Rabu, Desember 26, 2007

Menjadikan Ketakutan Sumber Kekuatan


Judul Buku : Fear is Power
Penulis : Anthony Gunn
Penerbit : Hikmah

Cetakan : I, Oktober 2007

Tebal : x + 312 Hal

Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*







Syahdan, Joe Bugner, mantan juara tinju dunia kelas berat, bertanding dua kali melawan Muhammad Ali dan kalah dalam kedua kesempatan tersebut. Lalu, ia dinasehati oleh Muhammad Ali, “siapapun yang masuk ring tinju tanpa rasa takut adalah orang bodoh.” Rasa takut menghampiri kehidupan manusia suatu hal niscaya, kendati ditepis, ketakutan mesti dipastikan mampir juga.

Wujud dari rasa takut tiap-tiap orang, cukup beragam. Misalkan, ada rasa takut ditolak, bila ia mengajak pergi pacarnya untuk kencan. Ada rasa takut hendak mempresentasikan opininya secara bebas diforum berkumpulnya banyak orang. Ada pula rasa takut mengembalikan barang cacat ke toko asal ia membeli, yang dimungkinkan akan terjadi percekcokan antara penjual dengan pembeli, dsb.

Meski serasa sepele, rasa takut berpotensi mengabrukkan kehidupan seseorang. Ibarat gelombang pasang dilaut, rasa takut siap menggulung dan menggilas siapa saja. Manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat dengan mudah dihempaskan ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Seamsal sumber masalah terbesar dalam kehidupan manusia, bermuara pada rasa ketakutannya. Sehingga, perihal kegagalan dan kesuksesan seseorang, turut ditentukan bagaimana ia piawai menyikapi rasa takut yang dimiliki.

Ironis, bila seseorang terjangkit rasa takut, tak ayal ia dianggap sebagai manusia lemah-rapuh tak berdaya. Sejarah tentang unggulnya harapan di zaman bergelimang daya-dera yang menggilas. Sejarah yang gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib. Rasa takut diibaratkan tanggungan aib. Menyebabkan, orang pun bingung untuk temukan cara bagaimana menghilangkan dan menutupi rasa takutnya agar tak muncul-mengemuka. Bukan sebaliknya, rasa takut tak dipetik hikmah sebagai sumber kekuatan mahadahsyat.

Secara alamiah, rasa takut menjadi pelindung alami, akan memicu kelenjar adrenalin mengeluarkan hormon ke pembuluh darah, yang disebut adrenalin (atau epinefrin). Adrenalin membantu memproduksi serangkaian perubahan nyata dalam tubuh. Semua perubahan itu bertujuan mempersiapkan kewaspadaan akan bahaya (signal of warning).

Antony gunn, penulis buku ini, menjelaskan bagaimana rasa takut memiliki potensi positif dan negatif dialegorikan seperti halnya air. Tanpa air, kita mati; terlalu banyak air, kita tenggelam. Namun, jika dimanfaatkan dengan baik, rasa takut, layaknya air, merupakan alat pemberi kehidupan. Ketika dituangkan ke dalam wadah, air membentuk sesuai wadahnya. Begitu juga dengan rasa takut, menyesuaikan dengan situasi diri seseorang. Menjadi piranti kebetulan yang bermakna.


Temuan Gunn dalam karyanya ini, menawarkan sepuluh rahasia sederhana mengatasi, memaksimalkan dan memanfaatkan rasa takut. Gunn berhasil menyiasati rasa takut dengan mengubahnya menjadi inspirasi hidup hebat yang dapat memunculkan sikap berani hingga dijadikan alat capai dalam meraup banyak keuntungan. “Rasa takut adalah faktor motivasi yang sangat kuat. Takut gagal merupakan komponen pusat menuju sukses,” ujar Alan Jones, mediator kepribadian dan pembicara publik paling berbakat di Australia.


Sebagai psikolog spesialis rasa takut, Gunn, berikhtiar dan beriktikad gigih, bermodal kuriositas tinggi mencari tahu konsepsi orang-orang (ia sebut “pakar rasa takut”) yang menghadapi rasa takut dengan cara berbeda. Gunn mendapati mereka para pakar rasa takut mendekati situasi berisiko tinggi tak bedanya saat sedang berjalan dan melintas di taman yang indah. Pokok pertanyaan Gunn, “Bagaimana para pakar rasa takut bisa mengatasi rasa gugupnya? Bisakah semua orang melakukannya?” Inilah kunci sukses eksperimen Gunn, ketika awal kali ia meneliti dan mewawancarai beberapa pakar rasa takut.


Optimisme Penuh Harap

Menyitir falsafah semangka, meski kulit luar tampak hijau tak berdaya, tapi daging dalam merah menyala. Persoalan hidup yang kian rumit tak terelak, karut-marut bahkan getir, menuntut kelihaian hadapi risiko dan tantangan besar sekalipun, membutuhkan manajemen matang dalam melakukannya.

Kecenderungan diri yang hanya ingin terus-menerus berada di zona nyaman tanpa masalah, justru membawa kiriman asap tebal rasa takut yang dimilikinya. Sehingga, diri itupun akan terjebak dalam labirin penundaan tindak laku untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan, sebab kadung diliputi rasa takut yang luar biasa.

Gunn ditiap bab dalam bukunya ini, tanpa lelah mengajarkan secara berulang-ulang, bahwa perihal menunda melakukan sesuatu karena takut gagal, takut salah, takut hasilnya jelek, dsb, merupakan tipuan ilusif dari rasa takut itu sendiri. Gunn menginginkan lewat karyanya ini, tercipta orang yang penuh spekulasi dan tak goyah hadapi banjir problem. “Tak ada keputusan lebih baik daripada keputusan salah,” ujarnya.

Lebih jauh, Gunn, mengimbau segeralah untuk ambil keputusan. Tidak memutuskan sama saja dengan terlalu lama berpikir dan tidak berbuat apa-apa. Cara tercepat untuk menjembataninya adalah dengan mengambil keputusan. Penundaan tidak menginginkan seseorang mengambil keputusan, agar tetap dapat terpenjara di zona nyamannya.

Mengambil keputusan dan bertindak dengan melangkah sedikit demi sedikit, merupakan dua alat untuk mengalahkan penundaan. Tekanan hidup bukanlah bencana melainkan rahmat. Suasana hati turut memproyeksikan pesimisme. Memutus mata rantai depresi dengan menumbuhkan optimisme penuh harap.
Tapi yang perlu diingat, jangan membuat keputusan strategis saat kondisi mental sedang buruk, capek, dan tertekan. Proses penyelaman ke dalam diri jangan sampai membuat tenggelam dan terputus dengan dunia nyata. Tanggalkan kecenderungan berpikir usang (tend to think the way they are). Cari alternatif jalan keluar terbaik (tend to think the way they could be).

Terakhir, buku ini merupakan gubahan duologi gabungan genius keprigelan seorang maestro menciptakan motivasi sekaligus kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi. Sehingga, buku ini layak dibaca siapapun, agar terbimbing visi dan nilai, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, serta keterpanggilan.

Jumat, Desember 14, 2007

Pemantik Kesadaran Revolusioner


Judul Buku : Trilogi Kesadaran (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak)
Penulis : Nurel Javissyarqi
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : I, Oktober 2006
Tebal : xxx + 490 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*





Beracu pada aforisma padat Rene Descartes, Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir, Maka Aku Ada), ada kemiripan ketika membaca pemikiran Nurel dalam buku ini. Nurel bisa dikatakan sosok muda yang gila akan makna kesadaran. Ia berani menggugat tanpa tedeng aling-aling akan kemapanan dalam dirinya. Pemberontakan jiwanya telah mewarnai kanvas-kanvas kehidupan untuk dituangkan. Seturut Descartes, yaitu sosok filsuf ‘yang menyangsikan segalanya’, “cogito”.

Trilogi kesadaran, merupakan buah refleksi anatomi kesadaran Nurel demi mengembang-terbangkan sayap-sayap pemikirannya. Ujung pemikirannya, dibidikkan pada ranah pembebasan orisinalitas jiwa insan dari ketertindasan atas masa perubahan (pancaroba). Jejak jajakan intelektualnya, diberangkatkan dari asal kesadaran akan eksistensi diri menuju kegelisahan besar atas sejarah zaman. Lahan kesangsiannya adalah kehidupan sehari-hari dalam menggali nilai-nilai.

Berkiblat pada Goenawan Muhamad dipengantar bukunya, Eksotopi, berujar: “Sejak selama hampir separuh abad terakhir; seorang Indonesia adalah seorang yang peka oleh pengalamannya dengan kekuasaan. Pengalaman itu, sesuatu yang traumatis, bermula dari tubuhnya, dari ruang bersama tempat ia tinggal dan bergerak, dari saat pertemuannya dengan orang lain, dari penentuan identitas, dari kehidupannya berbahasa dan menafsirkan, dari kepercayaannya.”

Adalah sosok Nurel, kelahiran tanah Lamongan, 08 Maret 1976, sebagian dari orang Indonesia yang dimaksud Goenawan telah mempertajam pengalaman, dan menisbatkan dirinya untuk jadi wakil suara-suara pedesaan. Lewat karya-karya lainnya, Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga & Kulya Dalam Relung Filsafat, dan juga buku ini, menghantarkan kepada pemahaman, bahwa ada generasi muda yang memiliki kesadaran revolusioner saat ini.

Budaya Semi
Dikajian ini, Nurel memosisikan kesadaran asimetris dengan segala kebijakan-kebijakan Negara yang digulirkan. Ia tak mudah terima kenyataan bulat-bulat, terus digugat hingga temukan kesadaran versinya. Kalau saya maknai, ia seolah mendambakan bangsa mandiri, tanpa intervensi siapapun. “Kenapa kita selalu belajar pada bangsa sudah ompong (yang telah kenyang pengalaman hingga seenak udelnya berbuat onar dimuka bumi). Bukankah bangsa asing sudah cukup mengocok perut otak kita, sebagai bola bekel, adu domba antara ideologi dalam pada bangsa kita sendiri.”

Ditopang “kesadaran murni”, ia sangat berharap bangsa ini percaya diri, dan mampu ciptakan wejangan sendiri walaupun itu bobrok. Bangsa yang tak lagi didekte oleh bangsa asing, ruh pendidikan tak lagi dikonsumsi dari negeri seberang, yang nyata-nyata tak sesuai dengan kepribadian kita.

Renung kesadaran Nurel, sengaja diletupkan meraih kembalinya karakter asli bangsa. Berpayung cinta tanah airnya, “Ingat, kita memilikinya; danau indah, rawa-rawa menawan, lautan megawan, kepulauan, rentet sekalung putri raja. Tapi dengan apa kita suguhkan kepada dunia, jikalau masih selalu pulas tidur mendengkur, mabuk tak bisa berbuat atas kekuasaan anggur asing.”

Budaya semi, dianggap Nurel sebagai penelitian pseudo ilmiah. Ia tuangkan kesadaran bebas ditengah pergulatan bangsa ini. Manusia yang benar-benar sempurna, bebas secara definitif, dan sempurna puas dengan diri yang sebenarnya. Jika penguasa malas adalah kebuntuan, maka perbudakan yang giat bekerja, sebaliknya merupakan sumber dari seluruh kemajuan manusiawi, sosial, dan historis. Sejarah adalah sejarah budak yang bekerja. (Alexander Koje’ve, dikutip Fukuyama).

Anatomi Kesadaran
Dijelaskan Nurel, anatomi kesadaran merupakan gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar (hlm 172). Anatomi kesadaran adalah pemaknaan diri didepan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran diri, menelisik, meneliti bahwa perubahan harus terus dirasakan berkesadaran puncak.

Sebagaimana manfaat kesadaran, anatomi kesadaran merupakan esensi paling dalam. Yaitu, pengembangan fitrah insani untuk terus diperjuangkan meski pada ranah mengecewakan. Karakter suatu kesadaran takkan terbentuk jika tak mau merawat (kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai diri bangsa). Garis inilah, yang selalu digebu agar terbentuk wacana baru, yaitu kesadaran diri.

Dicontohkan Nurel: “misalnya kita terkadang terima sepucuk surat dari kawan lama, lalu tahu-tahu dapati kegembiraan, sebab kawan itu tak berhubungan lama, bagi tanda mengingat lewat datangnya surat. Ketiba-tibaan inilah macam rindu tersembuhkan atas gerak luar yang nanti membentuk kesadaran baru, kiranya sapaan kalimat lembut memanggil jiwa atau sebaliknya jika surat yang datang berberita tragedi, kita bisa memberi motivasi agar yang terselubung permasalahan cepat teratasi.”
Anatomi kesadaran dapat mewujud atas kesungguhan cita, menancapkan kepercayaan yang dalam, agar gerak langkah menambah penciptaan atas kerja keras, demi mencapai tujuan yang diharapkan.

Ras Pemberontak
Jiwa pemberontak tak dapat dilepaskan dari kesadaran. Ruh kesadaranlah, menyebabkan seseorang memberontak, menggugat, dan mendekonstruksi. Apapun disekitarnya, perlu diselaraskan dengan pemahaman dan kesadaran. Karena, kesadaran mutlak pemberontak hanya bersemai didalam diri.

Refleksi Nurel: “Kesadaran itu kekuasaan terbangun, berlangsung bagi naluri, berkembang dari sekumpulan pertanyaan dan ruang kosong penentu pijakan. Perbendaharaan dari sembuhan nalar atas daya tarik kontrak sosial dan kontrol tampak dinamai kesadaran kekuasaan.” (hlm 315).

Kekuasaan dan kesadaran adalah cara pandang mendasar, hadir atas penjajalan (percobaan) persepsi hingga menghasilkan premis penentu. Yaitu, dibangun melalui sarana mental evolusi nilai, terus dikembangkan di alam sekitar, dan hidup kita sehari-hari.

Yang terpenting, cara kerja membuang kebiasaan lama, bangun berkekuatan baru, berasal dari tiap diri kita masing-masing. Jiwa pemberontak, yang benar-benar berharap revolusi diri-dari revolusi nilai positif- yang selama ini kita abaikan.

Buku ini lewat refleksi-refleksi kristal sang pengarang, memberikan stimulus hebat menuju manusia berkesadaran. Membacanya, kesadaran mapan kita terkikis, digugat, hingga direstorasi. Menjadi referensi, bagi siapapun yang ingin bergerak sosial (social movement) menuju revolusi sosial.

Menembus Teks Kesahihan Bersetubuh


Judul Buku : Ritual Celana Dalam
Penulis : Andy Stevenio
Penerbit : Galang Press
Cetakan : I, 2007
Tebal : 188 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*




Melayani hasrat seksual bagi manusia adalah kebutuhan niscaya. Pencetus teori hierarki kebutuhan pokok manusia, Abraham Maslow, menempatkan di rangking wahid tentang kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan seksual. Terasa ganjil dan menggelitik bila ada seseorang yang memenuhi hajat seksualnya secara unik, tak sama dari formula senggama keumuman orang.

Stevenio dikaryanya ini berhasil menguak potret beda cara pemenuhan hasrat seksual seseorang. Hal ini tak lepas, concern kajian dia sebagai pemerhati problem anak remaja masa kini.

Erat-kaitannya dengan relasi seks ganjil, Stevenio mengemukakan contohnya. Seperti, bercumbu mesra atau kencan dengan mayat yang tergeletak kaku tanpa nyawa, menyaksikan pasangannya berhubungan dengan orang lain dirinya baru bisa terangsang, mempertontonkan alat kelamin didepan umum untuk mendapatkan sensasi seksual, berhubungan intim dengan boneka, menjadikan bulu ketek sebagai pembangkit libido dan lain-lain. Praktik seksual semacam itu tergolong aneh dan kerap banyak orang menganggap si pelaku terjangkit kelainan seksual.

Beragam praktik keunikan seksual (kalau tak mau disebut kelainan seksual) acap kali terjadi seiring ketaklaziman si pelaku seks atau berbeda dengan hubungan seksual konvensional. Mereka tak anyal dikatakan sebagai orang yang abnormal, dikarenakan jauh dari praktik seksual pada umumnya. Peristiwa sadomashokis, misalnya. Dimana, hasrat si suami dapat tersalur mulus dengan nafsu gairah memuncak ketika si istri dipukuli lebih awal, dan dapat dipastikan kondisinya meronta kesakitan bahkan menangis, baru ia (suami) terangsang “menggarap” istrinya.

Lebih jauh, Stevenio ingin mengungkap bahwa rute raih kepuasan seseorang perkara seksual cukup berbeda-beda. Seakan ditegaskan, tak berhak jika kita menghakimi ekstase seksual orang lain. Model-gaya seksual seseorang dapat dipastikan telah memiliki ruas jalan masing-masing dalam meraih kenikmatan seksualnya.

Ritual celana dalam atau lebih tepatnya Ritual isi celana dalam, memiliki kecondongan pandangan unik dimana hubungan intim yang konvensional tak lagi mampu memuaskan keinginan hasrat seksual mereka. Sehingga, mereka mempunyai alternatif sendiri guna menyalurkan keinginannya. Satu puncak kepuasaan yang sesungguhnya dituntut oleh isi celana dalamnya.

Seiring kecanggihan tekhnologi, HP misalnya, yang banyak membantu mempercepat relasi komunikasi sehari-hari, memiliki efek besar terhadap relasi seksual manusia. Tak diterka-sangka, berkat bantuan HP, muncullah istilah Sex-Phone, dijadikan tren acuan meraih kepuasaan seksual orang modern.

Tak sedikit orang menggunakan jasa sex-phone bila kebutuhan biologisnya mendesak. Caranya pun tak terlalu rumit, tinggal kita memilih betah di gagang telepon untuk ngobrol-ngobrol dengan seseorang, tentunya lewat ocehan-ocehan vulgar yang mampu membangkitkan gairah hingga pada tingkat yang paling tinggi atau klimaks.

Meski dipaparkan dimuka mengenai banyaknya praktik seksual unik, tidak kemudian menjadikan kita berhak penuh dengan mengatakan: “tindakan mereka itu salah dan jauh dari moral berkeadaban.” Mereka adalah orang gila, sebab perilaku seksualnya berbeda dengan lazimnya aktivitas seksual keumuman. Merunut pemikiran filsuf post-modern, Michel Foucault, telah mengadopsi prinsip-prinsip geneologis guna mengobrak abrik kategori-kategori yang oleh masyarakat dimutlakkan.

Seperti penelitian historis Foucault tentang kegilaan. Lewat penelitian itu, Foucault ingin menyerang terhadap pemutlakan kegilaan sebagai penyakit mental. Kita cenderung menyebut orang yang tiba-tiba melucuti pakaiannya didepan umum sebagai orang “gila”. Seseorang yang harus segera mendapat bantuan profesional.

Kegilaan, bagi Foucault bukan suatu sudah pada kodratnya penyakit. Lebih jauh, penelitiannya membuktikan bahwa pada satu masa kegilaan bukan di konsepsikan sebagai penyakit, melainkan kesalahan moral yang mereduksi manusia ketingkat kebinatangan. Degradasi yang membuat manusia harus dikurung dan diisolasi, justru bukan disembuhkan.

Foucault, seorang filsuf yang gagah berani. Ia mampu melacak kegilaan dan pergeseran artikulasi yang bersifat normatif antara pengalaman yang valid dan tak valid, serta perilaku yang dianggap normal dan tidak normal. Kaitannya dengan kehidupan, Foucault memproyeksikan hidup sebagai seni. Hidup adalah penciptaan diri lewat pelampauan yang terus-menerus. Karenanya, kotak-kotak kategorial yang membungkus rapi eksistensi manusia harus disobek-tembus.

Kategorisasi kegilaan bukan kesalahan yang kemudian dibenahi oleh psikologi modern. Kegilaan, baik secara cacat moral maupun penyakit mental, tak lebih dari sekadar konstruksi sosial. Nietzche, filsuf yang duduk di aliran anti-esensialis, pernah melakukan hal yang sama terhadap moralitas. Kategori moralitas Kristiani yang dianggap suci, bening, dan mutlak dibuktikan sebaliknya. Kategori tersebut muncul pada satu konteks historis tertentu. Konteks historis saat para budak yang terhina membalik nilai-nilai aristokrat yang dikaguminya menjadi “yang jahat dan terkutuk”.

Membincang seksual tak hanya sekadar relasi intim antara pria dan wanita, serta kepuasaan an-sich diantara keduanya. Lebih jauh, seks diharap mampu menjadi batu-bata peradaban kukuh kelak dengan menciptakan keturunan-keturunan tangguh. Lewat seksualitas produktif dituntut amanah memperkaya manusia dan menjaga kelangsungan spesies homo sapiens, manusia yang bijak dan berpikir.

Buku Stevenio ini, memperkaya pengetahuan kita tentang keunikan- keunikan praktik seksual yang dilakukan si pelaku seks. Keberhasilannya memotret panggung teater keunikan seksual yang tergolong jarang diekspos oleh orang secara umum, saya pikir ia patut disemat sebagai pembela pelalu seks pinggiran. Banyak diantara kita menganggap, peristiwa seksual adalah hal tabu. Berbicara seks, kerap kita dianggap menebar aib ke orang lain. Bukankah sex education juga dibutuhkan?

Grafiti






Rabu, Desember 12, 2007

Risiko Jurnalis Meliput di Zona Merah

Judul Buku : 168 Jam dalam Sandera (Memoar Jurnalis Indonesia yang
Disandera di Irak)
Penulis : Meutya Hafid
Penerbit : Hikmah Bandung
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xviii + 280 Hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah





Amanah serius jurnalis adalah bagaimana ia mampu memburu berita se-eksklusif mungkin, menguji kelihaian teknik wawancara dengan orang-orang yang tepat, bertindak gesit, serta dinamis.

Tugas jurnalistik merupakan misi mulia, sebab turut andil mengemban perihal keberlangsungan demokrasi di bangsa ini. Kendati berpredikat mulia, tugas jurnalistik tak luput dari ancaman dan tekanan, bahkan pertaruhan nyawa sekalipun.

Untuk mendapat berita bagus yang layak sampai ke khalayak, bagi jurnalis tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, tugas peliputannya terkategori zona merah (meliput di wilayah konflik atau bencana). Sudah barang tentu, tempaan kompleksitas sikap seorang jurnalis: berani, tangguh, tahan letih, anti kecewa, anti getir, tak lupa pula teknik lobi yang andal, sudah menjadi bekal awal sebelum ia berangkat meliput. Bahkan, ada tamsil menggugah didunia jurnalistik kita, “tak ada berita yang nilainya lebih dibanding nyawa”.

Dibuku ini, 168 Jam dalam Sandera (Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak, karya Meutya Hafid, berbagi cerita agar tugas suci jurnalistik tak sekadar mengantar nyawa dan kekonyolan. Meutya atau Mut saja, begitu penulis buku ini dipanggil, adalah reporter Metro TV berdarah Bandung, yang ditugasi meliput pemilu Irak, bulan Februari 2005, bersama juru kamera, Budiyanto. Dua rekan kerja ini pula adalah mantan korban penyanderaan oleh Mujahidin Irak, Jaussy Mujahidin, saat hendak meliput perayaan Asyura di negara tersebut.

Meutya dan Budi disandera oleh kelompok militan Jaussy Mujahidin saat mobil yang mereka tumpangi untuk melakukan tugas jurnalistik selama di Irak, berhenti di pom bensin. Lalu, mereka digiring paksa menuju Gua Ramadi untuk dimintai keterangan lebih lanjut mengenai statusnya datang ke Irak. Satu demi satu jurus interogasi oleh kelompok Jaussy Mujahidin diluncurkan kepada kedua jurnalis tersebut. Penyanderaan dilakukan, sebab kelompok militan curiga atas utusan mata-mata AS.


Bekal Jurnalis
Yang terpenting dibuku ini adalah buah refleksi penulis pasca sandera di Gua Ramadi selama 168 jam (hlm 202). Meutya merasa butuh betul akan bekal bagi jurnalis ketika hendak reportase di wilayah konflik ataupun bencana. Berkat pengalamannya disandera, Meutya kerap diundang berdiskusi oleh trainer perusahaan security consultant, AKE.

Pengalaman ekstrim Meutya, saat ia mereportase ledakan besar di pusat Kota Bagdad, Tahrir Square. Ia dengan santai memegang serpihan bom, lalu ditunjukkan ke kamera, sembari berucap/menyiarkan ke pemirsa: “Inilah satu rangkaian bom yang digunakan untuk meledakkan pusat Kota Bagdad, hanya beberapa kilometer dari pusat komando pasukan koalisi.” Padahal, bom yang dipegangnya bisa saja meledak mengurai dan mengoyak-koyak tubuhnya, persis seperti serpihan daging korban yang berceceran dilokasi ledakan.

Tantangan untuk memperoleh informasi dan visual dari dekat alasannya adalah “it’s not good enaugh, it’s not close enough”, tekanan untuk mendapat gambar eksklusif, hiruk-pikuk dilapangan, semakin membuat adrenalin meluap-luap, menjadikan pandangan seorang wartawan kabur (hlm 203). Dedikasi terhadap profesi, cinta kegiatan reportase, tanpa disadari menjadi pembenar untuk maju selangkah lebih dekat pada risiko yang bisa saja berakibat kematian.

Lontaran menggelitik, yang keluar dari mulut Budiyanto, rekan kerja Meutya: “kalau di peluru itu tak ada nama kita, ya kita tak kan kena Mut.” Pernyataan Budiyanto itu merupakan ungkapan pasrah akan takdir. Padahal, tugas peliputan di zona merah, tak cukup berbekal keranuman psikis dan tubuh yang fit. Hal buruk, tak dapat diterka-sangka akan menghampiri kita secara tiba-tiba.

Ada lembaga internasional yang menangani persoalan keamanan wartawan ketika meliput dikawasan konflik, yaitu INSI (International News Safety Institute). Aktivis dari lembaga tersebut mengungkap bahwa, modal utama jurnalis saat hendak meliput di zona konflik bukan peralatan komunikasi ataupun keamanan, melainkan knowledge, yakni pengetahuan atau pemahaman akan medan peliputan, baik wilayah maupun sosio-kultural warganya. “Knowledge is the most valuable safety material,” kata Peter Williams, wartawan CNN yang meliput huru-hara di Bradford, Inggris, tahun 2001.

Bahkan, kalau perlu bagi jurnalis sebelum pergi meliput di kawasan konflik, juga dibekali helm ataupun rompi anti peluru. Namun, lagi-lagi alasannya adalah tak cukup anggaran bagi perusahaan pers untuk membeli itu semua, atau alasan lain, jurnalis justru malah tambah ribet dan berat membawanya.

Selain itu, jurnalis kudu paham betul kategori penyanderaan, sebab ini akan mempermudah langkah bebas dan selamat. Ada dua kategori penyanderaan, pertama, surprise attack (serangan dadakan), kedua, planned attack (penyanderaan terencana).

Kasus Meutya dan Budiyanto masuk kategori pertama. Sedangkan kasus Ferry Santoro dan alm. Ersa Siregar dari RCTI, yang disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka, bisa dimasukkan kategori kedua (hlm 213). Pada penyanderaan terencana, penyandera biasanya menjebak wartawan dengan iming-iming untuk mewawancarai atau mendapat peliputan eksklusif.

Terlebih juga, jurnalis mampu mengenali berbagai motif penyanderaan, mulai dari komoditas politik, komoditas ekonomi, balas dendam, sandera untuk jaminan keamanan bagi penyandera, hingga kemungkinan salah tangkap. Meski terkesan sepele, ketika berada dalam penyanderaan, mengenali motif adalah hal signifikan.

Buku ini, banyak memuat potret pengalaman pahit alam-jagad jurnalistik. Berangkat dari semangat berbagi pengalaman antar rekan kerja jurnalis, buku ini layak dibaca siapapun. Semesta hikmah yang dapat kita petik dari buku ini adalah bagaimana pengalaman Meutya tak terulang kembali bagi jurnalis lainnya. Gaya penuturan buku ini yang lincah-renyah, meneguhkan ketangkasan ilmu jurnalistik Meutya di dunia leterasi.

Menyitir komentar Dian Sastrowardoyo untuk buku ini, “Mengharukan dan menyentuh...beberapa kali saya...tak kuasa menahan tangis. Tidak hanya bercerita tentang ketabahan dan ketangguhan..., memoar ini juga menyadarkan kita tentang pentingnya arti kepasrahan dan penyerahan diri kepada kuasa Tuhan.”

Pilot Project Masyarakat Sipil


Judul Buku : Transnasionalisasi Masyarakat Sipil
Penulis : Andi Widjajanto dkk
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : xv + 250 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*


Arus globalisasi tak dapat ditambat lagi, merangsek begitu cepat menjadi fenomena mutakhir terberi. Menjadikan dunia semakin terintegrasi, mengaburkan batas-batas negara, dan mengakibatkan arus informasi sangatlah cepat. Limit ruang, waktu, dan tempat antar negara-negara yang ada dibelahan terkecil dunia temukan pseudo-primordialismenya masing-masing. Kran informasi tersibak lebar, membawa corong domestik kepada tingkat global. Persoalan demokrasilah yang menjadi sorot interes masyarakat global, dijadikannya jamuan hidangan yang siap disantap ludes.


Atensi masyarakat global terhadap demokrasi, mewujud lewat gerakan-gerakan sosial yang dijadikan simbol solidaritas dan bentuk empati. Di Indonesia misalnya, agar tercipta negara demokratis, rakyat membikin kultur kritis guna menumbangkan rezim otoriter (orde baru). Kurang lebih dari 30 tahun Indonesia dipimpin oleh rezim otoriter Soeharto. Rakyat, lucurkan tari protes rezim Soeharto, saat Indonesia terjangkit krisis ekonomi regional yang terjadi pada dekade 90-an.


Buku ini, secara tematik dan kasuistik ditulis oleh para penulis berperdikat intelektual mumpuni berbasis Hubungan Internasional (HI) Universitas Indonesia. Mereka memiliki keyakinan, bahwa aktor demokrasi disuatu negara hingga diikuti negara lain, disebabkan keterikatan sosial semakin dekat. Dan lemahnya diplomasi dunia ketiga, hingga penggalangan kekuatan sipil terpecah-belah dengan ideologinya masing-masing menyebabkan keakutan problem demokrasi.


Demokrasi adalah sebuah kondisi dimana rakyat memiliki kesempatan secara aktif untuk menentukan nasibnya sendiri dengan mekanisme kompromi dari hak-hak inidividu yang mereka miliki. Proses transisi demokrasi demi kelancarannya, mencari faktor pendukung kuat yang dapat meminimalisir titik-titik rawan, yaitu dengan menghadirkan masyarakat sipil. Masyarakat sipil disini menjadi pilar utama yang membantu kelancaran transisi demokrasi.
Masyarakat sipil pun memiliki beragam definisi tergantung dari kerangka teoritik, waktu, dan ideologi politik yang dipergunakan. Pemikiran kontemporer menempatkan masyarakat sipil dalam sektor nonprofit. Beda halnya dengan Gramsci, masyarakat sipil sebagai perwujudan hegemoni kelas penguasa yang berhasil mendominasi beragam aspek kehidupan masyarakat. Kehadiran masyarakat sipil lebih dilihat sebagai indikasi adanya krisis legitimasi penguasa (hlm 167).


Garis jelas dan titik terang dari masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan untuk maksimalisasi kapital. Ragam gerak masyarakat sipil tersebut tampak antara lain dari cara organisasinya saat berhadapan dengan pemerintah dan dunia internasional. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universal manusia yang tidak melihat pada perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideologi, agama dan identitas primordial lainnya.


Misalkan, lahirnya gerakan Greenpeace. Sebagai kelompok masyarakat sipil, gerakan Greenpeace mengusung isu-isu protektifitas ekologis. Yaitu, dengan melakukan perjuangan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan masa depan alam. Gerakan ini melukiskan, bahwa apa yang dilakukannya merupakan benih-benih kesadaran universal tentang bahaya ekploitasi alam. Mengingat saat ini, kondisi kealaman kita sangatlah memprihatinkan hingga perlu refleksi-refleksi diri atas perilaku yang berkaitan dengan kealaman.


Gerak lain dari masyarakat sipil, erat-kaitannya dengan proses perdamaian tampak dari pilihan netralitas organisasi dalam membendung sebuah konflik. Melihat jumlah organisasi ini pun, yang bekerja sebagai juru damai terus mengalami peningkatan. Lebih 1500 organisasi masyarakat sipil yang terdaftar sebagai mitra kerja PBB (hlm 182). Peningkatan angka itu, tentunya menggambarkan organisasi ini yang memiliki misi dan tugas Internasional. Belum lagi, ditambah dengan jumlah organisasi masyarakat sipil ditingkat pada tataran lokal.


Di Indonesia, masyarakat sipil dipastikan mampu berkontribusi riil bagi proses resolusi konflik. Akan tetapi, dengan persyaratan mampu menawarkan empat tawaran integratif tentang proses transisional yang sedang dialami Indonesia. Tawaran tersebut meliputi proses pembangunan negara-bangsa, demokratisasi, perdamaian, dan pembangunan (hlm 192). Kerja berat masyarakat sipil di Indonesia akan muncul, ketika mengguritanya kekerasaan struktural yang dieksploitasi menjadi suatu kekerasan politik.


Berpijak pada salah satu cara yang ditawarkan Galtung, mengenai kekerasan struktural (structural violence) hingga mendapatkan legitimasi negara, yaitu melalui perubahan struktural (hlm 195). Perubahan struktural, bisa dimulai jika potensi kekerasan struktural yang ada disuatu sistem bisa diidentifikasi. Dengan demikian, dapat dirancang solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk menghilangkannya. Proses merancang solusi-solusi, akan memaksa negara secara kolektif mengeksplorasi sengketa dan menempatkan instrumen perang sebagai alternatif terakhir.


Gerak seru masyarakat sipil dalam buku ini, membuka cakrawala pemahaman akan ketunggalan gerakan masyarakat sipil yang kita tahu sekarang. Seperti Catholic Relief Services, CARE, dan Save the Children yang fokus kegiatannya mengenai bantuan kemanusiaan dan mempunyai maksud untuk mengentaskan derita masyarakat. Dan juga lembaga inipun, cenderung menerapkan strategi netralitas yang ketat, yaitu menetapkan peran mereka sebagai penyedia bantuan kemanusiaan bagi semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, ideologi, agama, dan etnik dari suatu kelompok.


Era globalisasi kini membikin mudah masyarakat sipil membentuk jaringan kerja (network) dan agenda mulia bersama. Sehingga terbentuklah apa yang disebut sebagai kelompok global (global civil society). Menguatnya gerakan kelompok ini, lebih terlihat pada tahun 1999. Yakni, dengan melakukan protes terhadap perdagangan bebas dan menjadi pilar utama globalisasi.
Lewat transnasionalisasi masyarakat sipil, memberi angin bersua harapan munculnya sebuah kekuatan baru yang dapat menghalau tindakan represif sebuah negara serta perdagangan bebas.

Selasa, Desember 11, 2007

Galeri Makna [berselancar di dunia logo]

>>A. Qorib Hidayatullah


Tafsir Ideologis Punk
Tiap dayaguna gaya hidup memiliki sistem resistensi masing-masing. Gerak perlawanan dibuktikan lewat simbol yang mereka pakai. Hasutan dan cemo’ohan menjadi bahasa gugat atas lingkungan beda dari mereka. Lazim, bila mereka terus berpangku pada adventus tanpa jeda, guna tunjukkan survival-eksis makna perlawanan. Mudah-mudahan simbol yang mereka pakai tak bergeser tafsir, tetap representasi dari perlawanannya.





Konsepsi Absurd

Hidup memang tak bisa banyak menuntut. Sementara sikap menerima terus-menerus, terkadang menyeret kita pada jurang kesenjangan tanpa ujung. Seakan kebijakan negara memiliki bayang-bayang wajah bikinan yang tak mungkin berpihak pada kaum sekarat. Kini, hanya kekuatan pancaran tangan menengadah-mengemis, berharap perihal absurditas.





Menembus Eksotika Tubuh

Kelembutan, kecantikan, kegemulaian tubuh wanita hanyalah ilusif. Beragam makna melekat pada tubuh wanita, tak bisa dijadikan simbol kelemahan dan keterbelakangannya. Bukan perihal kodrati dari Tuhan, bilamana wanita berpredikat bodoh dan terbelakang. Hanyalah konstruksi sosial patrialkal, yang menambat kencangnya arus bebas (akses zona publik) dari wanita. Kekuatan wanita bukan saat dia merunduk malu, namun, bagaimana ia mampu mengapresiasi sejajar dengan laki-laki diwilayah publik.


Minggu, Desember 02, 2007

HMI dan Übermensch Kebudayaan

>>A. Qorib Hidayatullah


Aus!!! Term hantu yang ditakuti banyak orang. Peristiwa punyusutannya, akibat gesekan dengan benda-benda lain, ia tak banyak digemari, apalagi dijadikan istilah pemakaian, kecuali pada penggambaran kondisi yang benar-benar lumpuh tak berdaya (kecingkrangan), yang penuh pesimisme. Adakah peluang harap/ekspektasi??? Minimal hembusan angin segar yang mengipasi bara semangat agar bangkit berbalik, penuh optimisme???. Falsafah Semangka. Kendati di luar tampak hijau didalam tetap merah menyala. Lambang penuh optimisme penuh harap.


Jawaban pertanyaan diatas, “tergantung keberanian.” Berani banting setir atas kebiasaan buruk sehari-hari, berani melepas tradisi perilaku pasif, hingga berani tanggalkan zona nyaman yang tak memiliki kontribusi apapun. Harga sikap berani sangat mahal sekali, garansinya adalah bagaimana ia mampu menaklukkan dan mengontrol pergeseran nasib idealisme. Implikasinya, mereka tak gampang bertekuk lutut-sujud dihadapan dewa pragmatisme. Bermodalkan tangan kosong, mereka tunggu kiriman eksotika proyek. Tragis dan mengenaskan!!!


Ada pilihan amalan dari sari karya Danah Zohar & Ian Marshal, Spiritual Capital (2005), tentang kemendesakan tabuh nyilih sikap transformatif. Kesadaran diri, spontanitas, terbimbing visi dan nilai, berjiwa holistik, kepedulian, menghormati keragaman, independen terhadap lingkungan, berpikir mendasar, pembingkaian ulang, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, dan ketergugahan/keterpanggilan. Kesemuanya, diharap menjadi pendulang karakter tunggal bertaring tajam, yang siap menghipnotis dan memengaruhi pada karakter orang lain.


Menyitir ungkapan arif-bijak, “hidup adalah pilihan.” Pilihan dalam hidup butuh proses. Proses dalam hidup butuh keranuman dan bernas menggelutinya. Pola ketergantungan dalam hidup menafikkan suatu proses, yang berujung perihal serba instan tanpa ikhtiar manusia. Hal niscaya dalam hidup, ketika mereka merdeka secara individual.


Nietzsche, memiliki tesis suci dalam menyikapi hal itu, yaitu lewat übermensch (adi/kuasa manusia). Ia mengidamkan terlahirnya varietas/roh unggul pada tiap-tiap jiwa manusia. Nantinya, übermensch diharap mampu menaklukkan segala rintangan, permasalahan, serta resiko hidup sebesar apapun (jasagen).


Sidi Gasalba, menggubah beragam teori definisi budaya. Tapi, ia menyarikan secara padat, bahwa budaya, ialah hasil rasa, karsa, pikir, dan karya manusia. Ketika übermensch disandingkan dengan kebudayaan, maka terciptalah budaya yang berani berkata “ya” pada hidup (jasagen). Übermensch kebudayaan, mampu membikin nyata hal yang mustahil sekalipun. Harapan yang terbersit di imajinasi, bahwa mereka sekarang ingin mengubah dirinya, maka übermenschen hal itu mewujud.


Disamping itu, übermensch kebudayaan merupakan konstruksi mental bagi mereka untuk menularkan genius keprigelan agar tercipta suasana aktif (tak tergantung pada orang lain/proyek) dengan bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi rahmat.

Rhenald Kasali, Re Code: Change Your DNA (2007), mewarisi khasanah untuk meng-adi-kan manusia (übermensch): mengubah pola pikir dan perilaku lebih terbuka terhadap pengalaman baru, penuh dedikasi, asah kecerdasan srawung, setia pada kesepakatan (komitmen organisatoris), serta tahan uji hadapi segala bentuk tekanan.


Terakhir, pembiaran atas suasana yang tak baik, merupakan wujud dosa sosial. Dengan begitu, Tuhan tak lagi sungkan menghukum, sebagai konsekuensi logis atas sifat ke-Maha-anNya. Anjuran bagi hamba untuk saling sahut-menyahut, tegur-menegur antar sesama, adalah keacuhan (baca: wujud peduli, hirau) Tuhan agar hamba saling berbenah dan memperbaiki dirinya masing-masing. Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa. Hahaha…[]