Senin, November 10, 2008

Genealogi Kecantikan Bidadari Dungu


Esai A Qorib Hidayatullah

(catatan buat Perempuan Suamiku)

Permisi, Bidadariku… aih, aih

Syahdan, saya mendaras cerpen Sirikit Syah, penulis cewek yang memiliki talenta di jagad literer, di koran Kompas, Perempuan Suamiku. Dalam cerpennya tersebut, Sirikit Syah lihai membesut cerita ihwal pasangan laki-laki dan perempuan ideal.

Konon kecantikan adalah anugerah terindah bagi wanita. Kecantikan memiliki kemampuan magnetik luar biasa yang mampu meruntuhkan dunia laki-laki. Dalam berbagai sejarah kemanusiaan dan mitologi kuno dilukiskan betapa dahsyatnya pengaruh kecantikan seorang perempuan terhadap jiwa laki-laki sehingga ia mau berkorban dan melakukan apa saja demi sang perempuan. Keagungan dan kekuasaan laki-laki dapat jatuh dan bertekuk lutut di bawah kakinya.

Beberapa ilustrasi misalnya, kisah Adam dan Hawa, Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta, dsb. Perebutan wanita cantik antara Qabil dan Habil, perselisihan antara Epimetheus dan Prometheus demi memperebutkan Pandora yang cantik, juga turut mewarnai sejarah tragedi kemanusiaan atas nama kecantikan perempuan.

***
Sirikit Syah, selain aktivis media, pun ia rajin menggarit tulisan soal seni sastra. Di setiap tulisan-tulisannya, Sirikit selalu menampakkan “kejagoannya” mengemas kerak ide dan menjadikan tulisannnya menarik disimak. Misalnya, dalam Perempuan Suamiku, Sirikit menanyakan kembali soal pasangan ideal bagi kita kelak.

Sebagai kaum perempuan Dunia Ketiga (istilah yang akrab dicitrakan bagi negara-negara berkembang, semisal Indonesia), Sirikit sangatlah lazim mengamalkan laku cemburu (cewek posesif) terhadap suaminya (sebagai pasangan hidupnya). Sirikit tampak tidak ikhlas bila mendapati suaminya berpoligami dan kepincut pada bidadari yang dungu. Hal itu Sirikit tampilkan pada tiap bangunan cerita dalam Perempuan Sumiku.

Sirikit seakan-akan berkhotbah kepada kita semua bahwa dalam hal mencari pasangan janganlah gampang melecutkan rasa kasih-sayang terhadap pasangan kita masing-masing. Sirikit tampak murka atas salah satu pasangan yang hanya mengutamakan hasrat libidinal, memilih pasangan yang melulu melihat tubuh seksis dari pasangan.

Tapi Sirikit pun tak menampik akan pentingnya pasangan yang pintar mengosmetika diri agar selalu cantik-menarik. Tapi jangan salah, Sirikit pula memiliki pandangan atas pasangan yang cantik, pintar merawat diri, namun ia lemah intelektual, akhirnya Sirikit tak ragu-ragu menyebutnya dengan ‘Bidadari Dungu’.

Bidadari Dungu menurut terang imajinasi Sirikit ialah perempuan cantik yang menyengaja menenggelamkan dirinya di arus deras modernitas. Ia hanya merayakan kesadaran palsunya dan menukarkan integritas diri dengan gaya-gaya hidup urban.

Di tengah kesumpekan hidup, berjubel bidadari yang kerapkali menangkringkan dirinya di mal-mal, atau pun di tempat-tempat lainnya pendompleng ikon modernisme. Bidadari model ini, sangatlah jelas bukan bidadari kiriman dari langit. Sebab, laku bidadari langit (tentu bidadari yang tak dungu) itu selalu mendandani dirinya tampak sahaja, dan memiliki kekhasan tersendiri dalam menertawakan proyek modernisme.

Menapaki geladak garitan cerpen Sirikit tersebut, pembaca digiring berada di atas angin dalam hal mencari pasangan. Kendati sebuah cerpen adalah kisah fiktif, tak jauh panggang dari api, cerpen Perempuan Suamiku pun bisa dijadikan cantelan dalam menelusuri labirin pencarian pasangan hidup di dunia nyata. Cerpen, kini, sudah tak hanya memotret alam angan. Bertolak dari itu, cerpen sudah amat menyehari berebut menangkap geliat kegiatan manusia yang kadang-kadang bikin ruwet. Bukankah mencari pasangan itu juga hal ruwet? He he he…

Permisi, Bidadariku… aih, aih

Tidak ada komentar: