Selain itu, pampangan iklan disetiap media cetak maupun elektronik saling berdesakan untuk dimuat. Iklan tersebut terlansir bukan ihwal komersial produk atau promosi barang, melainkan iklan yang berisi garitan kalimat belasungkawa pada penguasa orde baru selama 32 tahun memimpin bangsa Indonesia.


Bahkan, salah satu media cetak terlengkap, Kompas 28 Januari 2008, yang memiliki slogan “Lintas Generasi” itu menyediakan edisi khusus laporan kematian Soeharto. Pembaca setia Kompas pada hari itu disuguhi hingga nyaris “muntah” akan berita kematian Soeharto.


Rubrik opini Kompas pun, dikolom paling atas tergambar kartun Soeharto. Disana tertera kartun ilustratif yang apabila ditangkap pesannya: “Pak Harto mengangkat tangan laiknya hormat kepada SBY, seraya berbicara ‘selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal sanak-saudara, selamat tinggal anak cucu’.” Kolom Tajuk Rencana pun ditiap-tiap media dihiasi peristiwa mangkatnya Soeharto.


Simak misalkan, opini Kompas (28/01/2008) mengulas kematian Seoharto. “Merenungi Kematian”, tulisan A Sudiarja (Dekan Fak. Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) membikin saya terkesan. Tulisan opini itu menggambarkan betapa wajar bila seseorang mati ditaburi bunga Tulip, sebab “Bunga Tulip itu hidup”, kata Hideo kepada Takichiro (dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital —1962—).


Meski media membombardir berita kematian Soeharto, saya tak terlalu banyak mengikutinya. Pikir saya, itu sudah keterlaluan. Media ditengarai mereduksi inti kematian yang lazimnya direnungi dan diratapi. Seakan peristiwa kematian menjadi lahan basah sebagai “industri kematian” bagi media dengan meraup keuntungan nan fantastis. Iklan belasungkawa pada Soeharto yang nangkring dimedia, kalau dibaca dari segi profit, jelas akan memberi untung besar pada media tersebut.

1 komentar:

Tulisan Koran mengatakan...

Barang siapa bertekun di semak belukar huruf-huruf,dia kan hidup bermakna. Peradaban dimulai dari tulisan bukan keluyuran di mall atau bergaya hidup kawin-mawin dan selingkuh disangkal lalu diakui ala bintang sinetron. Blog karib Qorib gokil bangget! (From Book Worm Experice--pengalaman kutu buku, eh, pak guru.