Senin, November 10, 2008

Saatnya Data Memimpin Wacana!


Judul Buku : Saatnya Muslim Bicara!
Judul Asli : Who Speaks for Islam
Penulis : John L. Esposito & Dalia Mogahed
Penerjamah : Eva Y. Nukman
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : 252 Hlm
Peresensi : A Qorib Hidayatullah*

Riset Gallup World Poll yang dijelmakan dalam buku ini, tentang citra Barat dan Timur (Islam), menjadi tesis tandingan atas tesis Samuel Huntington tentang tubrukan antar-peradaban. Huntington pada 1993, sempat bikin geger masyarakat Barat maupun Islam lewat artikelnya, “Clash of Civilizations?” yang tayang perdana di jurnal Foreign Affairs. Huntington meramal peradaban Islam tidak dapat berjalan beriringan dengan peradaban Barat.

Lebih jauh, Guru Besar Universitas Harvard tersebut menilai Islam tidak apresiatif terhadap nilai-nilai Barat. Pada saat yang sama, Islam dipandang tidak menghargai ide-ide tentang hak asasi manusia, persamaan derajat wanita, serta demokrasi. Untuk itu, gerakan dan tindak-tanduk umat Islam perlu dicermati dan dicurigai.

Dalam terang pemikiran Huntington, peradaban muncul dengan ciri-ciri yang beragam. Ia dapat mengemuka dalam bentuk satuan geografis, agama atau etnik. Sifat peradaban yang menyeluruh itu dapat memicu konflik yang jauh lebih rumit. Huntington mengalegorikan, seorang Muslim tidak mungkin menjadi Kristen atau Hindu pada saat yang sama. Mereka dapat hidup berdampingan, tapi tidak dapat meleburkan diri masing-masing dalam satuan yang sama.

Secara umum, tesis Huntington didasarkan pada peristiwa penting yang terjadi pada akhir abad ke-20: kemenangan kapitalisme. Setelah sekian abad lamanya mendapat tantangan dari bermacam-macam ideologi, kapitalisme terbukti dapat menunjukkan diri sebagai ideologi yang paling berkuasa. Menurut Huntington, fenomena ini menunjukkan bahwa peradaban Barat sedang di atas angin.

Sebagai karya akademis, tesis Huntington sebenarnya terbilang biasa-biasa saja. Ramalan bahwa akan terjadi benturan peradaban juga bukan sesuatu yang sensasional. Kecenderungan Huntington memprediksi apa yang akan terjadi adalah fenomena lazim yang kerapkali ditemui dalam tulisan ilmiah lainnya.

Berbeda dari tesis Huntington, temuan Gallup World Poll lewat jajak pendapat selama beberapa tahun di dalam buku ini yang melibatkan 1,3 miliar umat muslim di seluruh dunia, berusaha meneroka opini sesungguhnya dari mayoritas umat Muslim dunia tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan isu-isu mutakhir lainnya.

Data Gallup World Poll memperlihatkan, hal yang memperkuat perbedaan pendirian antara negara-negara Barat dan Muslim adalah persepsi bersama, atau lebih tepatnya, salah persepsi. Masing-masing pihak banyak yang percaya bahwa pihak lain tidak peduli. Akan tetapi, hanya kelompok minoritas pada kedua belah pihak yang tidak peduli akan hubungan yang lebih baik antara Barat dan masyarakat Muslim, sehingga menyingkapkan benturan ketidaktahuan, bukan benturan peradaban (hlm 198).

Keyakinan yang jamak tersebar di Barat adalah bahwa “mereka (Muslim) membenci kita karena demokrasi, kebebasan, budaya, nilai, dan kesuksesan/kemajuan kita.” Tapi saat Gallup World Poll mewawancarai beberapa responden, hasilnya malah bertolak belakang dari anggapan tersebut (hlm 179). Misalkan, pengakuan responden asal Turki, “Saya mengagumi kebebasan mereka (Barat). Mereka peduli dengan hak asasi manusia. Ada demokrasi dan keseteraan. Mereka maju dalam teknologi.” Atau pernyataan yang lain dari responden asal Pakistan, “Cara mereka (Barat) bekerja keras. Hal itu membantu mereka dalam membangun negara mereka.”

Lalu, mengapa sebagian Muslim membenci Barat? Data survei Gallup World Poll menunjukkan, penyebab utama anti Amerikanisme dan kemarahan internasional dikarenakan dampak dari kebijakan luar negeri Amerika di Dunia Islam. Namun, data itu memilai-milah “Barat dan “Dunia Islam” menjadi negara-negara tersendiri. Misalkan, ketidaksukaan umat Muslim terhadap Inggris dan Amerika Serikat sangat berlawanan dengan pandangan yang lebih positif terhadap Prancis dan Jerman (hlm 197). Di semua negara bermayoritas penduduk Muslim yang dijajak pendapatnya, rata-rata 75% responden mengaitkan “zalim” dengan Amerika Serikat (jauh beda dengan hanya 13% untuk Prancis dan 13% untuk Jerman).

Kendati demikian, mayoritas orang Amerika mengatakan bahwa hubungan dengan Dunia Islam menjadi perhatian besar bagi mereka. Mereka juga percaya bahwa diperlukan interaksi yang banyak. Tampaknya, mereka berpikir bahwa apa pun perpecahan yang ada antara Barat dan negara-negara Muslim, hal itu disebabkan oleh kesalahpahaman kultural di kedua pihak.

Kaum Muslim pun menyatakan bahwa apa pun perpecahan yang ada antara Barat dan Dunia Islam sebagai akibat kurangnya sikap saling memahami dan menghargai. Kaum Muslim tidak menganjurkan atau menuntut perubahan budaya serta norma sosial Barat sebagai jalan menuju hubungan yang lebih baik. Meski kemunduran moral sosial merupakan suatu aspek yang paling mereka benci dari Barat, memperbaiki hal ini tidak disebut-sebut sebagai cara untuk memperbaiki hubungan.

Konflik meletihkan antara Barat dan Dunia Islam bukanlah tak dapat dielakkan. Konflik ini disebabkan kebijakan politik yang tidak tepat, bukan pertikaian prinsip. Jajak pendapat Gallup World Poll mengurai bernas bahwa orang-orang Lebanon sangat menghargai Kristen dan Muslim (lebih dari 90% berpandangan positif terhadap lainnya), meski satu dekade perang sipil di Lebanon terjadi di antara kelompok-kelompok keagamaan.

Berkat jasa profesor Islamic Studies di Georgetown University, John L. Esposito dan Dalia Mogahed, analis senior serta direktur eksekutif Gallup Center for Muslim Studies, data survei itu bisa terkemas rapi dalam buku ini. Buku yang menggiring pembaca mafhum atas pertanyaan-pertanyaan semisal: Apakah mayoritas muslim menyetujui aksi terorisme atas nama Islam?; Apakah mayoritas muslim membenci Barat?; Manakah yang dipilih muslim: demokrasi atau teokrasi?; Benarkah mayoritas muslimah merasa tertindas? Dan benarkah mereka menginginkan kebebasan seperti wanita Barat?

Dikarenakan buku ini berdasar riset, pertanyaan-pertanyaan di atas memiliki pertimbangan jawaban yang objektif. Sebagaimana dikatakan Albert Einstein, “Hal yang penting adalah tidak berhenti bertanya.” Dan Einstein juga mengatakan, “Kita harus tahu apa yang sebetulnya terjadi, dan bukan mencari apa yang menurut kita sebaiknya terjadi.” Saatnyalah data memimpin wacana!

Tidak ada komentar: