Rabu, Februari 25, 2009

Kesunyian Seabad Pers


Oleh A Qorib Hidayatullah

Awas! Kaoem Journalist!

Jadi Journalist zaman sekarang,
Berani dihukum dan di buang.
Karena dia yang mesti mendang,
Semua barang yang malangmalang.

Journalist harus berani mati,
Bekerja berat membanting diri.
Sebab dia hendak melindungi,
Guna mencari anak sendiri.

Journalist harus bisa berdiri,
Sendiri juga yang keras hati.
Dan tidak boleh main komedi
Guna mencari enak sendiri.

Koran itu tooneel umpamanya,
Tuan membaca yang menontonnya,
Journalisnya jadi pemainnya,
Hoofdredacteur jadi kepalanya.

[Marco Kartodikromo, Sinar Hindia, 14 Agustus 1918]

Melongok tangga sejarah pers nasional, yang sejatinya jatuh pada tanggal 9 Februari masih menyisakan silang sengkarut ihwal kapan sebenarnya hari pers nasional itu diperingati.

Lambat laun tapi pasti, jamak para periset Seabab Pers Kebangsaan (1907-2007), yang dikomandani Muhidin M. Dahlan, lihai menyeruak hingga ke akar genealogi rekam jejak perjalanan pers dalam rentang seratus tahun yang panjang itu. Mereka —para periset pers— beriktikad gigih menemukan kembali sejarah kritis jagad pers di tengah-tengah industri pers yang ditengarai kerap ditunggangi penguasa. Ikhtiar penelitian itu mengingatkan kita pada karya agung Gabriel Marquis, One Hundred of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Ya, jika tak berlebihan bisa diplesetkan Kesunyian Seabad Pers, bukan?

Narasi kesunyian seabad pers itu oleh para jema’ah periset ditulis dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2009. Sang komandan, Muhidin M. Dahlan, menulis artikel yang sangat provokatif terkait keabsahan sejarah memperingati kapan sejatinya hari pers diperingati. Lewat judul tulisan Revolusi Yang Lahir dari Cetak, sekaligus menjadi tulisan pengantar, Gus Muh —panggilan akrab Muhidin M. Dahlan— berlelaku skeptis atas siapa tokoh pers yang all out berjuang di jagad pers. Hingga pada akhirnya, Gus Muh menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai sosok yang telah memberikan semua hidupnya guna meneguhkan fungsi pers sebagai pengawal pendapat umum yang membikin suara masyarakat tuna-daya menjadi berarti di hadapan kekuasaan. Dan Gus Muh memberi kesaksian bahwa sosok Tirto Adhi Soerjo mangkat dengan tragis nan sunyi pasca papas habis-habisan oleh kolonial lewat operasi arsivaris yang sistemik pada 7 Desember 1918.

Al-hasil, Gus Muh pun memanggil memorinya agar mengenang dan memberi hormat atas amal sosok Tirto Adhi. “Tak berlebihan bila kita mempertimbangkan untuk menjadikan hari mangkatnya Tirto Adhi, 7 Desember, sebagai Hari Pers Indonesia” ujar Gus Muh. Tapi ya menurut saya, terserah pemirsa juga, bukan?

Minggu, Februari 01, 2009

Rute Pejalan Jauh (Bagian II)


Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup
Oleh A Qorib Hidayatullah

Seakan menjadi ketakutan memoria passionis manusia dalam mengimajinasikan terma ‘jalan’. ‘Jalan’ pada era kolonialisme menjadi hantu yang amat mengerikan. Mengapa tidak? Era itu adalah masa kekejaman Daendles, era kolonial sistem kerja paksa (cultuur stelsel) pihak penjajah terhadap masyarakat Jawa (baca buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendles, 2005 ).

Dalam masa pembangunan fisik (berupa jalan Daendles atau lebih keren disebut jalan dengan rute Anyer hingga Penarukan) di wilayah Jawa tersebut, Tuan Daendles memasang rute ampuh, wilayah mana saja yang akan dijadikan rute pembangunan jalan itu.

Masa pembangunan jalan yang amat panjang itu telah memakan korban sekitar 12.000 orang. Sehingga, masyarakat pada masa itu (5 Januari 1808) benar-benar takut mengingat terma ‘jalan’. ‘Jalan’ telah menjelma hantu yang mengerikan. Tak ada satu pun masyarakat yang mau menjadi korban pembuatan rute jalan. Bukankah dalam preseden tersebut telah menjadikan manusia anti akan rute jalan? Manusia pada masa Daendles dituntut untuk berspekulasi agar terselamatkan dari korban kekejian Tuan Daendles.

Berbicara tentang ‘jalan’ hakikatnya tergantung pada pemafhuman manusia. ‘Jalan’ itu bak takdir. Di mana manusia tidak secara utuh mengetahui akan takdir itu. Jadi selain takdir, rahasia Tuhan yang ke nomor sekian adalah ‘jalan’. ‘Jalan’ pun kini mewujud menjadi rahasia Tuhan. ‘Jalan’ manusia bisa saja mapan bahkan bisa jadi ambruk sekali pun. Tergantung pada spekulasi manusia menapaki jalan hidupnya. ‘Jalan’ itu butuh perjuangan. Laiknya pembikinan jalan Daendles membutuhkan daya juang tinggi masyarakat Jawa.

Ketika jalan sudah butuh akan perjuangan, maka rute jalan ternafikan dengan sendirinya. Sebab rute jalan hanya pantulan dari rute jalan hidup orang lain, dan belum tentu rute jalan hidup orang itu benar. Kalau pun kita memaksa diri untuk membonceng semangat menggunakan rute jalan maka hakikatnya kita telah dipermainkan oleh mekanisme kuasa penentu rute jalan tersebut.

Rute jalan hidup sangat beda dengan rute jalan Daendles. Rute jalan hidup itu menuntut keberanian berspekulasi, sedang rute jalan Daendles kudu sesuai dengan mekanika kuasa Tuan Daendles. Dan ironisnya, bila tidak seritme dengan permainan kuasa Tuan Daendles, maka taruhannya adalah nyawa. Sementara jalan hidup yang memiliki semangat spekulatif nan progresif itu hanya membutuhkan kendaraan keberanian. Bermodal berani tapaki jalan hidup spekulatif, sedikit berdaya nyala serampangan, maka pejalan jauh itu tetap berada di arus kreatifitas jalan hidup tanpa ada sekat-sekat rute, melainkan kebebasan dan kebenaran yang bernas. Jangan bingung ihwal kesesatan, wahai pejalan jauh.
Bukan begitu Tuan Daendles? He he he

Rute Pejalan Jauh (Bagian I)


Tafsir Jalan Daendles & Jalan Hidup
Oleh A Qorib Hidayatullah

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang, tiap kali memberanjakkan diri dari hamparan menuju ke hamparan yang lain, membutuhkan acuan rute jalan supaya tak sesat. Lazimnya manusia kebingungan, berbekal acuan rute jalan mampu memandu agar manusia itu tetap berada di jalur linear sesuai hendak ke mana ia pergi. Tanpa rute jalan, manusia acap dibikin kelimpungan, sebab kesesatan sudah tampak di pelupuk mata. Rute jalan pada titik ini seolah Tuhan kecil yang senantiasa dijadikan rujukan manusia untuk berlabuh.

Namun, terkesan miris tatkala manusia melulu menggantungkan dirinya pada jasa rute jalan. Ke mana pun ia mau pergi, sementara rute jalannya tidak ada, maka orang itu akan pasti mengurungkan kepergiannya. Menurut saya, rute jalan semacam tafsir mikro yang sangat praktis. Rute jalan tak ubahnya dalam kunjungan seorang ekspatriat yang terdesak membutuhkan seorang tour guide untuk dijadikan teman pendamping selama dia berkunjung pada sebuah tempat.

Sedangkan pada tafsir makro dari ketergantungan pada rute jalan ialah tersebab manusia tak tahu arah hendak ke mana ia mau pergi. Namun, kehidupan yang serba tak linear ini, manusia oleh Tuhan dibekali agar meniscayakan ijtihad kreatif dalam menentukan arah pijak melabuhkan kehidupan. Kedua dari tafsir mikro dan makro atas rute jalan tersebut, semua itu memusat pada satu landasan yang mendesak agar manusia selalu berspekulasi dalam hidupnya.

Tuntutan manusia spekulatif dikarenakan hidup ini amat kelam. Kekelaman hidup menggiring pada aras ketakjelasan kompas hidup. Robert Holden dalam Timeless Wisdom for Manic Society mempetuahi kehidupan dengan alegori demikian, “Ada masa jeda manusia secara terus-menurus dirundung kebuntuan. Bergerak ke depan tampak buntu, mundur ke balakang buntu, menengok ke arah kanan dan kiri dari kehidupan pun buntu semuanya. Tapi lanjut Holden, manusia dalam suasana yand demikian itu tak ada ruang mengeluh dengan berkata: Aku Menyerah.”

Bertolak dari tausiah Robert Holden di atas kita diharap mampu menjadi hamba manusia yang selalu spekulatif. Berspekulasi dalam hidup manjadikan manusia berinsan progresif. Insan progresif adalah manusia dalam tiap sejengkal hidupnya dimaknai dengan jihad dalam pangkuan kebebasan serta kebenaran. Tersebab spekulasi adalah niscaya menghadapi kebuntuan hidup, maka rute jalan malah sebaliknya, ia tak mampu menjadi acuan menelusuri lorong kehidupan yang justru kerap buntu.