Rabu, Maret 04, 2009

Solilokui Hidup Serampangan


Oleh A Qorib Hidayatullah

Bukan sebuah kebetulan bila Ponari —dukun cilik asal Jombang— berkat batu ajaib yang ia temukan, konon, mampu mengobati beragam penyakit. Dan konon pula Ponari adalah bocah yang gemar bermain di musim hujan, hingga petir menyambarnya sekaligus mengganjar Ponari dengan batu ajaib. Kini, masyarakat pun dibikin geger berduyun-duyun menyambangi rumah Ponari.

Ponari mendadak menjadi sang fenomenal. Media cetak maupun elektronik berebut melansir ketenaran sang dukun cilik itu. Yang menarik dari fenomena Ponarisme adalah ekspektasi masyarakat jamak ditengarai terancam solilokui (amal kesepian hidup yang berlarat) hingga berebut berobat kepada Ponari dengan biaya murah demi kesembuhan penyakitnya.

Saat ini masyarakat kita bisa dikata bergaya hidup serampangan. Rasionalitas telah menjadi mitos. Rasio masyarakat terjebak mempercayai bahwa batu ajaib Ponari bila dicelupkan ke air bisa bikin sembuh segala penyakit. Rasio medis lambat laun terkubur dalam-dalam, dan dianggap sudah tak ampuh lagi. Batu ajaib Ponari itulah yang malah oleh masyarakat dianggap ampuh bikin sembuh. Batu ajaib yang benar-benar ajaib. Tanpa diagnosa terhadap pasien, batu ajaib tersebut bisa menyembuhkan beragam penyakit.

Kegelisahan masyarakat yang demikian itu bukanlah tanpa muasal. Kendati masyarakat dalam hal penyakit melabuhkan kesembuhannya perantaraan Ponari, itu semata-mata tersebab kualitas pelayanan kesehatan pemerintah yang ditengarai lemah. Sehingga masyarakat pun lebih gesit memilih cara sembuh dengan berobat alternatif. Obat alternatif itulah yang dipilih masyarakat guna menjawab kecarut-marutan pemerintah di bidang kesehatan.

Apalagi, tahun-tahun ini Indonesia mengalami goncangan dua bencana dahsyat: pemanasan global dan krisis finansial, selain musim penghujan yang banyak mengirim penyakit/musibah baru bagi masyarakat. Tak ayal, masyarakat merasa komplit didera solilokui yang terus-menerus. Ditambah dengan daerah-daerah-daerah di Indonesia yang memang telah jadi langganan dikirimi banjir. Dari sini, apa benar tesis Sindhunata yang mengatakan, “Apokalipsme Hidup Harian?.”

Dalam Apokalipsme Hidup Harian, Romo Sindhu menarasikan keniscayaan kemelaratan dan kesedihan dalam hidup, hingga al-hasil kita hanya menjadi penunggu dari suatu kehancuran. Sehingga manusia kudu belajar kesahajaan dan kesederhanaan hidup untuk menangkis serangan apokalipsme atau solilokui. Dus, di tengah gempuran kuat dan amukan hebat zaman itu, hanyalah puing-puing kebersemangatan yang tak bisa hancur luluh lantak diterpa badai apokalipsme. Ya, hanya semangat yang tak bisa tergantikan.

Bagaimana pun, Ponari adalah fenomena jeda hidup yang patut disyukuri sekaligus ditertawai. Tatkala air telah dicelupkan batu ajaib Ponari, lalu diteliti di salah satu laboratorium Universitas Airlangga Surabaya, terbukti air tersebut mengandung kristal, berbeda dengan sample air biasa. Bukankah ini kemukjizatan?

1 komentar:

kahmi uin mengatakan...

salam kreatif