Rabu, Maret 04, 2009

Baudrillard dan Iklan Politik


Oleh A Qorib Hidayatullah

Pengamat politik dan komunikasi yang lagi giat-giatnya beradu analisis di ambang pelaksanaan pemilihan legislatif maupun pilpres 2009 ini, patut tak melupakan kekuatan yang bermuasal dari iklan politik media.

Kendati tampak baru, iklan politik menjadi peranti melambungkan pengaruh popularitas yang tergolong praktis. Di tengah-tengah ditengarainya masyarakat melek media, di mana Mc Luhan menesiskan global village (desa global,--sebuah hamparan ruang masyarakat yang gampang dimasuki segala informasi) sebagai penggambaran keadaan itu. Sehingga, “desa” kami kini sudah tak ada sekat lagi. Yang ada hanya berhamburannya teks-teks kepentingan yang ditunggangi penguasa. Bahkan, bisa-bisa teks tersebut senantiasa represif hingga menekan kami. Ya, kami hanya bisa bergumam saja, bukan?.

Kendati media di sisi lain telah berjasa besar bagi kemajuan suatu bangsa, media pun tak luput dari dosa yang niscaya diembannya. Misalnya, dalam buku Menembus Fakta (2009) besutan Panda Nababan telah gamblang membeberkan serentetan dosa-dosa media, termasuk dosa para elite redaksi. Media, pada titik itu tak lagi tunggal menjadi penyampai informasi melulu, tapi pula intervensi kebijakan urgen penguasa yang mempertaruhkan nasib rakyat.

Media dan Iklan Politik
Sebagai langgam baru di jagad perpolitikan, iklan yang kemudian mewujud “iklan politik” kali ini telah gesit merangkak sebagai industri. Kalau boleh disebut hal ini bisa jadi varian baru dari industri media. Kronik yang melansir iklan politik media sangat gampang sekali kita temukan. Bahkan di tiap jeda beberapa detik saja, sajian iklan politik sudah menjejali mata kita lagi. Sungguh tak salah bila iklan politik ditabalkan sebagai industri media.

Begitulah permainan manusia modern dalam merayakan proyek modernisme absurd. Sehingga filsuf Jean Baudrillard menganggitkan adanya Galaksi Simulakra (2001). Realitas patut dicurigai. Kebenaran layak ditertawakan. Karena semuanya, lagi-lagi kata Jean Baudrillard, ialah simulasi palsu. Sehingga hamburan realitas palsu itu patut dicurigai dan ditertawakan.

Kaitannya dengan iklan politik yang diecer oleh para kandidat yang asyik-masyuk bertanding dipemilihan legislatif maupun presiden 2009 ialah kepatutan selektif rakyat mengenyam iklan janji-janji yang digulirkan. Beragam iklan janji politik yang ditampilkan, mulai dari harga sembako murah hingga biaya pendidikan gratis. Sangat menggirkan bukan?

Sehingga, kontestasi politik kali ini adalah mempertaruhkan seberapa kreatif-cerdik para kandidat —yang menggunakan jasa iklan politik sebagai alat pengaruh— guna mempermainkan opini publik. Dan rakyat pun sebagai komunitas pemilih dituntut cerdas memilih para kandidat yang akan mengusung suara kerakyatan dipentas legislatif dan eksekuti nantinya.

Sejatinya, iklan politik tak lepas dari peran ganda media sebagai penyalur informasi dan independensi. Media diharap mampu menetralisir permainan iklan politik yang bisa berpotensi membodohkan rakyat. Rakyat di sini sudah saatnya tak mudah memilih pemimpin (legislative maupun eksekutif) secara serampangan. Rakyat kudu tak gampang terbuai janji-janji kosong pera kandidat yang menunggagi iklan politik. Sehingga, petuah Jean Baudrillad adalah bagaimana rakyat bisa keluar dari kesadaran palsunya yang tersimulasi oleh iklan politik.

Tidak ada komentar: