Selasa, Juli 08, 2008

Mahasiswa dan Proyek Perubahan Pemimpin

Oleh: A Qorib Hidayatullah


Seperti sabda Nabi, "Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."


Pada tahap itu, setiap individu harus memasuki fase kekosongan. Suatu momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; membiarkan diri telanjang demi mencerap bahasa awam untuk merasakan denyut terlemah dari kehidupan masyarakat agar mampu membuka diri penuh cinta untuk yang lain.


Menjelang helat akbar pesta demokrasi di Jawa Timur, 23 Juli 2008, mahasiswa sebagai representasi kaum kritis pemerintahan tak bisa tinggal diam. Kendati tak sedikit dari mahasiswa yang terlibat suksesi Pilgub Jatim, namun itu bukan wujud ketumpulan suara kritis mahasiswa. Malainkan, itu sebuah gerakan mahasiswa guna menentukan platform dan keberanian melakukan tindakan dengan menggalang kekuatan di kancah politik praktis.


Intelektualisme Mahasiswa

Hakikat keberadaan kaum intelektual (mahasiswa) adalah kritisisme atau sikap kritis terhadap jagat realitas sekitar di mana ia berada. Kesadaran intelektual ini harus dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan sosialis —dalam pengertian mau membela dan memihak kaum lemah tertindas. Sebab, kata Ali Syariati, misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara, dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi (1996).


Dalam bahasa Gramscian, kelompok itu disebut dengan intelektual organik, atau Moeslim Abdurrahman menyebutnya sebagai subaltern intellectuals, intelektual akar rumput. Lapisan kritis civil society yang bertindak sebagai artikulator anti-kemapanan dan ketidakadilan (2003). Kaum intelektual yang peka akan realitas sosial, problem ketidakadilan dan ketertindasan.


Jika kaum intelektual diibaratkan roh dan kekuasaan adalah badan, sang roh selalu mengontrol tindakan si badan yang menyimpang dan merusak bebrayan agung alias kehidupan. Posisi kaum intelektual yang oposisional ini, bagi kekuasaan tidak hanya mengganggu, tetapi juga berpotensi menggagalkan cita-cita korupnya. Karena itu, kekuasaan berupaya menaklukkannya. Penaklukan bisa dengan cara kasar (membunuh hak-hak sipil/asasi atau membunuh secara fisik), bisa dengan halus merekrut intelektual dalam kekuasaan menjadi legitimator kekuasaan.


Kendati demikian, sebagai elite intelektual, mahasiswa yang berasal dari dunia kampus kerap mengusung ide pembaharuan yang berdiri di atas pijakan idealisme dan moralitas.


Mahasiswa Agen Perubahan

Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di mana pun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasional mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan. Hanya mahasiswa yang mampu menjadi pionir perubahan, sekaligus menjadi kekuatan yang paling ditakuti rezim penguasa despotik yang korup di belahan mana pun.


Tidak mengherankan, bagi Indonesia, gerakan mahasiswa menuntut perubahan, berlangsung pasang surut sejak 1966. Pemerintah Soekarno yang mengabaikan demokrasi, makzul oleh gerakan mahasiswa dan pemuda, pada 1966. Soeharto yang baru berkuasa secara de-jure empat tahun, harus menghadapi gelombang protes gerakan mahasiswa 1974. Sejak saat itu, Soeharto mengerangkeng mahasiswa yang telah memberikan kedudukan padanya. Gerakan mahasiswa, bangkit kembali 1977-1978 hingga mencapai puncaknya Mei 1998. Tuntutan reformasi nasional yang dikumandangkan mahasiswa, memicu kesadaran masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa.


Pada saat itu, hanya mahasiswalah yang berani bersuara di bawah ancaman laras senjata dan berani melangkahkan kaki di bawah desingan peluru dan gas air mata. Lebih dari tiga puluh tahun di bawah rezim Soeharto, tidak ada perubahan yang berarti dalam demokrasi.

Konsekuensi sebuah proses yang demokratis adalah terbangunnya kehidupan masyarakat yang demokratis. Demokrasi menuntut berfungsinya kontrol sosial, partisipasi masyarakat, jaminan penegakan hukum, terbukanya akses kegiatan ekonomi yang luas, perlindungan negara terhadap hak-hak individu, serta menempatkan militer sebagai alat negara yang tidak terlibat dalam urusan politik.


Mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan), selayaknya memendarkan kekuatan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, mahasiswa dituntut ikut andil mengubah prilaku pemimpin. Hampir sepuluh tahun lebih melewati masa transisi demokrasi (1998-2008), jarang kita menemukan hadirnya para politisi seperti Barack Obama yang berpolitik dengan ide/gagasan.

Setelah Senator Barack Obama mengeluarkan buku The Audacity of Hope (2006), masyarakat Amerika terhenyak ketika mereka baru sadar bahwa pekerjaan seorang senator tidak saja berdebat di ruang-ruang sidang, berorasi di hadapan para konstituen, melainkan juga bisa ikut memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat lewat goresan kata-kata yang inspiratif. Buku berikutnya From Promise to Power (2007) yang tulis David Mendell makin memberi keyakinan bahwa berpolitik tanpa ide dan gagasan sama artinya dengan memangku jabatan tanpa tanggungjawab.


Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk senantiasa berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswalah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik di masa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seyogianya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka serta berdaulat.


Tidak ada komentar: