Selasa, Juni 09, 2009

Mimpi Menjadi Presiden Hebat


Judul Buku : Andai Presiden Sehebat Harry Potter
Penulis : Agenda 18
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 188 hlm
Peresensi : A Qorib Hidayatullah*

Tahun 2003, Agenda 18 mewujud. Agenda 18 dihuni anak-anak muda (baca: penulis muda) yang berbasis Katolik dan berwawasan plural.

Buku setebal 188 halaman ini memuat 16 judul tulisan dari 14 penulis muda yang tergabung di Agenda 18. Buku yang mampu meringkas percikan mimpi para kuli tinta yang sadar menegur pemimpin bangsa lewat aksi literasi.

Tulisan yang terhimpun dalam buku rampai ini sengaja dikemas renyah-mengalir sesuai selera anak muda. Nuansa keremajaan ditemukan tatkala membuka lembaran buku di mana tiap-tiap judul tulisan dibuat “tak ilmiah.”

Hal itu tampak saat mata memelototi judul buku ini: Andai Presiden Sehebat Harry Potter. Sekilas memantik kesan bahwa pemimpin negeri ini didamba laiknya tukang sulap (sihir). Pemimpin diharap mampu menyulap rakyat melarat menjadi makmur-sejahtera.

Buku rampai ini menyajikan tulisan yang amat beragam terkait persoalan pelik pemimpin bangsa. Roy Thaniago, Selamat Pagi, Mas Presiden (hlm.15), mengabarkan pesan pentingnya pemimpin muda. Roy, di awal tulisannya menyitir petuah Pramoedya Ananta Toer: “Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda…”. Lalu siapa generasi muda itu?

Menurut Roy, generasi muda adalah mereka yang berusia belia (muda). Usianya kisaran 35-50 tahun. Tapi usia bukanlah syarat mutlak seseorang terkategori generasi muda. Ia bisa saja berusia di atas 50, tapi memiliki pikiran yang baru (muda), kultur yang baru (belum pernah terlibat dalam kerja parpol atau pemerintahan yang korup), semangat yang baru, dan juga mimpi yang baru (hlm. 20).

Seperti Ninoy, panggilan akrab Benigno Aquino Jr., suami Corazon Aquino, mantan presiden Filipina. Ninoy pemuda aktif berpolitik. Ia menjadi walikota pada usia yang sangat muda, 22 tahun, lalu berlanjut diganjar jadi gubernur di usia 28 tahun. Dalam usia 34, ia pun masuk sebagai senator termuda Filipina saat itu.

Di belahan dunia lain, sederet nama tokoh muda tampil gagah, seperti Evo Morales, memimpin Bolivia pada usia 47 tahun. Bashar Al Assad dari Suriah menjadi presiden di usia yang belum genap 45 tahun. Hugo Chaves ditahbis menjadi presiden Venezuela pada usia 44 tahun. Pun deretan nama pemimpin muda di Amerika, dari J.F. Kennedy (berusia 43 tahun menjabat presiden), Bill Clinton (47), hingga yang populer dibicarakan saat ini, Barack Obama (47).

Kekuatan dari pemimpin muda itu ialah piawai memelihara mimpi. Seturut Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness (2008): “Pikiran picik membicarakan orang lain. Pikiran biasa membicarakan kejadian. Pikiran besar membicarakan ide-ide atau mimpi-mimpi.” Dan, mungkin kita pun masih ingat kata-kata Benedict Anderson dalam bukunya yang telah menjadi klasik: Imagined Communities (1983) atau, dalam terjemahan Indonesia, Komunitas-Komunitas Imajiner (Insist, 2001). “Bangsa sesungguhnya adalah sebuah komunitas yang diangankan, sebuah komunitas yang dianggit, sebuah komunitas yang diimpikan.”

Betapa penting dan mahalnya menggubah mimpi. Hingga Christa Sabathaly menulis di buku rampai ini, Kalau Presiden Punya Facebook (hlm. 28). Christa mengimpikan presiden turut memiliki jejaring pertemanan (sosial) yang kini lagi mentereng itu. Ia rela mendadani tampilan Facebook-nya dengan profil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan foto yang ditampilkan di Facebook adalah foto Bapak SBY dan Ibu Ani.

Harapan Christa, tatkala Bapak SBY punya account Facebook, bakal banyak rakyat yang akan mengecek profil presiden. Tak hanya untuk memberi penilaian, tapi juga ingin mengenal Bapak presiden lebih dekat dan mendalam (hlm. 30). Sehingga, aspirasi rakyat pun gampang didengar, sebab Facebook menyiadakan wall (dinding) buat komentar.

Tak kalah menarik, Sri Maryanti menulis Dicari: Presiden dan Wapres yang Sensitif Perempuan (hlm. 59). Di tengah makin dekatnya pemilu dan pilpres, Sri gelisah atas nasib perempuan sebagai kaum pemilih yang lebih banyak dibanding laki-laki. Sementara ini, perempuan melulu ditunggangi kepentingan politis, lalu dieksploitasi. Nasib perempuan tak terlalu diperhitungkan. Tak sedikit dari kebijakan elite pemerintah ini ditengarai tidak sensitif berpihak pada perempuan.

Beberapa waktu silam presiden SBY memberikan aspresiasi menarik kepada perempuan Indonesia. Perempuan, ia persepsikan memiliki kelebihan-kelebihan khusus, seperti teliti, hemat, dan lebih sukar diajak korupsi. Persepsinya yang demikian itu diperkuat pengalamannya saat berdiskusi dengan tokoh peraih Nobel, Muhammad Yunus. Yunus berhasil mendorong usaha kecil kelompok miskin dengan melibatkan perempuan dalam program tersebut di negaranya.

Kendati demikian, pilpres kini sudah di ambang pintu. Beragam cara bagaimana berharap agar pemimpin terpilih kelak lebih baik dari sebelumnya. Berseberangan dari itu, Agnes Rita menulis Apa Iya, Kita Butuh Presiden…? (hlm.114). Rita berspekulasi dan membeberkan fakta kota Medan yang tidak mempunyai kepala daerah, setelah Walikota Abdillah dan Wakil Walikota Ramli Lubis ditahan awal bulan Januari 2008. Apakah kota Medan kemudian mandek?

Ternyata tidak. Aktivitas kehidupan masyarakat tetap berlangsung seperti biasa. Pemerintahan daerah masih berlanjut. Media massa pun tak pernah melansir terjadi kekacauan pasca-ketiadaan Walikota dan Wakil Walikota di Medan. Memang, iklim demokrasi saat ini menuntut keleluasaan masyarakat menentukan pilihan sesuai hatinya.

Menikmati sekujur detail tulisan yang disaji dalam buku rampai ini, tampak sekali anak muda memiliki kekhasan tersendiri memotret pemimpin Indonesia ke depan. Komentar Fadjroel Rachman untuk buku ini, “Buku ini mirip sihir, hadir dari anak-anak muda yang tak mau kehilangan mimpi. Kalau terbit di zaman Orde Baru, buku ini pasti dilarang beredar.”

Tidak ada komentar: