Selasa, Juli 08, 2008

Demokrasi ala Kota Sejuta Bunga


Judul Buku : Demokrasi di Bumi Arema

Penulis : Drs. Peni Suparto, MAP

Kata Pengantar : Megawati Soekarnoputri

Penerbit : Perpustakaan Umum Kota Malang & Indo Press

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : xi + 132 Hlm

Peresensi : A Qorib Hidayatullah*


Tak ayal, saat peluncuran buku ini (14/06/2008) di gedung Sasana Budaya Universitas Malang, penulis buku ini mengalegorikan demokrasi di bumi Arema layaknya bunga dengan beragam warna, mulai dari yang berwarna hijau, ungu, putih, kuning, biru hingga warna merah. Warna-warni bunga itulah menjadi tanda kehidupan harmonis bagi masyarakat satu sama lain yang merupakan harapan demokrasi di bumi Arema ini.


Kehadiran buku Demokrasi di Bumi Arema ini, diniatkan guna merekam perjalanan demokrasi lokal Malang. Kendati demokrasi sejatinya dilahirkan rahim Barat, namun bumi Arema memiliki periode-periode sejarah yang begitu egaliter. Diakui dalam buku ini bahwa di kota Malang turut memiliki riwayat kebijaksanaan masa lalu yang pada zamannya mempratikkan nilai-nilai demokratis (hlm. 34-35).


Demokrasi Zaman Dulu

Di dalam prasasti Dinoyo misalnya, selain menceritakan keberadaan kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin Prabu Gajayana, pun juga pada zaman kuna itu, seorang raja masih menghargai eksistensi Brahmana yang merupakan representasi nurani rakyat pada zamannya.


Prasasti tahun 760 itu, menjabarkan secara singkat Sang Gajayana telah memberi agunan ketentraman bagi pemuka adat untuk hidup layak sebagai pribadi maupun tokoh masyarakat. Syahdan, peradaban manusia yang ribuan tahun lamanya itu, tindakan semacam ini terbilang demokratis di sejarah zamannya.


Begitu pula ketika melirik kudeta berdarah yang dilakukan Ranggah Rajasa Sang Amurwahbhumi (Ken Arok) di tahun 1220 M terhadap Tunggul Ametung yang berwatak jahat pada rakyat Tumapel. Daya revolusi ini dilakukan bersama rakyat, dipimpin Ken Arok, serta didukung para Brahmana dengan motif melawan penindasan.


Di zaman ini, potret gerakan semacam itu dapat dikatakan pemakzulan rezim otoriter, gerakan pembebasan atas sistem yang tidak demokratis serta upaya meruntuhkan kekuasaan despotis raja yang tidak pro-rakyat. Di mana sebenarnya, Tunggul Ametung menjadi raja tidak diharap rakyat, sehingga ia pun merampok harta rakyat guna disetor ke kerajaan Daha yang justru tidak memiliki kontribusi sedikit pun demi kemajuan Malang zaman itu.


Merujuk ke sejarahnya —seperti yang telah dikemukakan di atas— Malang telah memiliki “prasasti” demokrasi kendati bobotnya kecil. Tapi setidaknya, hal itu akan menjadikan bumi Arema sebagai miniatur demokrasi di Indonesia kelak. Masyarakat kota Malang yang heterogen sangat memerlukan prinsip demokrasi guna dinamisasi masyarakatnya.


Untuk memenuhi hal itu, penulis buku ini menggagas bagaimana menguatkan cengkraman demokrasi lokal. Yang coba ditawarkannya ialah terciptanya masyarakat dengan asas hidup saling gotong-royong, kebersamaan, mengasah empati antar masyarakat, membentuk komunitas masyarakat dialogis, serta sistem komunikasi antar masyarakat sehingga pihak kelurahan membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan masyarakat grass-root.


Hal penting lain selain di atas yaitu, upaya mengait-kelindankan demokrasi dalam pilkada langsung. Pilkada merupakan kesempatan emas memperkuat demokrasi dengan membumikan pendidikan politik bagi masyarakat. Sehingga budaya demokrasi (democratic culture) selalu kukuh-kuat terbangun di tengah-tengah masyarakat.


Namun, meraih nilai-nilai demokratis itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Di buku ini pun dipaparkan ‘duri-duri’ yang akan mencederai prinsip-prinsip demokrasi. Seperti penghalalan tindak kekerasan sebagai jalan sah menggapai tujuan dan fanatisme akan ras. Kedua ‘musuh’ demokrasi itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberangusnya demi kesadaran pentingnya tegaknya demokrasi.

Selain itu, buku setebal 132 halaman ini, juga memotret kota Malang dan konsep pembangunannya (hlm 19). Bagian ini sengaja oleh penulis buku ini selipkan untuk menjadikan kota Malang yang damai, sejahtera dan ijo royo-royo. Misalnya, lewat pengetrapan konsep Tri Bina Cita yang memiliki esensi pembangunan Malang sebagai kota wisata; Malang, sebagai kota industri; dan Malang sebagai kota pendidikan. Walau pun banyak orang menentang konsep ini, Tri Bina Cita masih relevan dan berpotensi mengembangkan kota Malang di masa depan.


Sejatinya, dalam konteks pembangunan demokrasi, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta menyumbangkan pemikiran-pemikirannya. Dalam kajian demokrasi, buku Samuel P Huntington, The Third Wave of Democratization (1991), paling sering dikutip. Menurut Huntington, semangat utama adalah meruntuhkan rezim yang tidak demokratis dengan rezim yang demokratis. Demokratisasi pada intinya adalah revitalisasi sistem politik otoritarian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggung jawab.


Sebagaimana ditulis oleh para teoritisi demokrasi, transisi hanya bisa diselamatkan jika setiap pemangku jabatan publik memiliki tanggung jawab dan komitmen yang kuat. Hal terpenting dari sebuah nilai demokrasi, sebagaimana ditulis William M Sullivan (1997), adalah kepercayaan, iktikad baik, dan idealisme. Pemerintah dan warga negara harus memilikinya sebagai dasar penyelesaian konflik, krisis ekonomi, dan krisis politik.


Al-hasil, kehadiran buku ini memiliki momen yang pas, di mana Jawa Timur khususnya, dan di Indonesia pada umumnya tengah menjelang pesta demokrasi. Dan sayangnya, buku yang dieditori Liga Alam M ini masih memiliki kekurangan di sana-sini, seperti desain cover yang tidak matching dengan muatan di dalamnya serta daftar isi yang tanpa mencantumkan halaman. Kendati demikian, cacat kecil itu tidak mengurangi substansi gagasan yang hendak disampaikan penulisnya dalam buku ini.

Mahasiswa dan Proyek Perubahan Pemimpin

Oleh: A Qorib Hidayatullah


Seperti sabda Nabi, "Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."


Pada tahap itu, setiap individu harus memasuki fase kekosongan. Suatu momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; membiarkan diri telanjang demi mencerap bahasa awam untuk merasakan denyut terlemah dari kehidupan masyarakat agar mampu membuka diri penuh cinta untuk yang lain.


Menjelang helat akbar pesta demokrasi di Jawa Timur, 23 Juli 2008, mahasiswa sebagai representasi kaum kritis pemerintahan tak bisa tinggal diam. Kendati tak sedikit dari mahasiswa yang terlibat suksesi Pilgub Jatim, namun itu bukan wujud ketumpulan suara kritis mahasiswa. Malainkan, itu sebuah gerakan mahasiswa guna menentukan platform dan keberanian melakukan tindakan dengan menggalang kekuatan di kancah politik praktis.


Intelektualisme Mahasiswa

Hakikat keberadaan kaum intelektual (mahasiswa) adalah kritisisme atau sikap kritis terhadap jagat realitas sekitar di mana ia berada. Kesadaran intelektual ini harus dapat mewujudkan gerakan yang kritis, independen, dan sosialis —dalam pengertian mau membela dan memihak kaum lemah tertindas. Sebab, kata Ali Syariati, misi suci kaum intelektual atau cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat bukan memegang kepemimpinan politik negara, dan melanjutkan kewajiban dalam membangun dan menerangi masyarakat hingga mampu memproduksi pribadi tangguh, kritis, independen, dan punya kepedulian sosial tinggi (1996).


Dalam bahasa Gramscian, kelompok itu disebut dengan intelektual organik, atau Moeslim Abdurrahman menyebutnya sebagai subaltern intellectuals, intelektual akar rumput. Lapisan kritis civil society yang bertindak sebagai artikulator anti-kemapanan dan ketidakadilan (2003). Kaum intelektual yang peka akan realitas sosial, problem ketidakadilan dan ketertindasan.


Jika kaum intelektual diibaratkan roh dan kekuasaan adalah badan, sang roh selalu mengontrol tindakan si badan yang menyimpang dan merusak bebrayan agung alias kehidupan. Posisi kaum intelektual yang oposisional ini, bagi kekuasaan tidak hanya mengganggu, tetapi juga berpotensi menggagalkan cita-cita korupnya. Karena itu, kekuasaan berupaya menaklukkannya. Penaklukan bisa dengan cara kasar (membunuh hak-hak sipil/asasi atau membunuh secara fisik), bisa dengan halus merekrut intelektual dalam kekuasaan menjadi legitimator kekuasaan.


Kendati demikian, sebagai elite intelektual, mahasiswa yang berasal dari dunia kampus kerap mengusung ide pembaharuan yang berdiri di atas pijakan idealisme dan moralitas.


Mahasiswa Agen Perubahan

Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di mana pun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasional mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan. Hanya mahasiswa yang mampu menjadi pionir perubahan, sekaligus menjadi kekuatan yang paling ditakuti rezim penguasa despotik yang korup di belahan mana pun.


Tidak mengherankan, bagi Indonesia, gerakan mahasiswa menuntut perubahan, berlangsung pasang surut sejak 1966. Pemerintah Soekarno yang mengabaikan demokrasi, makzul oleh gerakan mahasiswa dan pemuda, pada 1966. Soeharto yang baru berkuasa secara de-jure empat tahun, harus menghadapi gelombang protes gerakan mahasiswa 1974. Sejak saat itu, Soeharto mengerangkeng mahasiswa yang telah memberikan kedudukan padanya. Gerakan mahasiswa, bangkit kembali 1977-1978 hingga mencapai puncaknya Mei 1998. Tuntutan reformasi nasional yang dikumandangkan mahasiswa, memicu kesadaran masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa.


Pada saat itu, hanya mahasiswalah yang berani bersuara di bawah ancaman laras senjata dan berani melangkahkan kaki di bawah desingan peluru dan gas air mata. Lebih dari tiga puluh tahun di bawah rezim Soeharto, tidak ada perubahan yang berarti dalam demokrasi.

Konsekuensi sebuah proses yang demokratis adalah terbangunnya kehidupan masyarakat yang demokratis. Demokrasi menuntut berfungsinya kontrol sosial, partisipasi masyarakat, jaminan penegakan hukum, terbukanya akses kegiatan ekonomi yang luas, perlindungan negara terhadap hak-hak individu, serta menempatkan militer sebagai alat negara yang tidak terlibat dalam urusan politik.


Mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan), selayaknya memendarkan kekuatan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, mahasiswa dituntut ikut andil mengubah prilaku pemimpin. Hampir sepuluh tahun lebih melewati masa transisi demokrasi (1998-2008), jarang kita menemukan hadirnya para politisi seperti Barack Obama yang berpolitik dengan ide/gagasan.

Setelah Senator Barack Obama mengeluarkan buku The Audacity of Hope (2006), masyarakat Amerika terhenyak ketika mereka baru sadar bahwa pekerjaan seorang senator tidak saja berdebat di ruang-ruang sidang, berorasi di hadapan para konstituen, melainkan juga bisa ikut memperkaya khasanah pengetahuan masyarakat lewat goresan kata-kata yang inspiratif. Buku berikutnya From Promise to Power (2007) yang tulis David Mendell makin memberi keyakinan bahwa berpolitik tanpa ide dan gagasan sama artinya dengan memangku jabatan tanpa tanggungjawab.


Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk senantiasa berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswalah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik di masa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seyogianya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka serta berdaulat.