Jumat, November 30, 2007

Surga Bumi Terakhir Terlahir Kembali

pojok catatan untuk sanggar & komunitas baca Poestaka Rakjat Malang
>>A. Qorib Hidayatullah

Gubahan naluriah manusia tak tertambat yang suka berkelompok (zoon politicon), kerap menghantarkan ia pada aktivitas yang bisa membidani agar letupan hasrat kecilnya terpenuhi. Kata kelompok disini perlu dikasih tanda petik (“”), menjadi “kelompok”, sebab beban makna tamsil yang diusung sangatlah berat dan hampir enyah dilakukan keumuman orang.

Dilacak dari kajian subkulturnya, tak dinafi’kan, garapan proyek keberanjakan alam tradisionalisme menuju modernitas terbilang berhasil menanam benih-benih ego menjadi ego individualis-subjektif. Dan subkutur itupun menjadi wilayah pergeseran makna akan kebersaman dan mengubur filosofi “duduk bareng” diatas latar belakang diri yang berbeda-beda.

Nah, disinilah makna kata “kelompok” teruji. Disamping sebuah kata kudu memiliki ruang target kritis dan didudukkan secara diskursif, tak lupa pula soal arti kekuatan kata dibalik makna, yaitu kata “kelompok” dijadikan kata kerja, menjadi “berkelompok”.

Kata kerja “berkelompok” pun, perlu kiranya disisipkan tanda petik (“”), karena suatu kata kerja bisa saja bebas nilai (mengundang beragam interpretasi), tergantung pada siapa subjek yang melakukan. Nalar logikanya begini, akan muncul pertanyaan: “Apa yang sedang dilakukan oleh orang saat berkelompok?”. Mesti dapat ditebak jawabannya akan bermacam-macam, tergantung siapa orang memaknai, dan memiliki motif apa ia memaknai kata kerja dari “berkelompok” tersebut.

Saking beranekanya pemahaman yang muncul dari kata kerja “berkelompok”, maka diperlukan tafsir atasnya. “Berkelompok” disini, bisa saja orang berkelompok bebas berbuat apapun. Bisa saja, ia berkelompok guna mempresentasikan ideologinya masing-masing lewat nongkrong dan ngopi di cafe atau warung, dan bisa juga berkelompok memperkokoh daya perlawanannya, dll.

Kata kerja “berkelompok” yang saya maksud disini adalah sekian orang (baca: komunitas) yang tapaki aktivitas dijalan sunyi, lengang, senyap, dan getir diruang kebersamaan yang tiada hijab apapun. Sebab, alam sekat dan batas oleh kelompok kami dianggap sebagai suatu keterbatasan, yang pada akhirnya membawa pada keterkungkungan pengetahuan. Dengan begitu, saya memberikan tanda petik diantara kata kerja berkelompok yang dimaksud.

Dari ulasan diatas, telah jelas bahwa komunitas/berkelompok kami berarus lain dibanding kelompok bikinan orang lain. Ruh tunggal kelompok kami adalah ruh kegelapan yang hanya ada satu pijaran cahaya lilin. Amanah kami, bagaimana tetap bisa menjaga cahaya lilin terus-menerus menyala meski pertaruhannya kena bakar sekalipun. Hal ini urusan komitmen dan tekad kami!

Nikmatnya serasa disurga
Kami menganggap kelompok kami sebagai surga bumi terakhir yang terlahir kembali. Namun berbeda sekali dengan surga yang diiming-imingi Tuhan kelak diakhirat, surga kami tanpa hiasan bidadari cantik gemulai, tapi aksesorisnya melebihi itu semua. Letak bedanya, surga kami, diseluruh sudut ruangan malah dipenuhi teks-teks bacaan berupa buku-buku. Surga kami, berbentuk surga sejarah, surga ekonomi, surga sosial budaya, surga politik, hingga surga sastra serta surga filsafat. Cara menikmatinya, kelompok kami selalu mengkaji, membedah, dan menganalisis beragam surga buku dengan tema berbeda-beda.

Akhirnya, anggur gnosis kami reguk, ekstase puncak dahsyat kami capai, dan ereksi dini pun tersalurkan. Hal ini, tak lepas dari keimanan kami yang mengimani bahwa surga dunia hanya ada pada surga buku dengan beragam corak-warna tema berbeda seperti tertera diatas.

Inilah, kegiatan kelompok kami, eksotika surga yang bergelut setia dibidang buku dan literasi. Prinsip kelompok kami cukup satu komitmen, yaitu berani berkata “ya” pada surga kami, dengan tidak bertekuk lutut pada nasib kebodohan dan keterbatasan pengetahuan. Meski hamparan nasib diruas jalan sunyi, lengang, getir, dan letih adalah pilihan mutlak, kendatipun harus kami jalani sepenuh hati. Kata terakhir pada surga kami, “mengakhiri segala-galanya bila perlu, namun bagaimana kelezatan buku bergizi yang tak tertandingi, serasa disurga saja…”.

Tidak ada komentar: